BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tenaga kerja (SDM) merupakan satu
aspek yang sangat berpengaruh terhadap semua perkembangan perekonomian di
dunia. Tenaga kerja tidak terlepas dari pembangunan, Tenaga kerja tidak
terlepas dari kehidupan, dan tenaga kerja merupakan tonggak utama
perekonomian suatu bangsa, di samping SDA dan teknologi.
Di indonesia, masalah
ketenagakerjaan mulai menjadi perhatian sejak masuknya penjajahan. Dimulai
dengan belanda, portugis, inggris, dan kemudian jepang. Semuanya menerapkan
sistemnya masing – masing. Meskipun demikian, perlindungan terhadap tenaga
kerja baru mulai mendapat perhatian setelah Belanda di bawah pimpinan Deandels
menerapkan etische politik (politik balas budi). Semenjak saat
itu, maka mulai lahir peraturan-peraturan (hukum) tentang ketenagakerjaan, yang
mana peraturan yang dibuat mulai memeperhatikan sisi-sisi kemanusiaan.
Seiring perjalanan bangsa sampai
memasuki era kemerdekaan, peraturan demi peraturan dibuat untuk melindungi, dan
menjamin kesejahteraan, keselamatan, dan keberlangsungan hidup (secara
kemanusiaan) para pekerja. Kini, kita sudah lebih dari setengah abad merdeka.
Namun, masalah yang menyangkut tentang ketenagakerjaan mulai dari Upah,
Kesejahteraan, dll masih menjadi sorotan. Semuanya masih jauh dari harapan.
Kita bisa melihat bahwa hampir semua aksi Buruh memperingati hari buruh sedunia
(mayday) selalu menuntut keadilan atas dasar kemanusiaan. Para buruh selalu
meneriakkan tentang sistem kerja kontrak, upah, dll. yang semuanya berujung
pada kesejahteraan para pekerja.
Pembangunan nasional, khususnya
bidang ketenagakerjaan diarahkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat pekerja. Oleh karena itu hukum ketenagakerjaan harus
dapat menjamin kepastian hukum, nilai keadilan, asas kemanfaatan, ketertiban,
perlindungan dan penegakan hukum. Seiring dengan pembangunan bidang
ketenagakerjaan, tampak maraknya para pelaku dunia usaha berbenah diri pasca
krisis ekonomi dan moneter untuk bangun dari mimpi yang buruk, serta terpaan
gelombang krisis ekonomi global yang melanda asia tenggara, di mana Indonesia
tidak lepas dari terpaan gelombang tersebut. Pemerintah dalam upaya mengatasi
krisis ekonomi global bersama dengan masyarakat, terutama para pelaku usaha,
salah satu alasan pokok untuk menstabilkan perekonomian dan menjaga
keseimbangan moneter serta menghindari kebangkrutan sebagian besar perusahaan
yang berdampak terhadap sebagian besar nasib para pekerja pabrikan dan berujung
pada pemutusan hubungan kerja.
Pemerintah selaku pembina, pengawas,
dan penindakan hukum melaksanakan aturan hukum dengan hati-hati mengingat
posisi pengusaha dan pekerja merupakan aset potensial bagi negara, sekaligus
subyek pembangunan nasional yang berkedudukan sama dihadapan hukum. Aturan
hukum sebagai pedoman tingkah laku wajib dipatuhi para pihak dan dengan penuh
rasa tanggung-jawab. Kepatuhan bukan merupakan paksaan, melainkan budaya taat
terhadap ketentuan hukum.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian Ketenagakerjaan?
2. Bagaimana
Sejarah Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia?
3. Bagaimana
Landasan, Asas dan Tujuan Ketenagakerjaan?
4. Bagaimana
Sifat dan Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan?
5. Apa
saja Objek Hukum Ketenagakerjaan?
6. Siapa
saja Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan?
7. Apa
saja Hak dan Kewajiban dalam Ketenagakerjaan?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
Pengertian Ketenagakerjaan
2. Mengetahui
Sejarah Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia
3. Mengetahui
Landasan, Asas dan Tujuan Ketenagakerjaan
4. Mengetahui
Sifat dan Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan
5. Mengetahui
Objek Hukum Ketenagakerjaan
6. Mengetahui
Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan
7. Mengetahui
Hak dan Kewajiban dalam Ketenagakerjaan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ketenagakerjaan
UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai segala hal yang berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Dari
pengertian ini, dapat dipahami bahwa, yang diatur dalam UU ketenagakerjaan
adalah segala hal yang berkaitan dengan pekerja/buruh, menyangkut hal-hal
sebelum masa kerja (pre-employment),
antara lain; menyangkut pemagangan, kewajiban mengumumkan lowongan kerja, dan
lain-lain.
Hal-hal
yang berkenaan selama masa bekerja (during-employment),
antara lain menyangkut: perlindungan kerja, upah, jaminan sosial, kesehatan dan
keselamatan kerja, pengawasan kerja, dan lain-lain. Adapun hal-hal sesudah masa
kerja, antara lain pesangon, dan pensiun/jaminan hari tua.[1]
Tenaga
kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
Menurut
Payaman Simanjutak, tenaga kerja (man power) adalah penduduk yang sudah
atau sedang bekerja, sedang mencari pekerjaan, dan yang melaksanakan kegiatan
lain, seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Pengertian tenaga kerja dan
bukan tenaga kerja menurutnya ditentukan oleh umur/usia.
Tenaga
kerja (man power) terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Angkatan
kerja atau labour force, terdiri atas:
ü Golongan
yang bekerja
ü Golongan
yang menganggur atau yang sedang mencari pekerjaan
Kelompok
bukan angkatan kerja, terdirsi atas:
ü Golongan
yang bersekolah
ü Golongan
yang mengurus rumah tangga
ü Golongan
lain-lain atau penerima pendapatan.
Jadi,
tenaga kerja mencakup siapa saja yang dikategorikan sebagai angkatan kerja dan
juga mereka yang bukan angkatan kerja, sedangkan angkatan kerja adalah mereka
yang bekerja dan yang tidak bekerja (pengangguran).[2]
Pengertian Hukum Ketenagakerjaan
Hukum
ketenagakerjaan adalah hukum yang mengatur tentang tenaga kerja. Hukum
ketenegakerjaan semula dikenal dengan istilah perburuhan. Hukum ketenagakerjaan
dahulu disebut hukum perburuhan yang merupakan terjemahan dari Arbeidsrechts.
Terdapat beberapa pendapat atau batasan tentang pengertian hukum perburuhan.
Molenaar memberikan batasan pengertian dari Arbeidsrechts adalah bagian dari
hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan
majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa.[3]
B.
Sejarah
Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia
1.
Masa
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
Perbudakan
merupakan hubungan kerja yang pernah terjadi dalam sejarah kehidupan bangsa
Indonesia. Dalam perbudakan ada unsur pemberi kerja dan penerima/pelaksana
kerja. Perbudakan adalah suatu keadaan dimana seseorang yang disebut budak
melakukan pekerjaan di bawah perintah pihak lain yaitu pemilik budak. Seorang
budak tidak mempunyai hak apapun dalam hubungan kerja bahkan juga tidak
memiliki hak atas kehidupannya. Kewajiban budak adalah melaksanakan segala
perintah kerja yang diberikan pemilik budak. Para pemilik budak adalah
satu-satunya pihak yang memiliki hak untuk mengatur dan memberi kerja serta hak
lainnya atas budak yang dimilikinya.
Selain perbudakan, sejarah
ketenagakerjaan Indonesia diwarnai pula dengan lembaga perhambaan dan lembaga
peruluran, serta kerja rodi dan poenale sanksi. Perhambaan adalah peristiwa
dimana seseorang meminjam sejumlah uang dengan cara menggadaikan dirinya
sendiri atau orang lain yang berada dibawah kekuasaannya (biasanya anaknya)
untuk melakukan pekerjaan dibawah perintah uang yang meminjamkan uang tersebut
hingga hutangnya lunas. Pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan orang yang
meminjamkan uang ini dapat dijadikan cara untuk melunasi hutang atau bisa juga
hanya untuk sekedar membayar bunga hutang.
Pada tahun 1880 keluar peraturan
serupa punale sanksi yang disebut Koeli Ordonnantie dan berlaku untuk
wilayah Sumatera Timur. Pada tahun berikutnya peraturan-peraturan serupa juga
diberlakukan untuk daerah-daerah lain. Keluarnya peraturan-peraturan tersebut
membuat kondisi ketenagakerjaan semakin memprihatinkan karena timbul pemerasan
tenaga kerja, penganiayaan pekerja/ buruh, dan pengawasan yang selalu berpihak
pada pengusaha. Instansi pengawasan dibidang ketenagakerjaan tidak dapat
mencegah kondisi yang memprihatinkan tersebut mengingat kondisi ketidakadilan
itu sendiri diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Melihat kondisi
yang memprihatinkan tersebut maka dikeluarkan peraturan yang mencabutnya pada
tahun 1941 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1942.[4]
2.
Masa
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
Sejak diproklamasikan kemerdekaan,
pemerintah Republik Indonesia berusaha memperbaiki kondisi ketenagakerjaan agar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan salah
satu tujuan didirikannya negara Republik Indonesia yaitu melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum
dan ketentuan pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Guna menghindari kekosongan hukum
dibidang ketenagakerjaan, Negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945, masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada
penjajahan. Ketentuan ini dicantumkan dalam pasal 1 aturan peralihan UUD 1945
yang menyatakan segala peraturan perundang-undangan yang ada yang masih tetap
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini. Dengan
ketentuan aturan peralihan ini, semua peraturan perundang-undangan dibidang
ketenagakerjaan yang berlaku pada saat pengesahan UUD 1945 masih tetap berlaku
sepanjang belum diganti dengan yang baru. Peraturan perundang-undangan yang
masih tetap berlaku tersebut adalah buku III bab 7A KUH perdata yang mengatur
masalah ketenagakerjaan beserta peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan pada
zaman penjajahan Belanda.
Pada awal berdirinya negara Republik
Indonesia ketenagakerjaan belum merupakan masalah serius yang harus segera
ditangani. Hal ini karena selain seluruh rakyat masih sibuk dengan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus
1945, perusahan-perusahaan penting saat itu masih dikuasai oleh negara sehingga
masalah ketenagakerjaan terutama perselisihan antara pengusaha dan pekerja/buruh
belum begitu terasa menonjol.[5]
C.
Landasan,
Asas dan Tujuan Ketenagakerjaan
·
Landasan
Ketenagakerjaan
Landasan
pembangunan ketenagakerjaan ada dua, yaitu :
1. Pancasila
2. Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945.
Undang-Undang dasar
(UUD) 1945 telah mengalami beberapa kali perubahan, yaitu :
ü Perubahan
pertama tahun 1999
ü Perubahan
kedua tahun 2000
ü Perubahan
ketiga tahun 2001
ü Perubahan
keempat tahun 2002
Pasal-pasal
UUD 1945 yang menjadi landasan bagi pembangunan ketenagakerjaan adalah :
a. Pasal
27 ayat 2 UUD 1945
“Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Pasal yang sama dengan
pasal 27 ialah:
Pasal 28 D ayat 2 UUD
1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
b. Pasal
28 H ayat 1 UUD 1945:
“Setiap orang berhak
untuk hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”.
c. Pasal
28 H ayat 2 UUD 1945:
“Setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
d. Pasal
28 H ayat 3 UUD 1945:
“Setiap orang berhak
atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat”.
e. Pasal
28 H ayat 4 UUD 1945:
“Setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh di ambil alih
sewenang-wenang oleh siapapun”.
f. Pasal
281 ayat 2 UUD 1945 :
“Setiap orang berhak
bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.[6]
·
Asas
Ketenagakerjaan
Penjelasan pasal 3 UU No.13 Tahun 2003 menyatakan
bahwa asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas
pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan
merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan
dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja atau
buruh. oleh sebab itu pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu
dalam bentuk kerja sama yang saling menguntungkan. Pembangunan ketenagakerjaan
diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional
lintas sektoral pusat dan daerah (pasal 3 UU No.3/ Tahun 2003).
·
Tujuan
Ketenagakerjaan
Pasal
4 UU No.13 Tahun 2003 menyatakan bahwa tujuan pembangunan ketenagakerjaan
adalah sebagai berikut
1. Memberdayakan
dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
2. Mewujudkan
pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.
3. Memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.
4. Meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarga.[7]
D.
Sifat
dan Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan
·
Sifat
Hukum Ketenagakerjaan
Secara
umum, sifat hukum dikategorikan menjadi dua golongan, yaitu:
1. Sifat
hukum ketenagakerjaan sebagai hukum mengatur (Regeld)
Ciri
utama dari hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang bersifat mengatur; ditandai
dengan adanya aturan yang tidak sepenuhnya memaksa. Dengan kata lain, boleh
dilakukan penyimpangan atas ketentuan tersebut dalam perjanjian (perjanjian
kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama). Sifat hukum yang
mengatur disebut fakultatif yang artinya hukum yang mengatur /fakultatif adalah
sebagai berikut.
2. Sifat
memaksa hukum ketenagakerjaan
Hukum perburuhan/ketenagakerjaan mengatur hubungan
kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha, yang berarti mengatur kepentingan
orang perorangan. Atas dasar itulah, maka hukum perburuhan/ketenagakerjaan
bersifat privat (perdata). Disamping itu, dalam pelaksanaan hubungan kerja
untuk masalah-masalah tertentu, diperlukan campur tangan pemerintah. Campur
tangan ini menjadikan hukum ketenagakerjaan bersifat publik.
Sifat publik dari hukum ketenagakerjaan
ditandai dengan ketentuan-ketentuan memaksa, yang jika tidak dipenuhi, maka
negara/pemerintah dapat melakukan aksi/tindakan tertentu berupa sanksi. Bentuk
ketentuan memaksa yang memerlukan campur tangan pemerintah itu antara lain:
a. Adanya
penerapan sanksi terhadap pelanggaran atau tindak pidana bidang
ketenagakerjaan,
b. Adanya
syarat-syarat dan masalah perizinan, misalnya:
Ø Perizinan
yang menyangkut tenaga kerja asing
Ø Perizinan
menyangkut pengiriman tenaga kerja indonesia;
Ø Penangguhan
pelaksanaan upah minimum dengan izin dan syarat tertentu;
Ø Masalah
penyelesaian perselisihan hubunga industrial atau pemutusan hubungan kerja ;
Ø Syarat
mempekerjakan pekerja anak, dan sebagainya.[8]
·
Kedudukan
Hukum Ketenagakerjaan
Kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam tata hukum
Indonesia terletak di bidang hukum Admiministrasi atau tata negara, hukum
perdata, dan hukum pidana.
a.
Kedudukan
Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Hukum Perdata
Hukum ketenagakerjaan
di bidang hukum perdata pada hakikatnya memegang peranan penting di dalam
hubungan industrial adalah pihak-pihaknya, yaitu buruh dan majikan saja.
Hubunga antara pengusaha dan pekerja didasarka pada hubungan privat. Hubungan
itu didasarkan pada hukum perikatan yang menjadi bagian dari hukum perdata.
Pemerintah hanya berlaku sebagai pengawas atau lebih tepatnya dapat menjalankan
fungsi fasilitator apabila ternyata dalam pelaksanaan muncul suatu perselisihan
yang tidak dapat mereka selesaikan.
b.
Kedudukan
Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Hukum Administrasi
Kedudukan hukum
ketenagakerjaan di dalam hukum admisnistrasi yang diperhatikan ada dua hal,
yaitu subjek hukum dalam penyelenggaraan negara dan bagaimana peranannya.
Subjek hukum dalam penyelenggaraan negara menyangkut tiga hal, yaitu pejabat,
lembaga, dan warga negara. Sedangkan peranannya berkaitan dengan menjalankan
fungsi negara didalam pembuatan peraturan atau pemberian izin, bagaimana negara
melakukan pencegahan terhadap sesuatu hal yang dapat terjadi (polotie) dan bagaimana upaya hukumnya.
c.
Kedudukan
Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Pidana
Kedudukan hukum
perburuhan dalam hukum pidana adalah pentingnya pentingnya penerpaa sanksi
hukum bagi pelanggar peraturan perundang-undangan. Terdapat asas legalitas
dalam hukum pidana, yaitu suatu pebruatan dikatakan sebagai perbuatan melanggar
hukum apabila perbuatan tersebut sudah dituangkan dalam suatu undang-undang
penerapan sanksi harus mendasarkan pada ada tidaknya kesalahan yang dibukikan
dengan adanya hubungan kausal antata perbuata dengan akibat yang terjadi. Sanksi,
hakukatnya merupakan perampasan hak seseorang, oleh karena itu harus dibuat
secara demokratis. Bentuk peraturan yang mencerminkan situasi demokratis adalah
undang-undag atau peraturan daerah karena dalam pembuatannya melibatkan suara
atau wakl-wakil rakyat yang duduk di DPR atau di DPRD.[9]
E.
Objek
Hukum Ketenagakerjaan
Objek
hukum ketenagakerjaan adalah segala sesuatu yang menjadi tujuan diberlakukannya
Hukum ketenagakerjaan. Terdapat dua hal utama yang menjadi objek/tujuan atas
diberlakukannya, yaitu sebagai berikut.
ü Terpenuhinya
pelaksanaan saksi hukuman, baik yag yang bersifat administratif maupun bersifat
pidana sebagai akibat dilanggarnya suatu ketentuan dalam peraturan.
ü Terpenuhinya
ganti rugi bagi pihak yang berhak sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan
oleh pihak lainnya terhadap perjanjian yang telah disepakati.
UU
Ketenagakerjaan menetapka bahwa tujuan hukum ketenagakerjaan adalah ma seencapai
tujuan pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya dengan meningkatlkan harkat,
martabat dan harga diri tenaga kerja, guna mewujudkan masyarakat sejahtera,
makmir dan adil.[10]
F.
Para
Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan
1.
Buruh/Pekerja
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pasal 1 angka 4 memberikan pengertian Pekerja/buruh adalah
setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
apapun. Pengertian ini agak umum, namun maknanya lebih luas karena dapat
mencakup semua orang yag bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan,
badan hukum, atau badan usaha lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk apapun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu karena upah
selama ini diidentikkan denga uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang
menerima imbalan dalam bentuk barang.[11]
2.
Pengusaha
Dalam pasal 1 angka 5 Undang-undang
No. 13 Tahun 2003 menjelaskan pengertian pengusaha yakni:
1. Orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan
milik sendiri.
2. Orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan buka miliknya.
3. Orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.[12]
3.
Orgaisasi
Pekerja/Buruh (Serikat Pekerja)
Kehadiran organisasi
pekerja dimaksudkan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja, sehingga
tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha. Keberhasilan maksud
ini sangat tergantung dari kesadaran para pekerja untuk mengorganisasikan
dirinya, semakin baik organisasi itu, maka aka semakin kuat. Sebaliknya semakin
lemah, maka semakin tidak berdaya dalam melakukan tugasnya. Karena itulah kaum
pekerja di Indonesia harus menghimpun dirinya dalam suatu wadah atau
organisasi.[13]
4.
Organisasi
Pengusaha
a. KADIN
Untuk
meningkatkan peran serta pengusaha nasional dalam kegiatan pembangunan, maka
pemerintah melalui Undang-undang No.49 Tahun 1973 membentuk Kamar Dagang dan
Industri ( KADIN ). KADIN adalah wadah bagi pengusaha indonesia dan bergerak
dalam bidang perekonomian. Tujuan KADIN adalah :
1. Membina
dan mengembangkan kemampuan, kegiatan,dan kepentingan pengusaha Indonesia di
bidang usaha negara, usaha koperasi dan usaha swasta dalam kedudukannya sebagai
pelaku-pelaku ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan ekonomi dan
dunia usaha nasional yang sehat dan tertib berdasarkan Pasal 33 UUD 1945.
2. Menciptakan
dan mengembangkan iklim dunia usaha yang memungkinkankeikutsertaan yang
seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia dapat berperan serta secara efektif
dalam pembangunan nasional.
b. APINDO
Organisasi pengusaha
yang khusus mengurus masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan adalah
Asosiasi Pengusaha Indonesia. Asosiasi Pengusaha Indonesia adalah suatu wadah
kesatuan para pengusaha yang ikut serta untuk mewujudkan kesejahteraan sosial
dalam dunia usaha melalui kerja sama yang terpadu dan serasi antara
pemerintah,pengusaha,dan pekerja.
Tujuan apindo menurut
Pasal 7 Anggaran Dasar adalah :
1. Mempersatukan
dan membina pengusaha serta memberikan layanan kepentingannya di dalam bidang
sosial ekonomi.
2. Menciptakan
dan memelihara keseimbangan,ketenangan dan kegairahan kerja dalam lapangan
hubungan industrial dan ketenagakerjaan.
3. Mengusahakan
peningkatan produktivitas kerja sebagai program peran serta aktif untuk
mewujudkan pembangunan nasional menuju kesejahteraan sosial,spiritual,dan
materiil.
4. Menciptakan
adanya kesatuan pendapat dalam melaksanakan kebijakan/ketenagakerjaan dari para
pengusaha yang disesuaikan dengan kebijaksanaan pemerintah.
Mengakaji tujuan
didirikannya organisasi pengusaha seperti di atas, jelaslah bahwa eksistensi
organisasi pengusaha lebih ditekankan sebagai wadah untuk mempersatukan para
pengusaha Indonesia dalam upaya turut serta memelihara ketenangan kerja dan
berusaha atau lebih pada hal-hal yang teknis menyangkut pekerjaan/kepentingannya.[14]
5.
Pemerintah/penguasa
Campur
tangan pemerintah (Penguasa) dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan dimaksudkan
untuk terciptanya hubungan perburuhan/ketenagakerjaan yang adil, karena jika
hubungan antara pekerja dan pengusaha yang sangat berbeda secara sosial-ekonomi
diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk menciptakan keadilan
dalam hubungan perburuhan/ketenagakerjaan akan sulit tercapai, karena pihak
yang kuat akan selalu ingin menguasai yang lemah. Atas dasar itulah pemerintah
turut campur tangan melalui peraturan perundang-undangan untuk memberikan
jaminan kepastian hak dan kewajiban para pihak.[15]
G.
Hak
dan Kewajiban dalam Ketenaakerjaan
Ø Hak dan Kewajiban sebagai Pekerja
a. Hak-hak sebagai Pekerja Tertuang dalam UU No. 13
Tahun 2003 antara lain:
1.
Pasal 5: Setiap tenaga kerja
memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
2.
Pasal 6: Setiap pekerja berHak
memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
3.
Pasal 11: Setiap tenaga kerja berHak
untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja
sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya melalui pelatihan kerja.
4.
Pasal 12 ayat (3): Setiap pekerja memiliki
kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang
tugasnya.
5.
Pasal 18 ayat (1): Tenaga kerja
berHak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja
yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga
pelatihan kerja swasta atau pelatihan ditempat kerja.
6.
Pasal 23: Tenaga kerja yang telah
mengikuti program pemagangan berHak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja
dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.
7.
Pasal 31: Setiap tenaga kerja
mempunyai Hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah
pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak didalam atau diluar negeri.
8.
Pasal 67: Pengusaha yang
mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
9.
Pasal 78 ayat (2): Pengusaha yang
mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 78
ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur
10. Pasal
79 ayat (1) : Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja.
11. Pasal 80:
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
12. Pasal 82:
Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan
sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (Satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
13. Pasal 84:
Setiap pekerja yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (2) huruf b, c dan d, Pasal 80 dan Pasal 82 berHakmendapatkan
upah penuh.
14. Pasal 85
ayat (1): Pekerja tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
15. Pasal 86
ayat (1): Setiap pekerja mempunyai Hak untuk memperoleh perlindungan atas:
Keselamatan dan kesehatan kerja, Moral dan kesusilaan dan Perlakuan yang sesuai
dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
16. Pasal
88: Setiap pekerja berHak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.
17. Pasal
90: Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89.
18. Pasal 99
ayat (1): Setiap pekerja dan keluarganya berHak untuk memperoleh jaminan sosial
tenaga kerja.
19. Pasal 104
ayat (1): Setiap pekerja berHak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja.
b. Kewajiban-Kewajiban sebagai Pekerja tertuang dalam
UU No. 13 Tahun 2003 antara lain:
1.
Pasal 102 ayat (2): Dalam
melaksanakan hubungan industrial, pekerja dan serikat pekerja mempunyai fungsi
menjalankan pekerjaan sesuai dengan keWajibannya, menjaga ketertiban demi
kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokrasi, mengembangkan
keterampilan dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
2.
Pasal 126 ayat (1): Pengusaha,
serikat pekerja dan pekerja Wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam
perjanjian kerja bersama.
3.
Pasal 126 ayat (2): Pengusaha dan
serikat pekerja Wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau
perubahannya kepada seluruh pekerja.
4.
Pasal 136 ayat (1): Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial Wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan
pekerja atau serikat pekerja secara musyawarah untuk mufakat.
5.
Pasal 140 ayat (1): Sekurang
kurangnya dalam waktu 7 (Tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja
dan serikat pekerja Wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha
dan instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat.
Ø Hak dan Kewajiban sebagai Pengusaha
a.
Hak-hak
pengusaha antar lain :
1.
Berhak
atas hasil pekerjaan
2.
Berhak
untuk memerintah/mengatur tenaga kerja
3.
Berhak melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerja/buruh (pasal 150)
b.
Kewajiban-Kewajiban sebagai
Pengusaha Tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2003 antara lain:
1.
Mempekerjakan tenaga kerja
penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan garis dan derajat
kecacatan nya.(Pasal 67 ayat 1 UU No 13 tahun 2003).
2.
Pengusaha wajib memberikan/
menyediakan angkutan antar Jemput Bagi Pekerja /Buruh Perempuan yang berangkat
dan pulang pekerja antara pukul 23.00 s.d pukul 05.00(Pasal 76 (5) UU No.13
Tahun 2003).
3.
Setiap Pengusaha wajib melaksanakan
ketentuan waktu kerja. (Pasal 77 ayat (1) s.d (4) (UU Ketenagakerjaan).
4.
Pengusaha wajib Memberi Waktu
Istirahat Dan Cuti Kepada Pekerja/Buruh (Pasal 79 UU ketenaga kerjaan).
5.
Pengusaha Wajib memberikan
Kesempatan Secukupnya Kepada Pekerja Untuk Melaksanakan Ibadah yang diwajibkan
Oleh Agamanya (Pasal 80 UU Ketenagakerjaan).
6.
Pengusaha yang memperkerjakan
Pekerja/Buruh Yang melakukan pekerja Untuk Melaksanakan Ibadah yang Di wajib
kan oleh agama nya (Pasal 80 UU Ketenagakerjaan).
7.
Pengusaha yang Memperkerjakan
Pekerja/Buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagai mana di
maksud pada ayat (2) Wajib membayar Upah kerja lembur (Pasal 85 (3) UU
Ketenagakerjaan).
8.
Pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh sekurang-kurang nya 10 (Sepuluh orang wajib membuat peraturan
perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh mentri atau pejabat yang
ditunjuk (Pasal 108 (1) UU Ketenagakerjaan.
9.
Pengusaha Wajib memberitahukan dan
menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau
perubahannya kepada pekerja/buruh.
10. Pengusaha
wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/serikat buruh, serta
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenaga kerjaan setempat
sekurang-kurang nya 7(Tujuh) hari kerja (Pasal 148 UU Ketenaga kerjaan).
11. Dalam Hal
terjadi pemutusan Kerja pengusah di wajib kan membayar uang pesangon dan atau
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima
(pasal 156 (1) UU ketenagakerjaan).
12. Dalam hal
pekerja /buruh di tahan pihak yang berwajib karena di duga melakukan tindak
pidana bukan bukan atas pengaduan pengusaha,maka pengusaha tidak wajib
memberikan bantuan kepada keluarga pekerja,buruh yang menjadi
tanggungannya. (Pasal 160 ayat (1) UU ketenagakerjaan).
13. Pengusaha
wajib membayar kepada pekerja ,buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja
sebagaimana di maksud pada ayat (3)dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja
1(satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (4).
14. Untuk Pengusaha
di larang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana di maksud
dalam pasal 89 (Pasal 90 UU Ketenagakerjaan).
15. Pengusaha
Wajib MembayarUpah/pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku (pasal 91 UU Ketenagakerjaan).
16. Kewajiban
Pengusaha lainnya bisa dilihat dalam pasal 33 ayat (2) UU ketenagakerjaan.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan sebagai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Tenaga
kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
Hukum
ketenagakerjaan adalah hukum yang mengatur tentang tenaga kerja. Hukum ketenagakerjaan
pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh
dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa.
ü Sejarah
Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia terdiri dari dua fase, yaitu:
1.
Masa
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
2.
Masa
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
ü Landasan
pembangunan ketenagakerjaan ada dua, yaitu :
1. Pancasila
2. Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945.
ü Pembangunan
ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi
fungsional lintas sektoral pusat dan daerah (pasal 3 UU No.3/ Tahun 2003).
ü Tujuan
Ketenagakerjaan
Pasal
4 UU No.13 Tahun 2003 menyatakan bahwa tujuan pembangunan ketenagakerjaan
adalah sebagai berikut.
1) Memberdayakan
dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
2) Mewujudkan
pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.
3) Memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.
4) Meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarga.
ü Sifat
hukum ketenagakerjaan dikategorikan menjadi dua golongan, yaitu:
1) Sifat
hukum ketenagakerjaan sebagai hukum mengatur (Regeld)
2) Sifat
memaksa hukum ketenagakerjaan
ü Kedudukan
Hukum Ketenagakerjaan, terdiri dari tiga bidang, yaitu:
a.
Kedudukan
Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Hukum Perdata
b.
Kedudukan
Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Hukum Administrasi
c.
Kedudukan
Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Pidana
ü Objek
Hukum Ketenagakerjaan, sebagai berikut.
-
Terpenuhinya
pelaksanaan saksi hukuman, baik yag yang bersifat administratif maupun bersifat
pidana sebagai akibat dilanggarnya suatu ketentuan dalam peraturan.
-
Terpenuhinya
ganti rugi bagi pihak yang berhak sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan
oleh pihak lainnya terhadap perjanjian yang telah disepakati.
ü Pihak-pihak
yang terlibat dalam Hukum Ketenagakerjaan. Diantaranya:
1. Buruh/Pekerja
2. Orgaisasi
Pekerja/Buruh (Serikat Pekerja)
3. Organisasi
Pengusaha
4. Pemerintah/penguasa
ü Hak
dan Kewajiban dalam Ketenaakerjaan, teridiri dari:
Ø Hak dan
Kewajiban sebagai Pekerja
Ø Hak dan
Kewajiban sebagai Pengusaha
DAFTAR
PUSTAKA
Agusmidah. 2010. Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Rahayu, Devi. 2011. Hukum Ketatanegaraan. Yogyakarta: New Elmatera.
Rusli,
Hardijan. 2011. Hukum Ketenagakerjaan.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Husni,
Lalu. 2003. Hukum Ketatanegaraan
Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Undang-undang
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
[1] Agusmidah, Hukum Ketatanegaraan
Indonesia( Bogor: Ghalia Indonesia , 2010)
hlm.5
[2] Ibid;hlm.6
[3] Devi Rahayu, Hukum
Ketatanegaraan( Yogyakarta: New Elmatera, 2011) hlm.6
[4] Ibid; hlm.19-22
[6] Hardijan
Rusli, Hukum Ketenagakerjaan(Bogor:Ghalia
Indonesia, 2011) hlm.4
[7] Ibid; hlm.5
[8] Hardijan
Rusli, hukum ketenagakerjaan(Bogor:Ghalia
Indonesia, 2011) hlm.9-11
[9] Devi Rahayu, Hukum Ketatanegaraan(
Yogyakarta: New Elmatera, 2011) hlm.17-19
[10]
Hardijan Rusli, hukum ketenagakerjaan(Bogor:Ghalia
Indonesia, 2011) hlm.11
[11] Lalu Husni, Hukum Ketatanegaraan Indonesia( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003)
hlm.33
[12] Ibid; hlm.35-36
[13] Ibid; hlm.37-38
[14] Ibid;hlm.44-47
[15] Ibid;hlm.47-48
[16]
Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar