BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Urgensi bisnis tidak bisa dipandang
sebelah mata. Bisnis selalu memegang peranan vital didalam kehidupan sosial dan
ekonomi manusia sepanjang masa. Hal ini pun masih berlaku di era kehidupan
kita. Karena kekuatan ekonomi mempunyai kesamaan makna dengan kekuatan politik,
sehingga urgensi bisnis mempengaruhi semua tingkat individu, sosial, regional,
nasional dan internasional. Tidakah mengherankan, apabila jutaan Muslim dewasa
ini dalam berbagai kegiatan bisnis atau yang lainnya.
Keterlibatan muslim di dalam dunia
bisnis bukanlah merupakan suatu fenomena baru. Kenyataan tersebut telah
berlangsung sejak empat belas abad yang lalu. Hal tersebut tidakah mengejutkan
karena Islam menganjurkan umatya untuk melakukan kegiatan bisnis. Rasululah
SAW. Sendiri telah terlibat didalam kegiatan bisnis selama bertahun-tahun.
Namun, musim dewasa ini menghadapi
suatu masalah yang sangat dilematis. Meskipun berpartisipasi aktif dalam dunia
bisnis, namun dalam pikiran mereka juga ada semacam ketidakpastian apakah
praktek-praktek bisnis mereka benar menurut pandangan Islam. Tetapi bukan hal
itu yang membingungkan mereka karena mereka mengetahui bahwa kegiatan bisnis
merupakan hal yang sah dan boleh dilakukan. Akan tetapi, bentuk-bentuk baru,
institusi, metode dan teknik-teknik bisnis yang sebelumnya belum pernah ada
telah menyebabkan keraguan tersebut.
Tidak
diragukan lagi bahwa legalitas bisnis dibahas oleh Al-Qur’an sebagaimana
mestinya. Namun al-qur’an tidak membatasi dirinya untuk menyatakan dan
memutuskan legalitas semacam ini saja. Ada sejumlah perintah dan larangan
secara ekplisit dan implisit yang berhubungan dengan transaksi bisnis seperti
halnya ada pernyataan-pernyataan tegas tentang distribusi kekayaan
dimasyarakat. Hal-hal tersebut sebagaimana keputusan-keputusan relevan yang
lain, akan dikutip sebagai pertimbangan untuk membentuk suatu teori etika
bisnis yag memang seharusnya dijadikan dasar pada pensintesisan yang sesuai
dari semuakeputusan sejenis. Eksposisi sintetik ajaran Al-Qur’an seperti ini
diharapkan akan membantu kita dalam menggambarkan prinsip-prinsip dasar dari
etika bisnis Al-Qur’an (Ahmad:2001,1-3).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
Pengertian Etika Bisnis Islami?
2. Apa
Saja Ruang Lingkup Etika dalam Islam?
3. Apa
Tujuan dan Peran Etika dalam Islam ?
4. Bagaimana
Posisi dan Sasaran Aplikasi Etika dalam Islam?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui
Pengertian Etika Bisnis Islami
2. Mengetahui
Ruang Lingkup Etika dalam Islam
3. Mengetahui
Tujuan dan Peran Etika dalam Islam
4. Mengetahui
Posisi dan Sasaran Aplikasi Etika dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Etika Bisnis Islami
Etika dalam islam
disebut akhlak. Berasal dari bahasa Arab al-akhlak
yang merupakan bentuk jamak dari al-khuluq
yang berarti budi pekerti, tabi’at atau watak yang tercantum dalam al-Qur’an
sebagai konsideran. Etika dalam islam adalah sebagai perangkat nilai yang tidak
terhingga dan agung yang bukan saja berisikan sikap, perilaku secara normatif,
yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan Tuhan (iman), melainkan wujud dari hubungan manusia terhadap Tuhan,
Manusia dan alam semesta dari sudut pandang historisitas. Etika sebagai fitrah
akan sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman keberagamaan seseorang.
Maka Islam menganjurkan kepada manusia untuk menjunjung etika sebagai fitrah
dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran, dan keadilan. Etika dalam islam akan
melahirkan konsep ihsan, yaitu cara
pandang dan perilaku manusia dalam hubungan sosial hanya dan untuk mengabdi
pada Tuhan, bukan ada pamrih di dalamnya. Di sinilah peran orang tua dalam
memberikan muatan moral kepada anak agar mampu memahami hidup dan menyikapinya
dengan bijak dan damai sebagaimana Islam lahir ke bumi membawa kedamaian untuk
semesta (rahmatan lilalamain) (Mudlor:155).
2.2
Ruang Lingkup Etika dalam Islam
Kajian “etika Islam” menyangkut berbagai aspek, yaitu:
Pertama, kerangka
acuan, yang terdiri atas tiga pokok pembahasan yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasul
dan Ijtihad. Ketga aspek tersebut sangat berkesinambungan sebagai pedoman di
tengah masyarakat. Karena Rasulullah telah member garansi bagi umat yang mau
berpegang teguh terhadap A-Qur’an dan sunnah maka selama-lamanya tidak akan
tersesat, begitu pula ijtihad suatu upaya maksimal yang harus dilaksanakan oleh
seorang pakar atau expert, terutama dalam menyelesaikan permasalahan.
Kedua, landasan
tentang dogmatis bagi etika islam. Terdiri dari tiga aspek, yaitu akidah,
akhlak, dan ibadah. Ketiga aspek tersebut sangat member nilai positif dalam
dunia sampai akhirat kelak. Karena setiap orang harus memilikinya secara benar
dan memadai agar tidak kesulitan dalam menempuh hidup dan kehidupannya.
Dalam hal ini tidak terkecuali para
manajer, atasan maupun bawahan
Ketiga, membahas
tentang manajemen islami, terdiri dari tiga topik, yaitu iman, leadership
(kepemimpinan), manajerial, dan administrasi. Keempat aspek tersebut dibahas
menurut manajemen islam. Selanjutnya untuk memperdalam dilakukan analisis
perbandingan dengan manajemen secular. Karena manajer harus memahami manajemen
islami dengan benar dan dapat memanaj bisnisnya secara islami sesuai kerangka
acuan Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad yang berlandaskan Akhlak, Akidah, dan
Ibadah.
Keempat, jati diri
manajer muslim, berawal dari manajer yang memiliki sifat cakap, mampu,
professional, dan panutan. Agar manajer muslim memiliki sifat percaya diri
untuk mengokohkan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya.
Kelima, membahas
tentang ekonomi islam, yang sering menjadi risauan umat yang selama ini
dikembangkan telah gagal mengantarkan umat untuk mendaoatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan hidup. Maka ada dua sistem yang akan memberikan solusi dari malah
diatas, yaitu ekonomi kapitalisme, dan marxisme atau di sebut ekonomi
islamisme. Pada akhirnya secara bertahap akan terjadi perubahan yang signifikan
dalam pola pikir mereka, dan akan meningkatkan kesejahteraan umat secara
merata.
Keenam, membahas
tentang aplikasi taqwa dalam berbisnis. Taqwa merupakan kunci sukses dalam
bernisnis dunia dan akhirat kelak. Kesuksesan suatu bisnis amat tergantung pada
sejauh mana seseorang mendapatkan kepercayaan dari para stakeholder-nya serta
pihak-pihak yang kompeten di dalamnya. Maka aplikasi taqwa dalam berbisnis
menjadi amat urgen. Apalagi bagi seorang manajer atau pejabat-pejabat yang
memegang kendali suatu perusahaan (Baidan dan Erwati:2008,9-11)
2.3 Tujuan dan Peran Etika dalam
Islam
Menurut para
filosof etika Muslim, tujuan dari etika adalah memperoleh kebahagiaan. Etika
terkait dengan masalah baik dan buruk,
benar dan salah. Etika ingin agar
manusia menjadi baik, karena hanya
dengan menjadi baiklah seseorang akan menjadi bahagia. Alasannya, orang baik
adalah orang yang sehat mentalnya, dan orang sehat mentalnya bisa mengenyam
berbagai macam kebahagiaan rohani. Sama halnya, orang yang sehat fisiknya bisa
mengenyam segala macam kesenangan jasmaninya, seperti merasakan berbagai macam
rasa makanan atau minuman yang disantapnya. Demikian pula, kalau jiwa kita
sakit, misalnya ketika kita mengidap penyakit iri. Kita yang biasanya merasa
bahagia dengan penghasilan kita yang biasa, tiba-tiba, karena rasa iri, kita tidak
merasa bahagia kala tetangga kita lebih beruntung dari kita. Jadi, dalam hal
ini penyakit iri (hasad) bisa
menghapus rasa bahagia yang selama ini kita rasakan. Ilustrasi di atas,
mudah-mudahan menjadi jelas, kalau jiwa kita sehat dengan kata lain kita baik
dan berakhlaq karimah maka kita akan merasakan dan mencapai kebahagiaan yang
kita dambakan. Sementara itu, ilmu dan rasionalitas juga memainkan peranan
penting dalam etika, terutama dalam upaya kita mencapai kebahagiaan.
Rasionalitas atau “akal” menempati
posisi yang krusial dalam etika Islam. Nashir al-Din al-Thusi (w.1274),
menyebut rasionalitas sebagai
kesempurnaan (entelechy)
manusia. Dalam rasionalitas terdapat perbedaan esensial antara manusia dan
hewan.
Akal biasanya
hanya dipandang memiliki fungsi kognitif belaka. Tetapi, menurut visi etika
yang benar (seimbang), akal atau rasionalitas manusia juga mempunyai fungsi
manajerial (tadbir). Dengan fungsi
kognitifnya, akal mampu membangun ilmu pengetahuan teoritis yang sangat diperlukan untuk menerangi jalan hidup
manusia. Tetapi, akal juga mempunyai fungsi mengatur. Al-Razi (w. 925), dalam
bukunya al-Thibb al-Ruhani (Pengobatan
Rohani), mengatakan bahwa “akal bukan saja merupakan daya yang memungkinkan
seseorang memahami dunia sekelilingnya (memiliki ilmu pengetahuan), tetapi juga
merupakan “prinsip yang mengatur” pada jiwa, yang berkat keunggulannya dapat
menjamin terkekangnya hawa nafsu dan penyempurnaan akhlak”.
Keseimbangan ini
baru bisa tercapai, bila akal telah melaksanakan peran “manajerial”nya, yakni
telah melaksanakan fungsi kontrolnya terhadap nafsu-nafsu manusia, maka akal
atau prinsip rasionalitas ini merupakan
syarat yang paling fundamental bagi tercapainya tujuan etika yaitu
“kebahagiaan” atau yang sering juga disebut
“kesempurnaan” manusia.
2.4 Posisi dan Sasaran Aplikasi
Etika dalam Islam
A.
Posisi
Aplikasi Etika dalam Islam
Agama
memiliki hubungan erat dengan etika manusia. Setiap agama mengandung suatu
ajaran etika yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Ajaran etika
terkandung atura-aturan dalam suatu agama, meliputi dua macam peraturan.
Pertama, aturan yang bersifat teknis, seperti tata cara makan, shalat, zakat.
Kedua, aturan yang bersifat non-teknis lebih umum, seperi jangan berdusta,
jangan berzina, perintah-perintah yang sifatnya umum (Abdullah:2006,618).
Dalam
Islam, bisnis dan etika bukan merupakan dua bangunan yang terpisah, melainkan
satu kesatuan struktur. Keterpaduan tersebut, Islam memberikan bangunan
paradigma etika dalam berbisnis, yakni bisnis yang dibangun di atas nilai-nilai
aksioma; kesatuan, kehendak bebas, pertanggung jawaban, kesetimpangan
(keadilan), dan kebenaran (kebajikan) dan kejujuran (Anas:2008,63).
Dapat
disimpulkan bahwa agama dan etika merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan,
dan dalam Islam etika didasarkan pada al-Qur’an dan Hadist yang merupakan
pedoman bagi orang muslim. Berbicara tentang etika (akhlak) dalam Islam tentu saja tidak bisa lepas dari bagaimana
posisi etika itu di dalam skema ajaran Islam secara menyeluruh (komprehensif)
(Djakfar:2009,84).
Situasi
moral dalam dunia modern itu mengajak kita untuk mendalami studi etika. Rupanya
studi etika itu merupakan salah satu cara yang memberi prospek untuk mengatasi
kesulitan moral yang kita hadapi sekarang. Sudah pernah diketengahkan bahwa
alasan-alasan yang kita punya untuk mendalami studi etika sangat mirip dengan
situasi di yunani kuno sekitar pertengahan abad ke-5 SM (Bertens: 2002,34).
Dari skema
diatas dapat dikatakan bahwa Allah SWT menurunkan wahyu berupa ajaran Al-Qur’an
kepada Rasul-Nya agar disampaikan kepada manusia.
Pokok
Persoalan Kajian (analysis issue)
Diskursus ini
sebenarnya mengeksplor tentang posisi agama dan etika dari karya David Stewart
yang berjudul Exploring the philosophy of religion. Terdapat empat
persoalan pokok. Dalam karyanya, Stewart pada intinya mengedepankan empat
persoalan pokok.
Pertama, Etika lawan Agama (Ethics
against religion). Stewart mengedepankan terlebih dahulu persoalan apakah
kita menerima pandangan yang menyatakan bahwa etika adalah otonom (autonomous) atau independen (independent), dalam arti terlepas dari
agama. Oleh karena itu, ia mencoba mengemukakan pendapat Friederich Nietzche,
seorang filosof Jerman abad ke-19. Nietzche berpendapat bahwa peradaban Barat
tidak lagi dapat menerima landasan
religious untuk etika, tetapi bersikeras mendukung nilai-nilai yang diturunkan
dari tradisi Yahudi-Kristen.
Kedua, Etika yang
kurang Agamis (A Religionless Ethics).
Stewart mengkaji pendapat Kai Nielsen. Nielsen berpendapat bahwa sebuah etika
yang otonom tidak perlu tenggelam kedalam konvensionalisme maupun nihilisme. Ia
juga mengemukakan perbedaaan antara moralitas sekuler dengan moralitas
berdasarkan agama (religious) yang
terletak pada sejumlah prinsip-prinsip etika yang dibutuhkan untuk
masing-masing moralitas. Etika sekuler ini dimaksudkan etika yang berprinsip
pada penghormatan (respect) kepada
orang lain. Selanjutnya Nielsen menyatakan bahwa hidup akan dapat bermakna
tanpa adanya makna secara menyeluruh, selama kita mencari kepuasan dari sumber
lain. Letak perbedaan pendapat Nielsen dengan pendapat banyak orang adalah
bahwa justru agama merupakan satu makna menyeluruh bagi hidup.
Ketiga, Moralitas
versus Moralisme (morality versus
Moralism) dengan mengangkat pendapat Paul Tillich yang menyatakan bahwa
moralitas merupakan suatu permintaan yang tak bersyarat, sedangkan moralism
adalah suatu yang bersyarat. Nampaknya, Tillich lebih berpijak pada pernyataan
Immanuel Kant bahwa satu-satunya tindakan moral yang sebenernya adalah tidak
bersyarat. Selanjutnya Tillich juga
membuat perbedaan antara kenyataan essensial kita (our essensial being) dengan kenyataan actual kita (our actual being), terkait dengan
perbedaan antara ‘sekarang’ (the “is”) dengan seharusnya (the ought). Ia juga menyatakan bahwa aturan-aturan moral tidak
dapat merubah kita bermoral, disamping pernyataannya bahwa cinta
menstranformasikan moralisme otoritas (kewenangan) menjadi sebuah moralisme
berisko.
Keempat, kebutuhan
Etika bagi Agama (The Need of Ethics for
Religion). Dengan mengedepankan pendapat Reinhold Niebuhr. Niebuhr
mengklaim bahwa fanatisme (fanaticism)
dan keputusasaan (despair) merupakan
dua bahaya kembar yang menghadang kita ketika kita puas hanya dengan pendekatan
mengenai cita-cita moral (moral ideal). Pendapat Niebuhr yang lain yang
di kemukakan oleh Stewart adalah bahwa kita tidak dapat benar-benar menyadari
cinta tanpa agama, disamping pendapatnya yang lain mengenai doktrin Kristiani
tentang cinta sebagai kerangka pemikiran metafisik dan psikologis dalam hidup
manusia (Djakfar:2012,53-54).
B.
Sasaran
Aplikasi Etika dalam Islam
Etika
juga mempunyai sasaran dimana Etika (akhlak)
tersebut harus dijalankan, aspek-aspek sasaran Etika (akhlak) yakni:
1. Etika
terhadap Allah SWT.
Etika
terhadap Allah meliputi amal perbuatan yang dilakukan dengan cara berhubungan
dengan Allah, melalui media-media yang telah disediakan Allah, seperti shalat,
puasa dan haji (Sauri:2004,117). Misalnya berbisnis (mencari kelebihan karunia
Allah) dilakukan setelah melakukan shalat dan dalam pengertian tidak
mengesampingkan dan tujuan keuntungan yang hakiki yaitu keuntungan yang
dijanjikan Allah. Oleh karena itu, walaupun mendorong melakukan kerja keras
termasuk dalam berbisnis, Al-Qur’an menggaris bawahi bahwa dorongan yang
seharusnya lebih besar bagi dorongan bisnis adalah memperoleh apa yang berada
disisi Allah.
Titik
sentral etika islam adalah menentukan kebebasan manusia untuk bertindak dan
bertanggung jawab karena kepercayaannya terhadap kemahakuasaan Tuhan. Hanya
saja kebebasaan manusia itu tidaklah mutlak, dalam arti, kebebasan yang
terbatas. jika sekiranya manusia memiliki kebebasan mutlak, maka berarti ia
menyaingi kemahakuasaan Tuhan selaku pencipta ( khalik) semua makhluk, tanpa
kecuali adalah manusia itu sendiri. Dengan demikian hal ini tidaklah mungkin
(mustahil). Dalam skema etika islam, manusia adalah pusat penciptaan Tuhan.
Manusia merupakan wakil Tuhan di muka bumi sebagai mana firman-Nya: (Naqvi
2003, 35)
Artinya: “Dan Dia lah
yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian
kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa
yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. A-An’am:165)
2. Etika
terhadap sesama (manusia)
Sebagai
makhluk sosial (homo socius),
mustahil rasanya manusia lepas hubungannya dengan sesama. Di dalam lalu lintas
saling memenuhi kebutuhan itulah dituntut saling menghargai dan saling
menghormati yang merupakan bagian dari ajaran etika (akhlak) dalam islam. Tidak
berbantahkan bahwa bisnis merupakan salah satu aktivitas kehidupan manusia dan
bahkan telah merasuki semua sendi kehidupan modern. Pada fenomena ini mustahil
orang terlepas dari pengaruh bisnis, dan sebagai konsekuensinya, masyarakat
adalah konsumen yang menjadi sasaran para produsen di mana-mana. Oleh karena
itu sangatlah logis jika dikatakan bahwa bisnis adalah bagian integral dari
masyarakat dimana pun mereka berada dan akan mempengaruhi kehidupan mereka,
baik secara positif maupun negatif (Djakfar:2007,107).
Menurut
perspektif etis, segala aktivitas bisnis dituntut untuk menawarkan sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia, dalam arti tidak menawarkan sesuatu yang merugikan
hanya demi meraih keuntungan sepihak. Para pelaku bisnis bias saja berasumsi
bahwasannya bisnis merupakan aktivitas netral, dimana mereka terpanggil untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia. Mereka beranggapan bahwa aktivitasnya hanya untuk
memenuhi permintaan masyarakat tanpa mempertimbangkan apakah barang atau jasa
yang diproduksi dan dipasarkan merugikan atau berpotensi merugikan konsumen.
Sikap netral memang merupakan salah satu prinsip yang harus dipegangi oleh para
pelaku bisnis. Mereka dibenarkan menawarkan barang yang dibutuhkan masyarakat
asalkan tidak mendikte, apalagi memaksa konsumen untuk membeli dan mengkonsumsi
produk yang dihasilkan.
Namun
demikian sebenarnya yang terpenting adalah kepada para pelaku bisnis diharapkan
masih memiliki kesadaran moral dan tanggungjawab untuk memperhatikan efek
kegiatan bisnisnya bagi masyarakat, baik yang menyangkut kehalalan, kesehatan,
moral, budaya, social, dan ekonomi. Setelah itu untuk selanjutnya, diharapkan
pula kepada para pelaku bisnis agar memiliki kepekaan terhadap kepentingan masyarakat untuk tidak merugikan mereka hanya
demi keuntungan sesaat bagi dirinya.
3. Etika
terhadap Lingkungan
Dalam perspektif etika lingkungan, manusia dituntut
untuk meperlakukan alam tidak semata-mata dalam kaitannya untuk kepentingan dan
kebaikan manusia. Etika ini seharusnya berorientasi untuk mengembangkan
kesadaran bahwa pelestarian lingkungan juga untuk kepentingan seluruh makhuk,
baik makhluk hidup maupun mati. Yang dimaksud adalah bagaimana kita bersikap
terhadap alam, apa yang sebaiknya kita lakukan dan kita tinggakan, apa yang
seharusnya dan tidak seharusnya kita lakukan terhadap makhluk lain seperti
tumbuhan (flora), hewan (fauna), tanah, air, dan seterusnya (Djakfar:2012,204).
Sumber
daya alam merupakan nikmat Allah SWT. Kepada makhluk-Nya. Seba itu manusia
wajib mensyukurinya. Diantaranya bentuk syukur itu adalah menjaganya dari
kerusakan, kehancuran, polusi, dan lain-lain yang tergolong sebagai bentuk
kerusakan di Bumi (Qardhawi:1995,173). Sebagaimana firman Allah:
وَ اللهُ لَا يُحِبّ الْمُفْسِدِ يْنَ [64]
“Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat
kerusakan”. (QS. Al-Maidah:64).
وَ إذَا تَوَلَّى سَعَي فِيْ اْلأَ رْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا
وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَ النّسْلَْ وَ اللهُ لاَ يُحِبّ الْفَسَا دَ [205]
“Dan
apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan
kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”. (QS.
Al-Baqarah:205).
4. Etika
terhadap Diri Sendiri
Dalam
pandangan islam, perlu tercipta adanya keseimbangan antara yang tertuju pada
diri sendiri dan yang tertuju kepada pihak lain. Dengan demikian tidak ada
salah satu pihak yang tidak mendapat perhatian (terabaikan).
Akhlak
terhadap diri sendiri bisa dimaknai memberikan hak kepada jiwa (psikis) dan
raga (fisis) kita yang harus dilindungi dan dilindungi secara wajar. Bukankah
semua organ manusia itu mempunyai hak bekerja sesuai dengan fungsinya
masing-masing. Akan tetapi, setiap organ itu harus melakukan fungsinya secara
wajar, tanpa harus difungsikan diluar kapasitas yang layak dan terukur. Fisik
manusia yang setiap harinya digunakan untuk aktivitas bisnis tetap mempunyai
hak untuk istirahat secukupnya. Merupakan kedzaliman apabila mausia
mempekerjakan fisiknya sendiri diluar batas kapasitas kewajaran
(Djakfar:2008,29).
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Prinsip bisnis daam perspektif
Al-Qur’an, tidak boleh lepas dari nilai spiritual yang transenden. Bagaimanapun
aktivitas bisnis, tidak bisa terpisahkan dari niai-nilai akhlaki, bagaikan
menyatukan jasad dan ruh, urat dan daging. Ini menyiratkan bahwa antara agama,
etika dan bisnis merupakan tiga entitas yang saling berkolerasi, bahkan
berkolaborasi dan bersinergi. Bisnis yang menguntungkan adalah bisnis yang
berpegang teguh pada ajaran tauhid yang diajarkan dalam Al-Qur’an yang menjadi
sumber pokok ajaran nilai dalam Islam.
Aktivitas bisnis yang dipandu
nilai-nilai Qur’ani, niscaya akan mengedepankan nilai-nilai etika agar
menghasilkan harta yang halal guna meraih nilai kebarakahan yang bisa menjadi
garansi kebahagiaan dan keselamatan bagi pelakunya, baik di dunia maupun di
akhirat. Artinya, untuk meraih keuntungan itu perlu dilakukan oleh pelaku
bisnis yang berperilaku sesuai dengan ajaran A-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
Perilaku yang baik da terpuji akan lebih memotivasi untuk memilih keuntungan
akhirat yang abadi dari pada keuntungan dunia yang hanya sesaat. Selain itu,
perilaku yang baik akan menata niat dengan ikhlas, mengelola bisnis dan sarana
sesuai petunjuk Allah SWT. Dan yang tidak kalah krusialnya, pelaku bisnis yang
berperilaku etis akan menyadari sepenuhnya bahwa harta yang diraih hanyalah
amanah dari Pemilik Mutlak (Absolut), sehingga dengan semikian harus dikelola
sesuai dengan kehendak-Nya. Pada akhirnya inilah sebenarnya keuntungan (falah) yang hakiki yang patut direbut
oleh setiap pelaku bisnis muslim yang sadar akan ajaran agamanya dengan Al-Qur’an al-Majid sebagai pedomannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Mudlor,
Ahmad. 2013. Etika Dalam Islam.
Surabaya: Al-Ikhlas.
Abdullah,
M. Yatimin. 2006. Pengantar Studi Etika.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Anas,
Muhammad. 2008. Penerapan Etika Bisnis
dalam Konteks Produsen dan Konsumen: Ke Arah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Millah Vol. VIII, No.1
K.
Bertens. 2002. Etika. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sauri,
Sofyan. 2004. Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam. Bandung: Alfabeta.
Qardhawi,
yusuf. 1995. Peran dan Nilai Moral dalam
Perekonomian Islam Jakarta: Robbani Press.
Ahmad,
Mustaq. 2001. Etika Bisnis dalam Islam.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Baidan,
Nashruddin dan Erwati Aziz. 2008. Etika
Islami dalam Berbisnis. Solo: Zada Haniva.
Djakfar,
Muhammad. 2007. Etika Bisnis dalam
Perspektif Islam. Malang: UIN Press.
Djakfar,
Muhammad. 2008. Etika Bisnis Islami :
Tataran Teoritis dan Praktis. Malang: UIN Press.
Djakfar,
Muhammad. 2009. Anatomi Perilaku Bisnis
Dialektika Etika dengan Realitas. Malang: UIN Press.
Djakfar,
Muhammad. 2012. Etika Bisnis: Menangkap
Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi . Jakarta: Penebar Plus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar