MEMBANGUN BISNIS BERBASIS ETIKA DI
TENGAH PERSAINGAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)
(Studi Kasus Monopoli pada PT. Perusahaan
Listrik Negara)
BAB
I
PENDAHULUAN
Mengapa bisnis memerlukan etika dalam
rangka kiprah bisnis dengan masyarakat secara luas? Pertanyaan ini jelas
terkait dengan fungsi dan peranan yang akan dilakukan. Apalagi kita mengetahui
bahwa bisnis membutuhkan masyarakat dan masyarakat membutuhkan bisnis. Atas
dasar itulah kebutuhan bisnis dalam aspek kehidupannya tidak terlepas dengan eksistensi
masyarakat dengan segala atribut dan simbol-simbol yang melekat pada
masyarakat. Berkaitan dengan ini pertanyaannya menjadi lebih luas, yaitu
mengapa bisnis yang membutuhkan masyarakat dan dibutuhkan masyarakat itu harus
menggunakan etika dalam operasionalisasinya? Setidaknya ada tiga alasan yang
dapat memberikan argumentasi atas pertanyaan ini, yaitu:
1. Bisnis tidak bebas nilai
Pernyataan
yang sering terlontar, bahwa bisnis adalah bisnis, seolah-olah merupakan
filosofi bisnis yang telah diterima secara umum di masyarakat (terutama
masyarakat di negara-negara sekuler). Pengertian statement bisnis adalah bisnis
itu menyiratkan bahwa bisnis hanya bertumpu pada aspek komersial saja, dimana
mekanisme memperoleh keuntungan ekonomi dari masyarakat dan cara yang ditempuh
untuk mencapai tujuan seolah bebas nilai, bebas norma dan bebas etika.
Dalam
ilmu marketing disebutkan bahwa
keberhasilan untuk memperoleh keuntungan komersial atau revenue dengan cara memberikan kepuasan terhadap pelanggan.
Demikian juga di dalam ilmu pengelolaan sumber daya manusia atau personalia,
jelas-jelas mengantarkan pemahaman bahwa
reward yang layak dan adil sesuai dengan kontribusinya yang diberikan oleh
manajer atau pemilik kepada human
resources akan menjamin usaha peningkatan produktivitas perusahaan dan
loyalitas karyawan terhadap perusahaan. Jika bisnis dalam melakukan aktivitas
bisnisnya senantiasa berorientasi pada kesejahteraan stakeholders-nya, maka dapat dipastikan bahwa perusahaan akan hidup
dalam jangka panjang, jika dilihat dari pihak-pihak yang dijadikan patrner
bisnis, yakni masyarakat dan sumber-sumber ekonomi dan para pemiliknya, maka
siapapun (tak terkecuali institut bisnis) yang berhubungan dan berinteraksi
dengan masyarakat, tentu didalam menjalankan kegiatan bisnis ini tidak lepas
dari nilai sosial, moral, dan etika yang dibutuhkan untuk mengatur harmoni
perusahaan supaya tercipta hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan
lingkungannya.
2. Aplikasi etika bisnis identik pengelolaan bisnis
secara profesional
Prinsip
profesional dalam pengelolaan bisnis sebenarnya erat kaitannya dengan aplikasi
etika bisnis. Seperti dijelaskan ruang lingkup etika bisnis meliputi
keterkaitan yang harmonis, saling menguntungkan antar pihak di dalam stakeholder dan pihak-pihak eksternal
lainnya. Pada hal ini merupakan tuntutan yanng harus dipenuhi jika perusahaan
ingin tumbuh dan berkembang secara kontinyu dalam jangka waktu yang panjang.
Dari kerangka pikiran seperti ini, tentu usaha-usaha ini identik dengan
pengelolaan bisnis secara ulet, jitu, efisien, dan efektif bagi alokasi sumber
daya ekonomi yang berasal dari luar perusahaan. Prinsip-prinsip alokasi sumber
daya ekonomi ini tentu dilakukan dengan proses manajemen yang canggih dengan
dasar keserasian hubungan antara pihak terkait. Oleh karena itu keberhasilan
perusahaan sebenarnya sangat didukung kuat oleh aplikasi konsep etika bisnis
secara konsisten. Dengan kata lain aplikasi etika bisnis merupakan kata kunci
bagi keberhasilan pengelolaan bisnis. dengan demikian pengelolaan bisnis harus
mempunyai komitmen yang tinggi atas aplikasi etika dalam bisnis.
3. Bisnis merupakan bagian dari sistem sosial
Kedudukan
bisnis di dalam masyarakat bahwa bisnis harus dapat menempatkan diri sebagai
sub sistem di dalam masyarakat. Artinya, eksistensi bisnis memang diakui
keberadaannya. Yakni bahwa bisnis membutuhkan masyarakat dan masyaakat
membutuhkan keberadaan bisnis. keduanya saling dibutuhkan dan diperlukan. Perusahaan
melihat masyarakat sebagai sumber potensi yang dapat menghidupi perusahaan.
Sebaliknya perusahaan juga harus menempatkan diri sebagai institusi yang
eksistensinya memang dibutuhkan oleh masyarakat. Disini nampak bahwa antara
bisnis dan sosial saling terikat, tergantung dan saling menentukan eksistensi
masing-masing.[1]
Islam telah secara jelas
menganjurkan kepada umat manusia untuk berusaha mencari rizki di muka bumi ini
sebagai bekal hidupnya di dunia dalam rangka melaksanakan ibadah kepada Allah
SWT. Segala sumber daya yang tersedia di dunia terdiri atas tanah dengan segala
kandungan yang ada di dalamnya, air, matahari dll. Semuanya di ciptakan Allah
untuk digunakan dan dikelola serta dimnafaatkan oleh manusia sebagai bekal
hidupnya supaya manusia hidup sejahtera lahir batin. Hal ini sesuai dengan
firman Allah:
QS.
Al-Jumu’ah:62:10
#sÎ*sù
ÏMuÅÒè%
äo4qn=¢Á9$#
(#rãϱtFR$$sù
Îû
ÇÚöF{$#
(#qäótGö/$#ur
`ÏB
È@ôÒsù
«!$#
(#rãä.ø$#ur
©!$#
#ZÏWx.
ö/ä3¯=yè©9
tbqßsÎ=øÿè?
ÇÊÉÈ
Artinya:
Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.[2]
Kemudian
diperkuat dengan hadis nabi:
Hadis riwayat
Thabrani:
“Sesungguhnya
allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berusaha, maka hendaklah kalian
berusaha”.
Umar bin Khattab
pernah berkata:
“Janganlah
sekali-kali diantara kalian ada orang yang duduk-duduk enggan mencari rizki dan
hanya berdo’a: “Ya allah limpahkanlah rizki kepadaku, padahal dia tahu bahwa
langit tidak menurunkan emas dan perak”.
Berbisnis dalam arti berusaha
mencari rizki dengan menjalankan fungsi-fungsi bisnis pada akhirnya bertujuan
untuk beribadah dan mencari ridho Allah.
Hal ini sesuai dengan tugas dan peran manusia dilahirkan di muka bumi untuk mengemban
amanah Allah. Berusaha dalam arti khusus, berbisnis merupakan salah satu bagian
dari keseluruhan upaya manusia untuk menjalankan tugas hidupnya selama di dunia
yang diproyeksikan ke kehidupan yang berdimensi jangka panjang di akhirat
dengan segala konsekuensinya.[3]
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Dalam Islam
1.
Jujur
dalam takaran (quantity).
Jujur dalam takaran ini sangat penting untuk
diperhatikan karena Tuhan sendiri secara gamblang mengatakan : “Celakalah bagi
orang yang curang. Apabila mereka menyukat dari orang lain (untuk dirinya),
dipenuhkannya (sukatannya). Tetapi apabila mereka menyukat (untuk orang lain)
atau menimbang (untuk orang lain), dikuranginya”.
Masalah
kejujuran tidak hanya merupakan kunci sukses seorang pelaku bisnis menurut
Islam. Tetapi etika bisnis modern juga sangat menekankan pada prinsip
kejujuran. William C. Byham mengatakan “ Business ethics build trust,
and trust is the basic of modern business. If we accept the view, arqued for
earlier, that there are not two moralities one for individualis and one for
business but a common moral framework for judging both individual and corporate
activities, then we can gain some guidance for business behavior by looking at
what philosophers have seen as the morally good life”
Makna
pernyataan Byham diatas bahwa etika bisnis membangun kepercayaan dan
kepercayaan adalah dasar dari pada bisnis modern. Jika kita menerima pandangan
tersebut bahwa tidak ada dua moralitas yaitu untuk individu dan untuk bisnis,
melainkan suatu kerangka moral umum yang berlaku baik bagi aktivitas individual
maupun kelompok. Dengan demikian, kita bisa memperoleh petunjuk untuk perilaku
bisnis dengan melihat sesuatu yang oleh para filosof dipandang sebagai
kehidupan yang bahagia secara moral.
2.
Menjual
barang yang baik mutunya (quality).
Salah
satu cacat etis dalam perdagangan adalah tidak transparan dalam hal mutu, yang
berarti mengabaikan tanggung jawab moral dalam dunia bisnis. Padahal tanggung
jawab yang diharapkan adalah tanggung jawab yang berkeseimbangan (balance) antara memperoleh keuntungan (profit) dan memenuhi norma-norma dasar
masyarakat baik berupa hukum, maupun etika dan adat.
Menyembunyikan
mutu sama halnya dengan berbuat curang dan bohong. Bukankah kebohongan itu akan
menyebabkan ketidaktentraman, sebaliknya kejujuran akan melahirkan ketenangan,
sebagaimana penjelasan Rasulullah saw. Dalam sabdanya yang diriwayatkan
al-Turmudhi dari Abu Musa al-Ansariy dari Abd Allah ibn Idris dari Shu’bah dari
Burayd ibn Abi Maryam dari Abi al-Hawra al-Sa’diy dari al-Hasan ibn Aliy yang
mengatakan : Aku hafal dari apa yang diucapkan Rasulallah saw.
“Tinggalkanlah
apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu. Karena sesungguhnya
kejujuran (berkata benar) itu adalah membawa ketenangan dan kebohongan (berkata
bohong) itu akan melahirkan kegelisahan” (HR. al-Turmudhi)”
3.
Dilarang
menggunakan sumpah (al-qasm).
Seringkali ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari, terutama dikalangan para pedagang kelas bawah apa yang dikenal
dengan obral sumpah. Mereka terlalu
mudah menggunakan sumpah dengan maksud untuk meyakinkan pembeli bahwa barang
dagangannya benar-benar berkualitas dengan harapan agar orang terdorong untuk
membelinya. Dalam islam perbuatan semacam itu tidak dibenarkan karena juga akan
menghilangkan keberkahan sebagaimana sabda Rasulallah saw. :
Dari
Abu Hurairah r.a, saya mendengar Rasulallah saw. Bersabda : “Sumpah itu
melariskan dagangan, tetapi menghapuskan keberkahan (HR. Abu Dawud).
4.
Longgar
dan bermurah hati (tatsamuh dan taraahum).
Dalam
transaksi terjadi kontak antara penjual dan pembeli. Dalam hal ini seorang
penjual diharapkan bersikap ramah dan bermurah hati kepada setiap pembeli.
Dengan sikap ini seorang penjual akan mendapat berkah dalam penjualan dan akan
diminati oleh pembeli. Kunci suksesnya adalah satu yaitu servis kepada orang
lain. Sebuah hadist riwayat al-Turmudhi dari Ikrimah ibn Ammar dari Abu Zumayl
dari Malik ibn Marthad dari bapaknya, dari Abi Dharr, yang berbunyi :
Rasulallah
saw bersabda : “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah bagimu” (HR
al-Turmudhi).
5.
Membangun
hubungan baik (interrelationship/ silat
ar-rahym) antar kolega.
Islam
menekankan hubungan konstruktif dengan siapa pun, inklud antar sesama pelaku
dalam bisnis. Islam tidak menghendaki dominasi pelaku yang satu diatas yang
lain, baik dalam bentuk monopoli, oligopoly maupun bentuk-bentuk lain yang
tidak mencerminkan sikap keadilan atau pemerataan pendapatan. Dalam kaitan
dengan hubungan pribadi antar pelaku bisnis ini, Diana Rowland mengemukakan
cara berfikir menurut orang Jepang bahwa bisnis lebih merupakan suatu komitmen
daripada sekedar transaksi. Karenanya, hubungan pribadi dianggap sangat penting
dalam mengembangkan ikatan perasaan dan kemanusiaan dan perlu diyakini secara
timbal balik bahwa hubungan bisnis tidak akan berakhir segera setelah hubungan
bisnis selesei. Ini sangat bertentangan dengan apa yang sering dilakukan
menurut cara berfikir orang Barat. Hubungan bisnis yang didasarkan pada
keuntungan secara pribadi bukanlah merupakan cara orang Jepang.
Dengan
demikian, dengan memahami filosofi bisnis orang Jepang bahwasanya yang penting
antara penjual dan pembeli tidak hanya mengejar keuntungan materi semata, namun
dibalik itu ada nilai kebersamaan untuk saling menjaga jalinan kerjasana yang
terbangun lewat silaturrahim. Dengan silaturrahim itulah menurut ajaran Islam
akan diraih hikmah yang dijanjikan yakni akan diluaskan rezeki dan dipanjangkan
umurnya bagi siapapun yang melakukannya. Sebagaimana sabda Rasulallah saw, yang
diriwayatkan oleh al-Bukhori.
“Bahwasannya
Rasulallah saw. Bersabda : barang siapa mengharapkan dimudahkan rezekinya dan
dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menjalin hubungan silaturrahim (HR .
al-Bukhari).
6.
Tertib
Administrasi
Dalam
dunia perdagangan wajar terjadi praktik pinjam meminjam. Dalam hubungan ini
al-qur’an mengajarkan perlunya administrasi hutang piutang tersebut agar
manusia terhindar dari kesalahan yang mungkin terjadi, sebagaimana firman-Nya :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ
أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي
عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَايَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا
Artinya
: “Hai orang-orangyang beriman, kalau kalian berhutang piutang dengan janji
yang ditetapkan waktunya, hendaklah kaliantuliskan. Dan seorang penulis
diantara kalian, hendaklah menuliskannya dengan jujur. Janganlah penulis itu
enggan menuliskannya, sebagaimana yang diajarkan Allah kepadanya. Hendaklah
dituliskannya! orang yang berhutang itu hendaklah membacakannya, dan takutlah
dia kepada Tuhannya dan janganlah mengurangkan hutangnya sedikitpun”.
7.
Menetapkan
harga dengan transparan.
Harga
yang tidak transparan bisa mengandung penipuan. Untuk itu menerapkan harga
dengan terbuka dan wajar sangat dihormati dalam Islam agar tidak terjerumus
dalam riba. Kendati dalam dunia bisnis kita tetap ingin memperoleh prestasi
atau keuntungan, namun hak pembeli harus tetap dihormati. Dalam arti penjual
harus bersikap toleran terhadap kepentingan pembeli, terlepas apakah ia sebagai
konsumen tetap maupun bebas (insidentil). Bukankah sikap tolearnitu akan
mendatangkan rahmat dari Alah SWT sebagai sabda Rasulullah saw. Dalam sebuah
haditsnya yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Aliy ibn Ayyash dari Abu Ghassan
Muhammad ibn Mutarrif,dari Muhamad ibn al-Munkadiri dari Jabir ibn Abd Allah
radiy Allah’anhuma :
“Sesungguhnya
Rasulallah saw. Bersabda : Allah telah member rahmat kepada seseorang yang
bersikap toleran ketika membeli, menjual dan menagih janji (utang)” (HR.
Al-Bukhari).
Untuk
menjamin transparansi dan kewajaran harga, perlukah dibentuk suatu badan yang
dapat menetapkan harga yang wajar terdiri dari wakil-wakil para produsen,
konsumen, ahli pemerintah, dan ahli hukum Islam. Kiranya tawaran M.A Mannan itu
tidak perlu dilakukan apabila semua pelaku bisnis bersikap jujur dan amanah
dalam praktik berbagai traksaksi dalam aktivitas bisnis (perdagangan).[4]
B. Posisi dan Sasaran Aplikasi
Etika Bisnis
·
Posisi
Aplikasi Etika Bisnis
Agama
memiliki hubungan erat dengan etika manusia. Setiap agama mengandung suatu ajaran
etika yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Ajaran etika
terkandung atura-aturan dalam suatu agama, meliputi dua macam peraturan.
Pertama, aturan yang bersifat teknis, seperti tata cara makan, shalat, zakat.
Kedua, aturan yang bersifat non-teknis lebih umum, seperi jangan berdusta,
jangan berzina, perintah-perintah yang sifatnya umum.[5]
Dalam
Islam, bisnis dan etika bukan merupakan dua bangunan yang terpisah, melainkan
satu kesatuan struktur. Keterpaduan tersebut, Islam memberikan bangunan
paradigma etika dalam berbisnis, yakni bisnis yang dibangun di atas nilai-nilai
aksioma; kesatuan, kehendak bebas, pertanggung jawaban, kesetimpangan
(keadilan), dan kebenaran (kebajikan) dan kejujuran.[6]
Dapat
disimpulkan bahwa agama dan etika merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan,
dan dalam Islam etika didasarkan pada al-Qur’an dan Hadist yang merupakan
pedoman bagi orang muslim. Berbicara tentang etika (akhlak) dalam Islam tentu saja tidak bisa lepas dari bagaimana
posisi etika itu di dalam skema ajaran Islam secara menyeluruh (komprehensif).[7]
Situasi moral dalam dunia modern
itu mengajak kita untuk mendalami studi etika. Rupanya studi etika itu
merupakan salah satu cara yang memberi prospek untuk mengatasi kesulitan moral
yang kita hadapi sekarang. Sudah pernah diketengahkan bahwa alasan-alasan yang
kita punya untuk mendalami studi etika sangat mirip dengan situasi di yunani
kuno sekitar pertengahan abad ke-5 SM.[8]
Dari skema diatas dapat dikatakan bahwa
Allah SWT menurunkan wahyu berupa ajaran Al-Qur’an kepada Rasul-Nya agar
disampaikan kepada manusia.
·
Sasaran
Aplikasi Etika dalam Islam
Etika juga
mempunyai sasaran dimana Etika (akhlak)
tersebut harus dijalankan, aspek-aspek sasaran Etika (akhlak) yakni:
1.
Etika terhadap
Allah SWT.
Etika
terhadap Allah meliputi amal perbuatan yang dilakukan dengan cara berhubungan
dengan Allah, melalui media-media yang telah disediakan Allah, seperti shalat,
puasa dan haji.[9]
Misalnya berbisnis (mencari kelebihan karunia Allah) dilakukan setelah
melakukan shalat dan dalam pengertian tidak mengesampingkan dan tujuan
keuntungan yang hakiki yaitu keuntungan yang dijanjikan Allah. Oleh karena itu,
walaupun mendorong melakukan kerja keras termasuk dalam berbisnis, Al-Qur’an
menggaris bawahi bahwa dorongan yang seharusnya lebih besar bagi dorongan
bisnis adalah memperoleh apa yang berada disisi Allah.
2. Etika
terhadap sesama (manusia)
Sebagai
makhluk sosial (homo socius),
mustahil rasanya manusia lepas hubungannya dengan sesama. Di dalam lalu lintas
saling memenuhi kebutuhan itulah dituntut saling menghargai dan saling
menghormati yang merupakan bagian dari ajaran etika (akhlak) dalam islam. Tidak
berbantahkan bahwa bisnis merupakan salah satu aktivitas kehidupan manusia dan
bahkan telah merasuki semua sendi kehidupan modern. Pada fenomena ini mustahil
orang terlepas dari pengaruh bisnis, dan sebagai konsekuensinya, masyarakat
adalah konsumen yang menjadi sasaran para produsen di mana-mana. Oleh karena
itu sangatlah logis jika dikatakan bahwa bisnis adalah bagian integral dari
masyarakat dimana pun mereka berada dan akan mempengaruhi kehidupan mereka,
baik secara positif maupun negatif.[10]
3. Etika
terhadap Lingkungan
Dalam
perspektif etika lingkungan, manusia dituntut untuk meperlakukan alam tidak
semata-mata dalam kaitannya untuk kepentingan dan kebaikan manusia. Etika ini
seharusnya berorientasi untuk mengembangkan kesadaran bahwa pelestarian
lingkungan juga untuk kepentingan seluruh makhuk, baik makhluk hidup maupun
mati. Yang dimaksud adalah bagaimana kita bersikap terhadap alam, apa yang
sebaiknya kita lakukan dan kita tinggakan, apa yang seharusnya dan tidak
seharusnya kita lakukan terhadap makhluk lain seperti tumbuhan (flora), hewan
(fauna), tanah, air, dan seterusnya.[11]
Sumber
daya alam merupakan nikmat Allah SWT. Kepada makhluk-Nya. Seba itu manusia
wajib mensyukurinya. Diantaranya bentuk syukur itu adalah menjaganya dari
kerusakan, kehancuran, polusi, dan lain-lain yang tergolong sebagai bentuk
kerusakan di Bumi.[12]
Sebagaimana
firman Allah:
ÏMs9$s%ur ßqåkuø9$# ßt «!$# î's!qè=øótB 4 ôM¯=äî öNÍkÉ÷r& (#qãYÏèä9ur $oÿÏ3 (#qä9$s% ¢ ö@t/ çn#yt Èb$tGsÛqÝ¡ö6tB ß,ÏÿYã y#øx. âä!$t±o 4 cyÍzs9ur #ZÏVx. Nåk÷]ÏiB !$¨B tAÌRé& y7øs9Î) `ÏB y7Îi/¢ $YZ»uøóèÛ #\øÿä.ur 4 $uZøs)ø9r&ur ãNæhuZ÷t/ nourºyyèø9$# uä!$Òøót7ø9$#ur 4n<Î) ÏQöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# 4 !$yJ¯=ä. (#rßs%÷rr& #Y$tR É>öysù=Ïj9 $ydr'xÿôÛr& ª!$# 4 tböqyèó¡tur Îû ÇÚöF{$# #Y$|¡sù 4 ª!$#ur w =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÏÍÈ
Artinya: Orang-orang Yahudi berkata:
"Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang
dibelenggu dan merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang telah mereka katakan
itu. (tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan
sebagaimana Dia kehendaki. dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di
antara mereka. dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara
mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah
memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai
orang-orang yang membuat kerusakan (QS. Al-Maidah:64)
#sÎ)ur 4¯<uqs? 4Ótëy Îû ÇÚöF{$# yÅ¡øÿãÏ9 $ygÏù y7Î=ôgãur y^öysø9$# @ó¡¨Y9$#ur 3 ª!$#ur w =Ïtä y$|¡xÿø9$# ÇËÉÎÈ [13]
Artinya: “Dan
apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan
kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah
tidak menyukai kebinasaan”.
QS. Al-Baqarah:205)[14]
4. Etika
terhadap Diri Sendiri
Dalam
pandangan islam, perlu tercipta adanya keseimbangan antara yang tertuju pada
diri sendiri dan yang tertuju kepada pihak lain. Dengan demikian tidak ada
salah satu pihak yang tidak mendapat perhatian (terabaikan). Akhlak terhadap
diri sendiri bisa dimaknai memberikan hak kepada jiwa (psikis) dan raga (fisis)
kita yang harus dilindungi dan dilindungi secara wajar. Bukankah semua organ
manusia itu mempunyai hak bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing. Akan
tetapi, setiap organ itu harus melakukan fungsinya secara wajar, tanpa harus
difungsikan diluar kapasitas yang layak dan terukur. Fisik manusia yang setiap
harinya digunakan untuk aktivitas bisnis tetap mempunyai hak untuk istirahat
secukupnya. Merupakan kedzaliman apabila mausia mempekerjakan fisiknya sendiri
diluar batas kapasitas kewajaran.[15]
Berbicara
mengenai etika dunia usaha atau etika bisnis dalam pembangunan, tidak terkepas
dari pembahasan mengenai perilaku stakeholder-nya,
yaitu pelaku ekonomi dan bisnis, pemerintah dan masyarakat dengan nilai-nilai
dalam dunia usaha, keanekaragaman, serta kelembagaannya. Ketiga hal inilah ,
dikaitkan dengan upaya-upaya pembangunan nasional.
Kegiatan
bisnis yang makin merebak baik didalam maupun diluar negeri, telah menimbulka
tantangan baru, yaitu adanya tuntutan praktik bisnis yang baik, etis, juga
menjadi tuntutan kehidupan bisnis di
banyak negara di dunia. Transparansi yang dituntut oleh ekonomi global menuntut
pula praktik bisnis yang etis. Dalam ekonomi pasar global, kita hanya bisa survive kalau mau bersaing.[16]
C.
Urgensi dan Manfaat Etika Bisnis
·
Urgensi
Etika Bisnis
Pertama,
aspek teologis, bahwasanya etika dalam islam (akhlak) merupakan ajaran Tuhan
yang diwahyukan kepada Rasulullah saw. Baik dalam bentuk al-Qur’an maupun
Sunnah. Secara normatif, Tuhan telah menyinggung masalah akhlak dalam surat
al-Qalam ayat 4. Namun, secara praktis
Tuhan telah mengajarkan bagaimanakah sejatinya berbisnis yang etis melalui
praktik bisnis Rasulullah saw. (uswah
prophetic) selama kurang lebih 25 tahun lamanya.
Kedua,
aspek watak (character) manusia yang
cenderung mendahulukan keinginan (will)
daripada kebutuhannya (need).
Bukankah watak dasar manusia itu secara universal adalah bersifat serakah
(tamak) dan cenderung mendahulukan keinginannya yang tidak terbatas dan tidak
terukur daripada sekadar memenuhi kebutuhannya yang terbatas dan terukur. Dengan
watak semacam itu tentu saja manusia membutuhkan pencerahan agar mereka sadar
bahwasanya dalam hidup ini yang paling pokok adalah memenuhi kebutuhan yang
mendasar.
Ketiga,
aspek sosiologis (reality). Dalam
realitas sebagai akibat dari watak dasar atau perilaku manusia yang cenderung
amoral, pada akhirnya akan melahirkan kontes persaingan yang tidak sehat dan
semakin keras dalam dunia global. Selain juga dapat melahirkan praktik monopoli
yang melanggar hak asasi manusia untuk memberi kesempatan orang lain melakukan
bisnis yang sama. Dengan kenyataan ini sudah selayaknya perlu adanya ajaran
etika dalam dunia bisnis agar para pelaku bisnis memahami dan menyadari wilayah
yang sah dan yang tidak boleh dilanggar.
Keempat,
perkembangan teknologi (technology)
yang semakin pesat. Perkembangan teknologi dengan berbagai ragamnya di satu
sisi banyak mendatangkan nilai positif yang semakin mempermudah dan mempercepat
pemenuhan kebutuhan manusia. Namun, di sisi lain dampak negatifnya pasti akan
terjadi. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya praktik penyimpangan
etika tersebut di era kecanggihan teknologi kehadiran etika bisnis sangatlah
signifikan sekali.
Kelima,
aspek akademis (science-academic). Bertolak
dari keempat aspek sebagaimana diatas, maka sudah selayaknya apabila etika
bisnis dijadikan mata kajian akademis baik masa kini maupun yang akan datang.
Kajian akademik secara mendalam dan berkesinambungan (suistanability) dari kalangan akademisi sangatlah diharapkan agar
mereka dapat selalu menghasilkan teori-teori mutakhir berdasarkan atas kajian
literer dan atau penelitian lapangan (field
research) untuk kemudian dapat dijadikan acuan dalam konteks realitas.[17]
·
Manfaat
Etika Bisnis
Adapun
manfaat etika adalah (1) dapat mendorong dan mengajak orang untuk bersikap
kritis dan rasional dalam mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri,
yang dapat dipertanggungjawabkannya (otonom);
(2) dapat mengarahkan masyarakat untuk berkembang menjadi masyarakat yang
tertib, teratur, damai, dan sejahtera dengan menaati norma-norma yang berlaku
demi mencapai ketertiban dan kesejahteraan sosial.[18]
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Membangun
Bisnis Berbasis Etika di Tengah Persaingan MEA
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN dalam artian adanya sistem
perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN. Indonesia dengan sembilan negara
anggota ASEAN telah menyepakati perjanjian Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau ASEAN Economic Community. Para pemimpin
ASEAN memutuskan untuk mengubah ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur
dan sangat kompetitif dengan perkembangan ekonomi yang adil, mengurangi
kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi hal tersebut merupakan ASEAN
vision 2020. Kemudian para pemimpin Asean setuju untuk percepatan pembentukan
komunitas ekonomi ASEAN menjadi pada tahun 2015. Komunitas ekonomi ASEAN
pada tahun 2015 untuk mengubah ASEAN menjadi daerah perdagangan bebas barang
dan jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan aliran modal yang lebih bebas.
Masyarakat
Ekonomi ASEAN akan membentuk pasar dan basis produksi tunggal, membentuk
kawasan berdaya saing tinggi, menjadikan kawasan dengan pembangunan ekonomi
yang merata dan juga integrasi dengan perekonomian dunia. Dengan adanya pasar
bebas di kawasan ASEAN menjadikan persaingan yang semakin ketat, kemajuan
teknologi yang cepat dan juga pasar semakin demanding dan dinamis.
Masyarakat
Ekonomi ASEAN yang sudah mulai dekat membutuhkan persiapan yang lebih bagi
Indonesia agar dapat menghadapi MEA 2015 dengan baik. Persiapan-persiapan perlu
dilakukan oleh Indonesia menghadapi MEA 2015. Persaingan yang ketat antar
negara di Asia Tenggara ini menjadikan setiap negara harus bersaing aktif. Namun
dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN juga merupakan peluang dan
tantangan bagi Indonesia untuk mengembangkan perekonomian Indonesia. Dan untuk
dapat mengembangkan perekonomian Indonesia harus menjadi subyek dalam MEA dan
bukannya obyek MEA 2015.[19]
Prinsip dasar perdagangan menurut Islam adalah adanya unsur kebebasan dalam
melakukan transaksi tukar-menukar, tetapi kegiatan tersebut tetap disertai
dengan harapan diperolehnya keridhaan Allah Swt. dan melarang terjadinya
pemaksaan. Setiap kegiatan umat Islam dalam kehidupan baik secara vertikal
maupun horizontal, telah diatur dengan ketentuan-ketentuan agar sesuai dengan
yang diperintahkan oleh Allah. Hal yang mendasari setiap perbuatan itu
dilandaskan pada sumber-sumber hukum yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits.
Perdagangan menurut aturan Islam, menjelaskan berbagai etika yang harus dilakukan
oleh para pedagang muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan
menggunakan dan mematuhi etika perdagangan Islam tersebut, suatu usaha
perdagangan dan seorang muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu
mendapatkan berkah Allah SWT.
Etika perdagangan Islam menjamin baik pedagang maupun pembeli,
masing-masing akan saling mendapat keuntungan. Adapun etika pedagang muslim
tersebut antara lain:
1.
Shidiq (Jujur)
2.
Amanah (Tanggung jawab)
3.
Tidak menipu
4.
Menepati janji
5.
Murah hati
6.
Tidak melupakan akhirat
Sejarah telah mencatat, bahwa dengan berpedoman kepada etika perdagangan
Islam sebagaimana tersebut di atas, maka para pedagang Arab Islam waktu dulu
mampu mengalami masa kejayaannya, sehingga mereka dapat terkenal di hampir
seluruh penjuru dunia.
B. Larangan Praktik Monopoli dalam
Islam
Ikhtikar (الاحتكار )
artinya zalim (aniaya) dan merusak pergaulan (اساءالمعاشرة), upaya penimbunan barang dagangan untuk
menunggu melonjaknya harga barang penimbunan barang adalah salah satu perkara
dalam perdagangan yang diharamkan oleh agama karena bisa membawa madhorot. Para
ulama mengemukakan arti atau definisi ihtikar (menimbun) berbeda-beda
sepertinya halnya yang diterangkan dibawah ini Imam Muhammad bin Ali
Asy-Syaukani mendefinisikan : Penimbunan atau penahan barang dagangan dari
peredarannya. Imam Al-Ghazali mendefinisikan :Penyimpanan barang dagangan oleh
penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga
melonjak.
Ulama madzhab maliki
mendefinisikan : Penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan
segala barang yang merusak pasar. Ulama
Malikiyah mendefinisikan monopoli (ihtikar)
dengan: “Penyimpanan
barang oleh produsen: baik makanan, pakaian, dan barang yang boleh merusak pasar.[20]
Monopoli atau
ihtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat
berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar,
sedang masyarakat dirugikan (1). Menurut Adimarwan "Monopoli secara
harfiah berarti di pasar hanya ada satu penjual" (2). Berdasarkan hadist :
عَنْ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ
مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ
احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Dari Sa'id
bin Musayyab ia meriwayatkan: Bahwa Ma'mar, ia berkata, "Rasulullah saw.
bersabda, 'Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa'," (HR Muslim
(1605). jelas monopoli seperti ini dilarang dan hukumnya adalah haram, karena
perbuatan demikian didorong oleh nafsu serakah, loba dan tamak, serta
mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang banyak. Selain itu juga
menunjukan bahwa pelakunya mempunyai moral dan mental yang rendah.[21]
Monopoli (1htikar) adalah mengambil keuntungan
di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi. Abu Hurairah
r.a meriwayatkan
hadis Rasulullah Saw. sebagai berikut:
"Barangsiapa
yang melakukan ihtikar untuk merusak harga pasar sehingga harga naik secara
tajam, maka is berdosa." (Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad)
Dasar Hukum
Para ulama fiqh yang tidak membolehkannya adalah
hasil induksi dari nilai-nilai universal yang
dikandung al-Qur'an yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk di dalamnya monopoli (ihtikar), diharamkan.
Dalam Surat an-nisa’ (4): 29
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
w
(#þqè=à2ù's?
Nä3s9ºuqøBr&
Mà6oY÷t/
È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
HwÎ)
br&
cqä3s?
¸ot»pgÏB
`tã
<Ú#ts?
öNä3ZÏiB
4
wur
(#þqè=çFø)s?
öNä3|¡àÿRr&
4
¨bÎ)
©!$#
tb%x.
öNä3Î/
$VJÏmu
ÇËÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang bathil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.[22]
BAB
IV
ANALISIS
KASUS MONOPOLI
Studi
Kasus pada PT. Perusahaan
Listrik Negara (Persero)
v Studi Kasus
Krisis listrik memuncak
saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) memberlakukan pemadaman listrik
secara bergiliran di berbagai wilayah termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama
periode 11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah oleh pengalihan jam operasional
kerja industri ke hari Sabtu dan Minggu, sekali sebulan. Semua industri di
Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan bagi industri yang
melanggar. Dengan alasan klasik, PLN berdalih pemadaman dilakukan akibat
defisit daya listrik yang semakin parah karena adanya gangguan pasokan batubara
pembangkit utama di sistem kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung
Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi
juga permasalahan serupa untuk pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU
Muara Tawar dan PLTGU Muara Karang.
Dikarenakan PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik
masyarakat sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu
secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal ini
ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum
terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana
contoh diatas. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi
masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
v Analisis Kasus
1. Analisis dari Segi Teori Etika
Bisnis
a. Monopoli PT. PLN ditinjau dari teori etika deontologi
Konsep teori etika deontologi ini mengemukakan bahwa
kewajiban manusia untuk bertindak secara baik, suatu tindakan itu bukan dinilai
dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan
berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri dan harus
bernilai moral karena berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan
terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Etika deontologi sangat
menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang baik dari pelaku.
Dalam kasus ini, PT. Perusahaan Listrik Negara
(Persero) sesungguhnya mempunyai tujuan yang baik, yaitu bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan listrik nasional. Akan tetapi tidak diikuti dengan perbuatan
atau tindakan yang baik, karena PT. PLN belum mampu memenuhi kebutuhan listrik
secara adil dan merata. Jadi menurut teori etika deontologi tidak etis dalam
kegiatan usahanya.
b. Monopoli PT. PLN ditinjau dari teori etika teleologi
Berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi
justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang akan
dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh
tindakan itu. Dalam kasus ini, monopoli di PT. PLN terbentuk secara tidak
langsung dipengaruhi oleh Pasal 33 UUD 1945, dimana pengaturan, penyelengaraan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan
hubungan hukumnya ada pada negara untuk kepentingan mayoritas masyarakat dan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka PT. PLN dinilai etis bila ditinjau
dari teori etika teleologi.
c. Monopoli PT. PLN ditinjau dari teori etika utilitarianisme
Etika utilitarianisme adalah teori etika yang menilai
suatu tindakan itu etis apabila bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang.
Tindakan PT. PLN bila ditinjau dari teori etika utilitarianisme dinilai tidak
etis, karena mereka melakukan monopoli. Sehingga kebutuhan masyarakat akan
listrik sangat bergantung pada PT. PLN.
2. Analisis dari Segi Prinsip, Posisi
& Sasaran dan Urgensi & Manfaat Etika Bisnis
a. Prinsip Etika Bisnis
Dalam kasus pelanggaran yang
dilakukan PT. PLN telah melanggar Prinsip Membangun hubungan baik (interrelationship/ silat ar-rahym) antar
kolega. Dalam prinsip ini Islam sangat menekankan hubungan konstruktif dengan
siapa pun, inklud antar sesama pelaku dalam bisnis. Islam tidak menghendaki
dominasi pelaku yang satu diatas yang lain, baik dalam bentuk monopoli,
oligopoly maupun bentuk-bentuk lain yang tidak mencerminkan sikap keadilan atau
pemerataan pendapatan. Jadi menurut prinsip membangun
hubungan baik (interrelationship/ silat
ar-rahym) antar kolega PT. PLN tidak etis dalam kegiatan usahanya.
b. Posisi dan Sasaran Etika Bisnis
Dalam kasus pelanggaran monopoli
yang dilakukan PT. PLN, disini posisi PT. PLN adalah sebagai pelaku
pelanggaran, dan masyarakat sebagai
stakeholder, yang menjadi sasaran dari tindakan pelanggaran tersebut. Dikarenakan
kebutuhan listrik masyarakat sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka
sendiri tidak mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik
masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan
listriknya belum terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara
sepihak, Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat,
dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi. Dalam hal ini PT. PLN dikatakan
tidak etis.
c. Urgensi dan Manfaat Etika Bisnis
Dalam hal urgensi dan manfaat, PT.
PLN merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberikan mandat untuk
menyediakan kebutuhan listrik di Indonesia. Seharusnya sudah menjadi kewajiban
bagi PT. PLN untuk memenuhi itu semua, namun pada kenyataannya masih banyak
kasus dimana mereka merugikan masyarakat. Jadi PT. PLN dalam hal ini tidak
etis.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan munculnya MEA, seluruh masyarakat se-Asia akan membaur jadi satu.
Dan secara otomatis permasalahan pun menjadi lebih kompleks, khususnya pada
bidang bisnis. untuk itu kehadiran Etika sangat berpengaruh signifikan dalam
upaya pembangunan sebuah bisnis di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat.
Masuknya MEA ke Indonesia akan menyebakan meningkatnya daya saing, karena
tidak hanya competitor lokal saja, namun
para pelaku bisnis juga akan berhadapan dengan competitor negara-negara lain yang termasuk dalam ASEAN yang
masing-masing mempunyai kemampuan unggul dalam mengelola bisnis. Akibatnya,
tidak sedikit dari mereka melakukan kecurangan dalam upaya memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan beberapa aspek yang dapat
merugikan berbagai pihak. Seperti monopoli, oligopoly, dan
kecurangan-kecurangan bisnis lainnya yang dilarang oleh agama. Maka dalam hal
ini peran etika sangatlah penting, agar para pelaku bisnis bisa mengelola
bisnisnya berdasarkan etika yang sesuai dengan syari’at islam.
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa PT. Perusahaan Listrik Negara
(Persero) telah melakukan tindakan monopoli, yang menyebabkan kerugian pada
masyarakat. Tindakan PT. PLN ini telah melanggar Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Tindakan seperti itu juga telah dijelaskan secara gamblang
dalam al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 29, bahwa kegiatan monopoli adalah sangat
dilarang karena akan mengakibatkan kerugian (kedzaliman) bagi beberapa pihak.
B. Saran
1.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik
bagi masyarakat secara adil dan merata, ada baiknya Pemerintah membuka
kesempatan bagi investor untuk mengembangkan usaha di bidang listrik. Akan
tetapi Pemerintah harus tetap mengontrol dan memberikan batasan bagi investor
tersebut, sehingga tidak terjadi penyimpangan yang merugikan masyarakat. Atau
Pemerintah dapat memperbaiki kinerja PT. PLN saat ini, sehingga menjadi lebih
baik demi tercapainya kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat banyak sesuai amanat
UUD 1945 Pasal 33.
2.
Bagi pelaku bisnis, hendaknya
mengelola bisnisnya secara etis, agar terjadi keseimbangan antara keuntungan
yang diperoleh dengan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Akibatnya kedua
belah pihak akan saling menguntungkan sesuai dengan apa yang diajarkan dalam
islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Muslich. 1998. Etika Bisnis:Pendekatan Substantif dan Fungsional. Yogyakarta:
Ekonosia.
Arijanto, Agus. 2011. Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis.
Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Abdullah,
M. Yatimin. 2006. Pengantar Studi Etika.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
K.
Bertens. 2002. Etika. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sauri,
Sofyan. 2004. Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam. Bandung: Alfabeta.
Djakfar,
Muhammad. 2007. Etika Bisnis dalam
Perspektif Islam. Malang: UIN Press.
Djakfar,
Muhammad. 2008. Etika Bisnis Islami :
Tataran Teoritis dan Praktis. Malang: UIN Press.
Djakfar,
Muhammad. 2009. Anatomi Perilaku Bisnis
Dialektika Etika dengan Realitas. Malang: UIN Press.
Djakfar,
Muhammad. 2012. Etika Bisnis: Menangkap
Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi . Jakarta: Penebar Plus.
Rindjin,
Ketut. 2003. Etika Bisnis dan
Implementasinya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Qardhawi,
yusuf. 1995. Peran dan Nilai Moral dalam
Perekonomian Islam Jakarta: Robbani Press.
Anas,
Muhammad. 2008. Penerapan Etika Bisnis
dalam Konteks Produsen dan Konsumen: Ke Arah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Millah Vol. VIII, No.1
Basyarahil, H. A. Aziz Salim. 22 Masalah Agama. Jakarta: Gema Insani
Press.
Adiwarman, Karim. Ekonomi mikro islami. PT Raja Grafindo:
Jakarta.
Alwafi, Rafdy. 2015. Menghadapi MEA 2015 Menjadi Pemain Utama atau Partisipan, File://D:/baru/daya/saing/menghadapi-mea-menjadi-pemain
utama-atau-partisipan/htm. Diakses 26 Maret 2016.
[1]
Muslich, Etika Bisnis:Pendekatan
Substantif dan Fungsional (Yogyakarta: Ekonosia, 1998)hal. 23-25
[2]
QS. Al-Jumu’ah:10
[3]
Op.cit. hal. 83-84
[4]
Muhammad Djakfar, Etika bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan
Moral Ajaran Bumi (Jakarta: Penebar Plus, 2012) hal. 34-41
[5]
M.Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) hal. 618
[6] Muhammad Anas, Penerapan Etika Bisnis dalam Konteks
Produsen dan Konsumen: Ke Arah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, 2008, Millah
Vol. VIII, No.1
[7] Muhammad Djakfar, Anatomi Perilaku Bisnis Dialektika Etika dengan Realitas. Malang:
UIN Press, 2009)
[10] Muhammad Djakfar,
Etika Bisnis dalam Perspektif Islam
(Malang: UIN Press, 2007) hal.107
[11] Djakfar,
Muhammad. 2012. Etika Bisnis: Menangkap
Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi . Jakarta: Penebar
Plus.hal.204
[12] Qardhawi,
yusuf. 1995. Peran dan Nilai Moral dalam
Perekonomian Islam Jakarta: Robbani Press.hal.173
[13] QS. Al-Maidah:64
[14] QS. Al-Baqarah:205
[15] Muhammad
Djakfar, Etika Bisnis Islami : Tataran
Teoritis dan Praktis (Malang: UIN Press, 2008) hal. 29
[16] Agus
Arijanto, Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis
( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011) hal. 111
[17]
Muhammad Djakfar, Etika bisnis: Menangkap
Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi (Jakarta: Penebar Plus, 2012) hal.
31-33
[18] Ketut
Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003) hal. 18-19
[19]
Rafdy
Alwafi, Menghadapi MEA 2015 Menjadi
Pemain Utama atau Partisipan, File://D:/baru/daya/saing/menghadapi-mea-menjadi-pemain utama-atau-partisipan/htm, 2015,
Diakses 26 Maret 2016.
[20]
H. A. Aziz Salim Basyarahil, 22 Masalah
Agama (Jakarta: Gema Insani Press, Tanpa Tahun) hal. 56
[21]
Karim Adiwarman, Ekonomi mikro islami
(PT Raja Grafindo: Jakarta)
[22]
QS. An-Nisa’ : 29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar