BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seluruh hukum yang ditetapkan Allah SWT dan atas hambanya dalam bentuk
suruhan atau laranagn adalah mengandung maslahah. Tidak ada hukum syara’ yang
sepi dari maslahah. Seluruh suruhan Allah bagi manusia untuk melakukannya
mengandung manfaat untuk dirinya baik secara langsung atau tidak. Manfaat itu
ada yang dapat dirasakannya pada waktu itu juga dan ada yang dirasakan
sesudahnya. Umpamanya Allah menyuruh salat yang mengandung banyak manfaat,
antara lain bagi ketenangan rohani dan kebersihan jasmani.
Begitu pula dengan semua larangan Allah untuk dijauhi manusia. Dibalik
larangan itu terkandung kemaslahatan, yaitu terhindarnya manusia dari
kebinasaan atau kerusakan. Umpamanya larangan meminum minuman keras yang akan
menghindarkan seseorang dari mabuk yang dapat merusak tubuh, jiwa (mental) dan
akal.
Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai
tujuan tertentu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju
itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudarat. Sebelum
sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang
mendahuluinya yang harus dilaluinya.
Perbuatan-perbuatan pokok yang dituju oleh seseorang telah diatur oleh
syara’ dan termasuk ke dalam hukum taklifi yang lima atau yang disebut al-ahkam
al-khamsah. Untuk dapat melakukan perbuatan pokok yang disruh atau yang
dilarang, harus terlebih dahulu melakukan perbuatan yang mendahuluinya.
Keharusan melakukan atau menghindarkan perbuatan yang mendahului perbuatan
pokok itu ada yang telah diatur sendiri hukumnya oleh syara’ dan ada yang tidak
diatur secara langsung.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Al-Maslahah Al-Mursalah dan
Saddu Dzara’i?
2. Apa Saja Macam-macam Al-Maslahah Al-Mursalah?
3. Apa Saja Syarat Penerapan Al-Maslahah
Al-Mursalah?
4. Sebutkan Kehujjahan dan Dalil-dalil Pendukung
Sadd Dzari’ah?
5. Bagaimana Aplikasi Al-Maslahah Al-Mursalah dan
Saddu Dzari’ah?
1.3 Tujuan
Untuk
Mengetahui:
1. Pengertian Al-Maslahah Al-Mursalah dan Saddu
Dzara’i
2. Macam-macam Al-Maslahah Al-Mursalah
3. Syarat Penerapan Al-Maslahah Al-Mursalah
4. Kehujjahan dan Dalil-dalil Pendukung Sadd
Dzari’ah
5. Aplikasi Al-Maslahah Al-Mursalah dan Saddu
Dzari’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-MASLAHAH Al-MURSALAH
2.1 Pengertian
Al-Maslahah
§ Menurut bahasa
Dari segi bahasa ,
kata al-maslahah adalah seperti
lafazh al-manfaat, baik artinya
ataupun wajannya (timbangan kata), yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-Shalah, seperti halnya lafazh al-manfaat sama artinya dengan al-naf’u. Semuanya mengandung arti
adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses, seperti
menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan pemjagaan, seperti
menjauhi kemadaratan dan penyakit. Semua itu bisa dikatakan Maslahah.
Manfaat yang dimaksud oleh pembuat
hukum syara’ (Allah) adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan
hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara Pencipta dan makhluk-Nya.
Tujuan utama al-Maslahah adalah kemaslahatan; yakni memelihara dari kemadaratan
dan menjaga kemanfaatannya. Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara’ memutlakkannya bahwa didalamnya tidak
terdapat kaidah syara’ yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.[1]
§ Menurut istilah
Menurut para ulama
ushul, sebagian ulama menggunakna istilah al-maslahah al-mursalah itu dengan
kata “al-Munasib al-Mursal.” Ada pula yang menggunakan al-istishlah dan ada
pula yang menggunakan istilah al-istidlal al-mursal. Istilah-istilah tersebut
walaupun tampak sama memiliki satu tujuan, masing-masing mempunyai tunjauan
yang berbeda-beda. Setiap hukum yang didirikan atas dasar mashlahat dapat
ditinjau dari tiga segi, yaitu:
a.
Melihat maslahah yang
terdapat pada kasus yang dipersoalkan.
b.
Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-wadshf al-munasib) yang mengharuskan
adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan.
c.
Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang
ditunjukkan oleh dalil khusus.[2]
Walaupun para
ulama berbeda-beda dalam memandang al-Maslahah
al-Mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat yang didalamnya
terdapat tujuan syara’ secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara
khusus menerima atau menolaknya. Di bawah ini akan dibahas beberapa pandangan
para ulama tentang hakkikat dan pengertian al-Maslahah
al-Mursalah.
Menurut Abu Nur
Zuhair, al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum, tetapi
belum tentu diakui atau tidaknya oleh syara’.
Abu Zahrah
mendefinisikan denga suatu maslahah yang sesuai dengan maksud-maksud pembuat
hukum (Allah) secara umum, tetapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi
bukti diakui atau tidaknya.
Al-Ghazali
menyatakan, setiap maslahah yang kembali pada pemeliharaan maksud syara’ yang
diketahui dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’, tetapi tidak dipandang dari
ketiga dasar tersebut secara khusus dan tidak juga melalui metode qiyas, maka dipakai al-maslahah al-mursalah.
As-syatibi,
salah seorang ulama madzhab Maliki mengatakan bahwa al-Maslahah al-Mursalah
adalah setiap prinsip syara’ yanng tidak disertai bukti nashkhusus,
namun sesuai dengan tindakan syara’ serta maknanya diambil dari dalil-dalil
syara’. Makna prinsip tersebut adalah sah sebagai dasar hukum dan dapat
dijadikan rujukan sepanjang ia telah menjadi prinsip dan digunakan syara’ yang
qath’i. Dari pengertian yang dikemukakan Al-Syatibi tersebut bisa diambil
kesimpulan bahwa:
a.
Al-Maslahah Al-Mursalah menurut Asy-Syatibi adalah suatu masalah yang tidak ada nashtertentu,
tetapi sesuai dengan tindakan syara’.
b.
Kesesuaian maslahah dengan syara’ tidak diketahui dari satu dalil
dan tidak dari nash yanng khusus, melainkan dari beberapa dalil dan nash
secara keseluruhan yang menghasilkan hukum qath’i walaupun secara
bagian-bagiannya tidak menujukkan qath’i.
Setelah dikemukakan beberapa
pengertian al-maslahah al-mursalah menurut beberapa ulama ushul, dapat ditarik
kesimpulan bahwa hakikat al-maslahah dalam syari’at Islam adalah setiap manfaat
yang tidak didasarkan pada nash khusus yang menunukkan mu’tabar (diakui) atau
tidaknya mafaat itu.
Adapun Al-Maslahah al-Mursalah
menurut Imam Malik sebagaimana hasil analisis Al-Syatibi adalah suatu maslahah
yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syara’, yang berfungsi
untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyat (primer)
maupun hajjiyat (sekunder).
Penjelasan definisi-definisi di
atas, juga menunjukkan bahwa tidak semua yang mengandung unsur manfaat bisa
dikatakan maslahah mursalah, jika tidak termasuk pada maqashid
asy-syari’ah.[3]
2.2 Macam-macam Maslahah
Kekuatan maslahah
dapat dilihat dari segi tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, yang berkaitan
secara langsung atau tidak langsung dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan
manusia, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Juga dapat dilihat
dari segi tingkat kebutuhan dan tuntunan kehidupan manusia kepada lima hal
tersebut.
1.
Dari segi kekuatannya sebagai hujah dalam menetapkan hukum,
maslahah ada tiga macam, yaitu:
a.
Maslahah Dharuriyah adalah kemaslahatan yang keberadaannya sangat
dibutuhkan oleh kehidupan manusia; artinya kehidupan manusia tidak punya arti
apa-apa bila satu saja dan prinsip yang lima itu tidak ada.
Contoh:
Allah melarang murtad untuk memelihara agama, melarang membunuh untuk
memelihara jiwa, melarang minum minuman keras untuk memelihara akal, melarang
berzina untuk memelihara keturunan, dan melarang mencuri untuk memelihara
harta.
b.
Maslahah Hajiyah adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup
manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri. Bentuk kemaslahatannya
tidak secara langsung bagi pemenuhin kebutuhan pokok yang lima, tetapi secara
tidak langsung menuju ke arah sana seperti dalam hal yang memberi kemudahan
bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
Contoh:
Menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama, makan untuk kelangsungan hidup,
mengasah otak untuk sempurnanya akal, melakukan jual beli untuk mendapatkan
harta.
c.
Maslahah Tahsiniyah adalah maslahah yang kebutuhan hidup manusia
kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat haji, namun
kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan
keindahan bagi hidup manusia.
Contoh:
2.
Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal itu
dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, ditinjau dari maksud usaha mencari
dan menetapkan hukum, maslahah itu disebut juga dengan munasib atau keserasian maslahah dengan tujuan hukum, maslahah
dalam artian munasib itu dari segi pembuat hukum (syari’) memerhatikannya atau
tidak, maslahah terbagi kepada tiga jenis, yaitu:
a.
Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu maslahah yang diperhitungkan oleh
syari’. Maksudnya ada petunjuk dari syari’, baik langsunng maupun tidak
langsung, yang memberikan penunjuk pada adanya maslahah yang menjadi alasan
dalam mneetapkan hukum.
Dari
langsung tidaknya petunjuk (dalil) terhadap maslahah tersebut, maslahah
tersebut terbagi dua:
1)
Munasib Mu’atstsir, yaitu ada petunuk langsung dari pembuat hukum (syari’)
yang memerhatikan maslah tersebut. Maksudnya, ada petunjuk syara’ dalam bentuk
nash atau ijma’ yang menetapkan bahwa maslahah itu dijadikan alasan dalam
menetapkan hukum.
Contoh: dalil nash tentang tidak baiknya mendekati perempuan yang
sedang haid dengan alasan haid itu adalah penyakit. Hal ini ditegaskan dalam
surat al-Baqarah (2): 222. Yang artinya:
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu adalah penyakit; oleh
karenanya jauhilah perempuan yang sednag haid.”
2)
Munasib Mulaim, yaitu tidak ada petunjuk langsung dari syara’ baik
dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian syara’ terhadap maslahah
tersebut, namun secara tidak langsung ada. Maksudnya, meskipun syara’ secara
langusng tidak menetapkan suatu keadaan menjadi alasan untuk menetapkan hukum
yang disebutkan, nammun ada petunjuk syara’ bahwa keadaan itulah yang
ditetapkan syara’ sebagai alasan untuk hukum yang sejenis.
Contoh: bolehnya jama’ shalat bagi orang yang muqim (penduduk
setempat) karena hujan, menetapkan keadaan “dingin” menjadi alasan untuk
halangan shalat berjamaah.
b.
Maslahah al-Mulghah (yang ditolak), yaitu maslahah yang dianggap
baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk syara’
yang menolaknya.
Contoh: di masa kini masyarakat telah mengakui emansipasi wanita
untuk menyamakan derajatnya dengan laki-laki. Oleh karena itu, akal menganggap
baik atau maslahah untuk menyamakan hak perempuan dengan laki-laki dalam
memperoleh harta warisan. Namun hukum Allah telah jelas dan ternyata berbeda
dengan apa yang dikira baik oleh akal itu, yaitu hak waris anak laki-laki
adalah dua kali lipat dari hak anak perempuan sebgaimana ditegaskan dalam surat
an-Nisaa (4): 11.
c.
Maslahah al-Mursalat (Istishlah), yaitu apa yang dipandang baik oleh
akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, namun tidak ada
petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang
menolaknya.[4]
2.3 Syarat Penerapan Maslahah Mursalah
1.
Al- maslahah al-Mursalah tidak boleh bertentangan dengan Maqashid
al-Syari’ah, dalil-dalil kulli, semangat ajaran islam dan dalil-dalil juz’i
yang qath’i wurudl dan dalalah-nya.
2.
Kemaslahatan tersebut harus meyakinkan dalam arti harus ada
pembahasan dan penelitian yang rasional serta mendalam sehingga kita yakin
bahwa hal tersebut memberikan manfaat atau menolak kemadaratan.
3.
Kemaslahatan tersebut bersifat umum.
4.
Pelaksanaannya tidak menimbulkan kesulitan yang tidak wajar.
Contoh penggunaan al-maslahah al-mursalah terutama dalam melayani
dan mengurus masyarakat, seperti peraturan lalu lintas, adanya lembaga-lembaga
peradilan, adanya surat nikah, dan lain sebagainya.[5]
Para ahli
yang mendukung konsep penalaran
ini mencatat tiga persyaratan dalam penerapan hukum mashlahah ini, yaitu:
1. Mashlahah
itu harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan atau rekaan, bahwa ia memang
mewujudkan suatu manfaat atau mencegah terjadinya madharrah (bahaya atau
kemelaratan).
2. Mashlahah itu tidak merupakan kepentingan
pribadi atau segolongan kecil masyarakat, tapi harus bersifat umum dan menjadi
kebutuhan umum.
3. Hasil penalaran mashlahah itu tidak
berujung pada terabaikannya sesuatu prinsip yang ditetapkan oleh nash syari'ah
atau ketetapan yang dipersamakan (ijma').
2.4Istishlah dalam Al-Maslahah
Istishlah merupakan suatu konsep
dalam pemikiran hukum Islam yang menjadikan mashlahah
(kepentingan/kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi
suatu sumber hukum sekunder. Karenanya
juga konsep ini
lebih dikenal dengan sebutan,
al-mashlah al-mursalah atau al-mashalih
al-mursalah. Konsep penalaran ini
bermula dikembangkan dalam
aliran pemikiran hukum Islam (madzhab)
Malikiyah. Tapi dapat
kita catat, pada hakekatnya
konsep ini telah dikenal dan digunakan oleh angkatan pertama ahl al-ijtihad di
kalangan sahabat dan tabi'in.
Dan ternyata kemudian
diambil alih juga oleh Imam al-Ghazali
dari aliran Syafi'iyah dengan
beberapa penyempurnaan. Tapi perlu
dicatat, konsep ini ditolak oleh
aliran Zhahiriyyah dan Syi'ah.
Landasan pemikiran yang membentuk
konsep ini ialah kenyataan bahwa,
syari'ah Islam dalam berbagai
pengaturan dan hukumnya mengarah kepada terwujudnya
mashlahah (apa yang
menjadi kepentingan dan apa yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya
di permukaan bumi).
Maka tidak dituntut
untuk dilakukan manusia untuk kepentingan hidupnya, dan manusia tidak
dicegah melakukan sesuatu, kecuali
hal-hal yang pada
galibnya membahayakan dan memelaratkan hidupnya. Maka, upaya mewujudkan
mashlahah dan mencegah mafsadah (hal-hal yang merusak) adalah sesuatu yang
sangat nyata dibutuhkan setiap
orang dan jelas dalam syari'ah yang diturunkan Allah kepada semua
rasul-Nya. Dan itulah sasaran utama dari hukum Islam.
Dalam kajian
para al-ijtihad ada tiga jenis mashlahah, yaitu:
1.
Mashlahah yang
diakui ajaran syari'ah, yang terdiri dari tiga tingkat kebutuhan manusia,
yaitu:
a.
Dharuriyyah
(bersifat mutlak) karena menyangkut komponen kehidupannya sendiri sebagai
manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya (jiwa, raga dan
kehormatannya) akal pikirannya, harta bendanya,nasab keturunannya dan
kepercayaan keagamaannya. Kelimatersebut biasanya disebut al-kulliyyat al-khams
atau al-dharuriyyat al-khams, yang menjadi dasar mashlahah (kepentingan dan
kebutuhan manusia).
b.
Hajiyyah
(kebutuhan pokok) untuk menghindarkan kesulitan dan kemelaratan dalam
kehidupannya.
c.
Tahsiniyyah
(kebutuhan pelengkap) dalam rangka memelihara sopan santun dan tata krama dalam
kehidupan.
2.
Mashlahah yang
tidak diakui ajaran syari'ah, yaitu kepentingan yang bertentangan dengan
maslahah yang diakuiterutama pada tingkat pertama.
3.
Mashlahah yang
tidak terikat pada jenis pertama dan kedua.Penempatan masalah ini sebagai
suatu sumber hukum
sekundermenjadikan hukum Islam
itu luwes dan dapat diterapkan
padasetiap kurun waktu di segala lingkungan
sosial. Namun perlu dicatat ruang
lingkup penerapan hukum mashlahah ini adalahbidang mu'amalat,
dan tidak menjangkau bidang ibadat, karenaibadat itu adalah hak prerogatif Allah
sendiri.
2.5 Aplikasi Al-Maslahah Al-Mursalah Dalam
Ekonomi
Dalam studi prinsip ekonomi Islam,
maslahah ditempatkan pada posisi kedua, yaitu sesudah prinsip tawhid.
Mashlahah adalah tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu
sendiri. Para ulama merumuskan maqashid syari’ah (tujuan syariah) adalah
mewujudkan kemaslahatan. Imam Al- Juwaini, Al-Ghazali, Asy-Syatibi, Ath-Thufi
dan sejumlah ilmuwan Islam terkemuka, telah sepakat tentang hal itu. Dengan
demikian, sangat tepat dan proporsional apabila maslahah ditempatkan sebagai
prinsip kedua dalam ekonomi Islam.
Secara umum, maslahah diartikan
sebagai kebaikan (kesejahtraan) dunia dan akhirat. Para ahli ushul fiqh
mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang mengandung manfaat, kegunaan,
kebaikan dan menghindarkan mudharat, kerusakan dan mafsadah. (jalb al-naf’y
wa daf’ al-dharar). Imam Al-Ghazali menyimpulkan, maslahah adalah upaya
mewujudkan dan memelihara lima kebutuhan dasar, yakni agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Penerapan maslahah dalam ekonomi Islam (muamalah) memiliki
ruang lingkup yang lebih luas dibanding ibadah. Ajaran Islam tentang muamalah
umumnya bersifat global, karena itu ruang ijtihad untuk bergerak lebih luas. Ekonomi Islam yang menjadi
salah satu bidang muamalah berbeda dengan ibadah murni (ibadah mahdhah).
Ibadah bersifat dogmatik (ta`abbudi), sehingga sedikit sekali ruang
untuk berijtihad. Ruang ijtihad dalam bidang ibadah sangat sempit. Lain halnya
dengan ekonomi Islam (muamalah) yang cukup terbuka bagi inovasi dan kreasi baru
dalam membangun dan mengembangkan ekonomi Islam. Oleh karena itu prinsip
maslahah dalam bidang muamalah menjadi acuan dan patokan penting. Apalagi bila menyangkut
kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikategorikan sebagai manthiqahal firagh al
tasyri`y (area yang kosong dari tasyri`/hukum). Sedikitnya nash-nash yang
menyinggung masalah yang terkait dengan kebijakan-kebijakan ekonomi teknis,
membuka peluang yang besar untuk mengembangkan ijtihad dengan prinsip maslahah.
Mashlahah sebagai salah satu model
pendekatan dalam ijtihad menjadi sangat vital dalam pengembangan ekonomi Islam
dan siyasah iqtishadiyah (kebijakan ekonomi). Mashlahah adalah tujuan
yang ingin diwujudkan oleh syariat. Mashlahah merupakan esensi dari
kebijakan-kebijakan syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon dinamika
sosial, politik, dan ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum)
merupakan landasan muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara
syar’i,bukan semata-mata profit motive dan material rentability sebagaimana
dalam ekonomi konvensional.[6]
B. SADDU DZARA’I
2.6 Pengertian Saddu Dara’i
§ Menurut Bahasa
Kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah)
yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ) dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara
etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ) merupakan kata benda
abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا.
Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan
menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim)
bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab
terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzara’i
(الذَّرَائِع).
Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi
Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd
adz-dzara’i.
Dzari’ah artinya washilah atau jalan yang menyampaikan kepada tujuan,
yang dimaksud dengan dzari’ah disini adalah jalan untuk sampai kepada yang
haram atau kepada yang halal. Jalan atau cara yang menyampaikan kepada haram
hukumnya haram dan cara yang menyampaikan kepada halal hukumnya pun halal pula,
dan apa yang menyampaikan kepada wajib hukumnya adalah wajib pula, bahkan ada
suatu kaidah:
“kewajiban yang
tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan adanya susuatu hal mak hal tersebut
adalah wajib”
Contohnya, zina itu adalah haram, maka melihat aurat wanita yang
membawa kepada perzinaan adalah haram juga.
Shalat jum’at adalah wajib, maka meninggalkan jual beli pada waktu
shalat jum’at demi untuk melaksanakan shalat jum’at adalah wajib pula.[7]
§ Menurut Istilah
Menurut
al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah)
sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas
dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan
jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus
mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani,
adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan
namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dalam karyanya al-Muwafat,
asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak
sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang
dilarang (mamnu’). Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd
adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada
perbuatan yang terlarang. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan
atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang
dibolehkan.
Dari
beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi
dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang awalnya
diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara
umum dan tidak mempersempitnyahanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di
samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang
pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim
tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari
berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.
2.7Kehujjahan
Saddu Adz-Dzari’ah
Di kalangan ulama’ ushul terjadi
perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai dalil
syara’.Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima kehujjahannya sebagai
salah satu dalil syara’.Alasan mereka antara lain:
1.
Firman Allah
SWT dalam surat Al-An’am ayat 108:
وَلَا
تَسُبُّوْا الّذيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوْا اللهَ عَدُوْا
بِغَيْرِ عِلْمٍ (الأنعام:108)
Artinya:
Dan jangan kamu
memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,karena mereka akan memaki
Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.(QS.Al-An’am:108)
2.
Hadist Rasulullah
SAW.antara lain:
من الكبائرشتم الرجل والديه,قالوا:يارسول الله
وهل يشتم الرجل والديه؟قال”نعم,يسب أبا الرجل فيسب أباالرجل أباه,ويسب أمه
فيسب أمه(رواه البخاري ومسلم وأبوداود)
Artinya:
Sesungguhnya
sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya.Lalu
Rosulullah SAW.ditanya, Wahai Rosulullah, bagaimana mungkin seseorang akan
melaknat ibu dan bapaknya.Rosulullah SAW.menjawab,”Seseorang yang mencaci maki
ayah orang lain,maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain,dan seseorang
mencaci maki ibu orang lain,maka orang lain pun akan mencaci maki
ibunya.(HR.Bukhari,Muslim,dan Abu Dawud).
2.8 Dalil-dalil
Pendukung Sadd Adz-Dzara’i
v QS. Al-An’am (6):108:
وَلَا تَسُبُّوْا الّذيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ
دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوْا اللهَ عَدُوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ (الأنعام:108)
Artinya:
Dan jangan kamu
memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki
Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.(QS.Al-An’am:6:108)
v QS. Al-Baqarah:104
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقُولُواْ رَاعِنَا وَقُولُواْ انظُرْنَا وَاسْمَعُوا
ْوَلِلكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan
(Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan
"dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah:104)
v QS. Annur (24): 31 yang artinya:
“Dan janganlah mereka (perempuan itu) memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”(QS. An-Nur:24:31)[8]
2.9 Aplikasi Saddu
Adz-Dzara’i Dalam Ekonomi
Implemantasi Saddu Al-Dzariah dalam
keseharian kita ialah bahwa bila seseorang akan membeli barang, baik yang
besifat konsumtif atau produktif, maka harus mengutamakan produk lokal,
nasional, dan dalam negeri. Sebab, cara inilah yang akan lebih menguntungkan
bagi perkembangan ekonomi bangsa sehingga ketahanan ekonomi dalam negeri dapat
lebih kuat.Dalam sebuah harian diberitakan (Kompas-14 Agustus 2009) bahwa
Indonesia membayar bahan makanan impor sebesar hampir 5 milyar Dolar per tahun
atau kuarng lebih 50 trilyun Rupiah; suatu jumlah yang tidak sedikit. Untuk
kebutuhan garam saja kita masih impor sebesar 900 M pertahun. Pabrik tekstil di
Indonesia dan garmen banyak sudah tutup, padahal para pekerjanya adalah umat
Islam juga. Dahulu kita meminjam modal yang digunakan untuk membangun pabrik di
sini sehingga terbuka lapangan pekerjaan. Sekarang malah dikirim barangnya
sehingga para pekerja di-PHK.Inilah contoh kasus yang dilihat dari aspek Sadd
Al-Dazariah tidak menguntunghkan umat Islam. Memang belanja barang-barang impor
tidak haram. Namun, pertaanyaannya ialah siapa yang akan kita tolong dengan
belanja yang kita lakukan? Apakah orang China daratan sana, atau orang Cimis, Tasik,
Majalaya, Bekasi, Berastagi, Sambas, Garut atau Majalengka, Yogya, Surabaya,
Medan, dll yang merupakan saudara-saudara kita? Hatilah-hatilah berbelanja
belilah produk lokal, demi membela ekonomi bangsa dan umat ini.
Contoh lain, Ada perbuatan yang
dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang
dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya.
Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum
khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan
mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu
membuka pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang..
Dengan menetapkan hukumnya, sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka
tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan yang
dilarang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Al-Maslahah
al-Mursalah yaitu setiap
manfaat yang didalamnya terdapat tujuan syara’ secara umum, namun tidak
terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya. Manfaat yang
dimaksud oleh pembuat hukum syara’ (Allah) adalah sifat menjaga agama, jiwa,
akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara Pencipta
dan makhluk-Nya. Tujuan utama al-Maslahah adalah kemaslahatan; yakni memelihara
dari kemadaratan dan menjaga kemanfaatannya. Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara’
memutlakkannya bahwa didalamnya tidak terdapat kaidah syara’ yang menjadi
penguatnya ataupun pembatalnya.
Penerapan
maslahah dalam ekonomi Islam (muamalah) memiliki ruang lingkup yang lebih luas
dibanding ibadah. Ajaran Islam tentang muamalah umumnya bersifat global, karena
itu ruang ijtihad untuk bergerak lebih luas. Ekonomi Islam yang menjadi
salah satu bidang muamalah berbeda dengan ibadah murni (ibadah mahdhah).
Ibadah bersifat dogmatik (ta`abbudi), sehingga sedikit sekali ruang
untuk berijtihad. Ruang ijtihad dalam bidang ibadah sangat sempit. Lain halnya
dengan ekonomi Islam (muamalah) yang cukup terbuka bagi inovasi dan kreasi baru
dalam membangun dan mengembangkan ekonomi Islam. Oleh karena itu prinsip
maslahah dalam bidang muamalah menjadi acuan dan patokan penting.
Sadd
adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah)
sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas
dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan
jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus
mencegah perbuatan tersebut.
Implemantasi
Saddu Al-Dzariah dalam keseharian kita ialah bahwa bila seseorang akan membeli
barang, baik yang besifat konsumtif atau produktif, maka harus mengutamakan
produk lokal, nasional, dan dalam negeri. Sebab, cara inilah yang akan lebih
menguntungkan bagi perkembangan ekonomi bangsa sehingga ketahanan ekonomi dalam
negeri dapat lebih kuat.Dengan menetapkan hukumnya, sama dengan perbuatan yang
sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju ke arah
perbuatan-perbuatan yang dilarang.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’I, Rachmat .1999.Ilmu
Ushul Fiqih.Bandung:Pustaka Setia.
Syarifuddin,
Amir .2008.Ushul Fiqh.Jakarta:Kencana.
Djazuli,
A.2006,Imu Fiqh.Jakarta:Kencana.
Djazuli, A. dan I. Nurol Aen.2000.Ushul Fiqh(Metodologi Hukum Islam).Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.
Agustianto. (2011). Urgensi Maslahah dalam Ijtihad Ekonomi Islam,
dikutip dari http://www.agustiantocentre.com, pada 21 Maret 2012.
[1]
Rachmat Syafe’i,1999,Ilmu Ushul Fiqih(Bandung:Pustaka
Setia)hal.117
[4]
Amir Syarifuddin,2008,Ushul Fiqh(Jakarta:Kencana)hal.370-377
[5]
A.Djazuli,2006,Imu Fiqh(Jakarta:Kencana)hal.87
[6]Agustianto. (2011). Urgensi Maslahah dalam Ijtihad
Ekonomi Islam, dikutip darihttp://www.agustiantocentre.com, pada 21 Maret
2012.
[7]
A.Djazuli dan I. Nurol Aen,2000,Ushul Fiqh(Metodologi Hukum Islam)(Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada)hal.217
[8]
Amir Syarifuddin,2008,Ushul Fiqh(Jakarta:Kencana)hal.451
Tidak ada komentar:
Posting Komentar