BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berkembangnya
suatu Negara dapat dilihat dari pertumbuhan ekonominya yang pesat dari sektor
mikro ataupun makro, dalam mejuwudkan kehidupan bangsa yang sejahtera. Negara
Indonesia merupakan negara yang digolongkan dalam negara berkembang dimana
pertumbuhan ekonominya dalam tahap lepas landas. Banyak sektor yang sedang
mengalami pertumbuhan dari segi pertanian, pertambangan ataupun industri, dari
berbagai macam kegiatan ekonomi ini Negara Indonesia memiliki cara tersendiri
dalam mensejahterakan rakyatnya yang diatur dalam UUD 1945 dalam pasal 33 ayat
1-5, dimana disebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan.
Berbagai
macam perusahaan yang bergerak di bidang industri turut menyerap banyak
tenaga kerja, dimana, didalamnya terdapat hubungan antara pekerja dan
pengusaha. Dalam hal inilah berbagai macam aturan mengatur tentang hubungan
pekerja dengan pengusaha, berbagai macam aturan diberlakukan di Indonesia dalam
menagatur hubungan kerja ini diantanranya undang-undang No. 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan. Dengan adanya hubungan kerja tentu akan dikuti oleh
adanya perjanjian dimana perjanjian tersebut berakibat hukum yang mengikat
secara formil maupun materiil.
Dari berbagai
hubungan inilah berbagai macam permasalahan akan muncul apabila dari salah satu
pihak melakukan wanprestasi yang terkait tentang masalah perdata, akan tetapi
akan muncul juga masalah pidana juaga apabila terdapat pelanggaran didalam
perjanjian tersebut. Hal ini sangat menarik untuk diketahui secara mendalam
tentang hubungan kerja dan hubungan industrial yang berlaku di negara
Indonesia.
Agar
perusahaan dapat beroperasi dengan baik, diperlukan perangkat dan aturan yang
mengatur hak dan kewajiban pekerja maupun pengusaha. Pengaturan ini secara
garis besar dibagi menjadi dua, yaitu pengaturan yang sifatnya makro dan mikro.
Hak dan kewajiban bagaikan koin dengan dua mata, dimana dalam suatu hak akan
melekat kewajiban-kewajiban. Hak pengusaha akan disertai dengan kewajiban-kewajiban,
demikian pula dengan hak pekerja juga akan disertai dengan
kewajiban-kewajibannya. Untuk mengatur agar terjadi keseimbangan hak dan
kewajiban dalam dunia usaha, maka perlu dibuat suatu aturan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Pengaturan hak dan kewajiban secara makro dalam mengatur ketenagakejaan di
Indonesia?
2.
Bagaimana
Pengaturan hak dan kewajiban secara mikro dalam mengatur ketenagakejaan di
Indonesia?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui
Pengaturan hak dan kewajiban secara makro dalam mengatur ketenagakejaan
di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui
Pengaturan hak dan kewajiban secara mikro dalam mengatur
ketenagakejaan di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGATURAN HAK DAN KEWAJIBAN
SECARA MAKRO
Pengaturan hak
dan kewajiban secara makro berarti pengaturan ini menyangkut materi yang
sifatnya umum saja. Dengan demikian pengaturan ini berlaku bagi semua
perusahaan satu dengan yang lain. Karena sifatnya umum, maka pengaturan ini
sudah tertuang dalam undang-undang.
Dalam situasi di
mana penawaran tenaga kerja jauh lebih besar dibanding permintaannya, kekuatan
tawar-menawardari tenaga kerja menjadi rendah. Beberapa tenaga kerja bersedia
bekerja di bawah upah minimum propinsi (UMP) bekerja dengan melebihi jam kerja
melebihi standar tanpa adanya uang lembur, atau bekerja dengan risiko
kecelakaan yang tinggi tanpa perlindungan yang memadai.
Dari
fenomena-fenomena ketenagakerjaan nasional seperti digambarkan diatas, maka
dari tahun ke tahun telah terjadi perkembangan perundang-undangan yang
mempengaruhi tanggung jawab manajer. Intervensi hukum/undang-undang saat ini
mempengaruhi semua aspek hubungan industrial.
1.
Penarikan
Tenaga Kerja
a.
Pengertian Penarikan
Tenaga Kerja
Penarikan Tenaga Kerja adalah suatu proses atau
tindakan yang dilakukan oleh perusahaan untuk mendapatkan tambahan pegawai yang
melalui tahapan yang mencakup identifikasi dan evaluasi sumber-sumber penarikan
pegawai, menentukan kebutuhan pegawai yang diperlukan perusahaan, proses
seleksi, penempatan, dan orientasi pegawai.[1]
b.
Sumber-sumber
Penarikan Tenaga Kerja
1)
Sumber dari
dalam perusahaan
a)
Promosi jabatan, yaitu pemindahan pegawai dari satu
jabatan tingkat yang lebih tinggi daripada jabatan sebelumnya.
b)
Transfer atau
rotasi pekerjaan, yaitu pemindahan bidang pekerjaan pegawai kepada bidang pekerjaan
lainnya tanpa mengubah tingkat jabatannya.
c)
Demosi jabatan,
yaitu penurunan jabatan pegawai dari satu jabatan tingkat jabatan yang lebih
rendah atas dasar kondite dan prestasi kerjanya, atau akibat terjadinya
penyederhanaan struktur organisasi.
2)
Sumber dari luar
perusahaan
a)
Iklan media
massa
Dalam
hal ini perusahaan dapat memanfaatkan media massa sebagai sumber penawaran
formasi kerja kepada masyarakat luas. Dengan demikian, memungkinkan perusahaan
dapat menyeleksi calon pegawai yang betul-betul memenuhi persyaratan kualifikasi
sesuai yang dibutuhkan untuk mengisi formasi yang ada di perusahaan.
b)
Lembaga
Pendidikan
Perusahaan
dapat memanfaatkan referensi dan rekomendasi dari pemimpin lembaga pendidikan
mengenai calon yang memenuhi kualifikasi yang tepat untuk mengisi formasi yang
ada di perusahaan. Calon pegawai yang mendapatkan rekomendasi dari pemimpin
lembaga pendidikan pada umumnya merupakan calon pegawai yang memepunyai
prestasi akademik yang tinggi dan mempunyai kepribadian yang dinilai baik
selama mereka menempuh pendidikan dilembaga pendidikan tersebut.
c)
Depnaker
Perusahaan
dapat memanfaatkan calon pegawai yang mendapat rekomendasi dari Departemen
Tenaga Kerja. Dalam hal ini merupakan kewajiban perusahaan dalam rangka
membantu program pemerintah dalam menyalurkan penduduk pencari kerja dan
pengurangan pengangguran.
d)
Lamaran Kerja
yang sudah masuk di Perusahaan
Lamaran
kerja yang sudah masuk di perusahaan perlu dipertimbangkan sebagai sumber
penarikan pegawai. Melalui lamaran kerja yang sudah masuk, perusahaan dapat
langsung menyeleksi lamaran yang memenuhi kebutuhan untuk mengisi formasi yang
ada di perusahaan.
c.
Seleksi Calon
Pegawai
1)
Pengertian
Seleksi Calon Pegawai
Andrew
E. Sikula (1981:185) mengumakakan bahwa
penyeleksian adalah pemilihan. Menyeleksi merupakan suatu pengumpulan dari
suatu pilihan. Proses seleksi melibatkan pilihan dari berbagai objek dengan
mengutamakan beberapa objek saja yang dipilih. Dalam kepegawaian, seleksi lebih
secara khusus mengambil keputusan dengan membatasi jumlah pegawai yang dapat
dikontrak kerjakan dari pilihan sekelompok calon-calon pegawai yang berpotensi.
2)
Teknik-Teknik
Seleksi
1.
Tes pengetahuan
akademik
Tes
pengetahuan akademik bertujuan untuk mengetahui tingkat penguasaan materi
pengetahuan akademik calon pegawai. Materi tes yang diberikan harus disesuaikan
dengan bidang pendidikan dan tingkat pendidikan calon pegawai. Disamping itu
pula diberikan materi tes yang berhubungan dengan bidang pekerjaaan yang
ditawarkan kepadanya.
2.
Tes Psikologis
Tes
psikologis ini diberikan oleh ahli psikologi (psikolog). Tes psikologis
mengungkap kemampuan potensial dan kemampuan nyata calon pegawai. Disamping itu
pula dapat diungkap minat, bakat, motivasi, emosi, kepribadian, dan kemampuan
khusus lainnya yang ada pada calon pegawai.
Beberapa
tes psikologis yang diberikan untuk seleksi pegawai, antara lain tes bakat
(aptitude test), tes kecenderungan untuk berprestasi (achievement test), tes
minat bidang pekerjaan (vocational interest), tes kepribadian (personality
test).
3.
Wawancara
Wawancara adalah
pertemuan antara dua orang atau lebih secara berhadapan (face to face) dalam
rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Wawancara seleksi merupakan salah satu
teknik seleksi pegawai yang dilakukan dengan cara tanya jawab langsung untuk
mengetahui data pribadi calon pegawai.[2]
Beberapa peraturan dan Undang-undang
yang menyangkut masalah penarikan Tenaga kerja akan dibahas dibawah ini.
1.
Syarat-syarat tenaga kerja
Pada tahap
penarikan tenaga kerja perusahaan akan menentukan syarat-syarat kerja yang
harus dimiliki pelamar. Syarat-syarat kerja secara umum meliputi: tingkat
pendidikan, prestasi pendidikan yang tercermin dalam Indeks prestasi akademik
(IPK), kemampuan, kecakapan, umur dan pengalaman.
Dengan penentuan
syarat-syarat kerja yang bersifat umum, tidak dibenarkan apabila pihak
manajemen memberikan prioritas atau memberlakukan diskriminasi untuk golongan,
keturunan, dan agama tertentu. Demikian juga nepotisme, yang memberikan
prioritas kepada keluarga akan dirasakan tidak adil oleh calon lain yang bukan
keluarga.
2.
Memperkerjakan anak di bawah umur
Berkaitan dengan
syarat umur, pemerintah melarang tenaga kerja yang belum cukup umur untuk
bekerja di perusahaan-perusahaan, yakni Undang-undang Nomor 12 tahun 1948 pasal
1dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1951. Dengan diratifikasinya Konvensi ILO
Nomor 138 melqlui Undang-undang 20 tahun 1999, ketentuan batas usia minimum
untuk semua sector yang diperbolehkan adalah 15 tahun.
Menurut Pasal 5
UU Nomor 12 tahun 1948, jo UU Nomor 1 tahun 1951 pasal 4,5 dan 6 menyatakan bahwa orang yang
berusia muda tidak dibenarkan untuk bekerja sepanjang malam hari, kecuali untuk
pekerjaan yang tidak dapat dihindarkan sehubungan dengan kepentingan atau
kesejahteraan umum dan dalam ini kekecualian ini harus ada jaminan pengusaha
kepada mereka akan diperhatikan masalah kesehatan dan keamanan kerja.
3.
Memperkerjakan wanita
Dalam kehidupan
dunia sekarang ini, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak dan
kesempatan yang sama dalam mendapatkan pekerjaan. Namun demikian ada
ketentuan-ketentuan yang mengatur perusahaan yang memperkerjakan tenaga
perempuan diperusahaan. Ketentuan-ketentuan tersebut telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 1 tahun 1951 pasal 7 dan 8.
4.
Memperkerjakan tenaga kerja asing
Menurut UU Nomor
3 tahun 1958, pasal 1 ayat a dan b yang dimaksud dengan tenaga kerja asing
adalah tiap orang yang bukan warga negara Indonesia (WNI) yang melakukan
pekerjaan di bawah perintah orang lain di Indonesia dengan menerima upah atau
tidak, atau yang melakukan pekerjaan di Indonesia yang dijalankan atas borongan
dalam suatu perusahaan, baik oleh orang yang menjalankan pekerjaan itu sendiri
maupun oleh orang yang membantunya.
Apabila
perusahaan akan mempekerjakan tenaga kerja asing, maka perusahaan harus
mendapat izin terlebih dahulu dari pemerintah. Dalam hal ini perusahaan akan
mengajukan izin kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan selanjutnya
menteri akan menunjuk pejabat yang bertindak atas namanya.
5.
Masa percobaan
Pada umumnya perusahaan mensyaratkan
adanya masa percobaan bagi calon karyawannya. Masa percobaan dimaksudkan untuk
mengetahui apakah calon karyawan mampu melakukan pekerjaan yang akan dibebankan
kepadanya serta mengetahui kepribadian dari calon karyawan tersebut. Masalah
masa percobaan diatur dalam pasal 7 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04
tahun 1986.[3]
B. Pengupahan
1. Pengertian
Upah
Menurut
pasal 1 ayat (30) Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketetnagakerjaan, upah
adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundangan yang berlaku, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya atau suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
2. Komponen
Upah
Komponen
upah terdiri dari :
a. Upah
pokok, yaitu imbalan dasar yang dibayar kepada pekerja/buruh menurut tingkat
atau jenis pekerja yang besarnya ditetapkan berdasakan kesepakatan.
b. Tunjangan
tetap, yaitu suatu pembayaran yang teratur berkaitan dengan pekerjaan yang
diberikan secara tetap untuk pekerja/buruh dan keluarganya serta dibayarkan
dalam satuan waktu yang sama dengan upah pokok seperti tunjangan istri,
tunjangan anak, tunjangan jabatan dan lain-lain.
c. Tunjangan
tidak tetap, yaitu suatu pembayaran yang secara langsung maupun tidak langsung
berkaitan dengan pekerja/buruh yang diberikan secara tidak tetap untuk pekerja
dan keluarganya serrta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan
waktu pembayaran upah pokok seperti tunjangan transpor, tunjangan makan dan
lain-lain.
d. Fasilitas,
yaitu kenikmatan dalam bentuk nyata yang diberikan perusahaan oleh karena
hal-hal khusus atau untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh seperti
fasilitas kendaraan, sarana ibadah, koperasi, kantin dan lain-lain.
e. Bonus,
yaitu pembayaran yang diterima pekerja dari hasil keuntungan perusahaan atau
karena pekerja menghasilkan hasil kerja lebih besar dari target produksi yang
normal atau karena peningkatan produktivitas.
f. Tunjangan
Hari Raya (THR), gratifikasi, dan pembagian keuntungan lainnya.
Setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan, oleh karena itu pemerintah menetapkan kebijakan
pengupaha yag melindungi pekerja/buruh meliputi:
a. Upah
minimum
b. Upah
kerja lembur
c. Upah
tidak masuk kerja karena berhalangan
d. Upah
tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaan
e. Upah
karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya
f. Bentuk
dan cara pembayaran upah
g. Dendan
dan potongan upah
h. Hal-hal
yang dapat diperhitungkan dengan upah
i.
Struktur dan
skala pengupahan yang proporsional
j.
Upah untuk
pembayaran pesangon
k. Upah
untuk pembayaran pajak penghasilan[4]
C. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
1. Pengertian
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan
kerja menunjukkan kondisi yang aman atau selamat dari penderitaan, kerusakan
atau kerugian di tempat kerja, Risiko keselamatan merupakan aspek-aspek dari
lingkungan kerja yang dapat menyebabkan kebakaran, katakutan aliran listrik,
terpotong, luka memar, keseleo, patah tulang, kerugian alat tubuh, penglihatan
dan pendengaran. Sedangkan kesehatan kerja menunjukkan pada kondisi yang bebas
dari gangguan fisik, mental, emosi atau rasa sakit yang disebabkan oleh
lingkungan kerja. Risiko kesehatan merupakan faktor-faktor dalam lingkungan
kerja yang bekerja melebihi periode waktu yang ditentukan, lingkungan yang
dapat membuat stres emosi atau gangguan fisik.
Hal-hal
mengenai Keselamatan dan kesehatan kerja diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun
1970 dan No. 23 Tahun 1992.
2. Tujuan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Tujuan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah sebagai berikut.
ü Agar
setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara
fisik, sosial, dan psikologis.
ü Agar
setiap perlengkapan dan pralatan kerja digunakan sebaik-baiknya, seefektif
mungkin.
ü Agar
semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
ü Agar
adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.
ü Agar
meningkat kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
ü Agar
terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi
kerja.
ü Agar
setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja.
ü Ikut
berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
3. Usaha-usaha
Dalam Meningkatkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Usaha-usaha
yang diperlukan dalam meningkatkan keselamat dan kesehatan kerja yaitu sebagai
berikut.
ü Mencegah
dan mengurangi kecelakaan kebakaran dan peledakan.
ü Memberikan
perlatan perlindungan diri untuk pegawai yang bekerja pada lingkungan yang
menggunakan perlatan yang berbahaya.
ü Mengatur
suhu, kelembapan, kebersiahan udara, menggunakan warna ruangan kerja,
penerangan yang cukup terang dan menyejukkan, dana mencegah kebisingan.
ü Mencegah
dan memberikan perawatan terhadap timbulnya penyakit.
ü Memelihara
kebersiahan dan ketertiban, serta keserasian lingkungan kerja.
ü Meciptakan
suasana kerja yang menggairahkan semagat kerja pegawai.
4. Penyebab
Terjadinya Kecelakaan dan Gangguan Kesehatan Pegawai
a.
Keadaan Tempat Lingkungan Kerja
1) Penyusunan
dan penyimpanan barang-barang yang berbahaya kurang diperhitungkan keamanannya.
2) Ruang
kerja yang terlalu padat dan sesak.
3) Pembuangan kotoran dan limbah yang tidak pada
tempatnya.
b.
Pengaturan
Udara
1) Pergantian
udara diruang kerja yang tidak baik {ruang kerja yang kotor, berdebu, dan
berbau tidak enak}.
2) Suhu
yang tidak kondisikan pengaturannya.
c.
Pengaturan
Penerangan
1) Pengaturan
dan penggunaan sumber cahaya yang tidak tepat.
2) Ruang
kerja yang kurang cahaya, remang-remang.
d.
Pemakaian
Peralatan Kerja
1) Pengaman
peralatan kerja yang sudah usang atau rusak.
2) Penggunaan
mesin, alat elektronik tanpa pengaman yang baik.
e.
Kondisi
Fisik dan Mental Pegawai
1) Kerusakan
alat indera, stamina pegawai yang tidak stabil.
2) Emosi
pegawai yang tidak stabil, kepribadiaan pegawai yang rapuh, cara berfikir dan
kemampuan persepsi yang lemah, motivasi kerja yang rendah, sikap pegawai yang
ceroboh, kurang cermat, dan kurang pengetahuan dalam penggunaan fasillitas
kerja terutama fasilitas kerja yang membawa risiko bahaya.[5]
D. Pemberhentian Pegawai (PHK)
1. Pengertian
Pemberhentian Pegawai (PHK)
Pemberhentian
Pegawai adalah pemutusan hubungan kerja, baik untuk sementara maupun untuk
selamanya yang dilakukan oleh perusahaasn atas permintaan pegawai atau karena
kehendak pihak perusahaan.
Adapun tujuan dari pemberhentian
pegawai adalah untuk mempertahankan efektivitas dan efisiensi perusahaan.
2. Bentuk-bentuk
Pemberhentian Pegawai
a.
Pensiun
Pensiun
adalah pemberhentian dengan hormat oleh pihak perusahaan terhadap pegawai yang
usianya telah lanjut dan dianggap sudah tidak produktif lagi atau setelah usia
56 tahun, kecuali tenaga pengajar dan istruktur dapat beusia sampai 65 tahun.
Dalam menghadapi pegawai yang akan
pensiun, pihak perusahaan dapat melakuka hal-hal berikut.
1) Kepada
pegawai yang bersangkutan diberikan surat keputusan pemutusan hubungan kerja
atau pemberhentian dengan hormat.
2) Kepada
pegawai yang bersangkutan diberikan pesangon, uang jasa dan uang ganti rugi
yang besarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3) Paling
lambat sebelum 6 bulan sebelum masa pensiun, pihak perusahaan berkewajiban
memberitahukan secara tertulis kepada pegawai yang bersangkutan.
b.
Pemberhentian atas Permintaan Sendiri dari Pegawai
Pemberhentian
atas Permintaan Sendiri dari Pegawai adalah pemberhentian dengan hormat oleh
pihak perusahaan setelah mempertimbangkan dan menyetujui permohonan pengunduran
diri dari pegawai yang bersangkutan karena alasan-alasan pribadi atau alasan
tertentu.
Dalam menghadapi pemberhentian ini
perlu diperhatikan antara lain beberapa hal berikut.
1) Paling
lambat 3 bulan sebelum waktu pemberhentian, pegawai yang bersangkutan harus
sudah mengajukan permohonan berhenti secara tertulis dengan mengemukakan
alasannya secara jelas.
2) Karena
alasan-alasan tertentu pihak perusahaan dapat menolak permintaan berhenti
tersebut dan menunda pemberhetian paling lama 1 tahun.
3) Apabila
permohonan tersebut disetujui, pihak perusahaan perlu mengeluarkan surat
keputusan pemberhentian dengan hormat atas nama pegawai yang bersangkutan.
4) Kepada
pegawai yang bersangkutan dapat diberikan pesangon, uang jasa, dan ganti rugi
yang besarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c.
Pemberhentian Langsung oleh Pihak Perusahaan
Bentuk
pemberhentian ini dilakukan oleh pihak perusahaan disebabkan antara lain
beberapa hal berikut.
1) Karena
adanya penyederhanaan organisasi atau rasionalisasi, yaitu pemberhentian dengan
hormat yang dilakukan oleh pihak perusahaan karena alasan kesulitan-kesulitan
yang dihadapi perusahaan, sehingga menyebabkan perlunya penyederhanaan
organisasi atau rasionalisasi.
Dalam
menghadapi pemberhentian ini perlu diperhatikan antara lain beberapa hal
berikut.
-
Paling lambat 3
bulan sebelum pemberhentian pihak perusahaan harus memberitahukan kepada
pegawai yang bersangkutan mengenai rencana adanya rasionalisasi dan
pemberhentian tersebut dengan alasan-alasan yang jelas.
-
Pihak perusahaan
perlu mengeluarkan surat keputusan pemberhentian dengan hormat bagi pegawai
yang bersangkutan.
-
Kepada pegawai
yang bersangkutan, diberikan pesangon, uang jasa, dan ganti rugi yang besarnya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2) Karena
pelanggaran Disiplin, penyelewengan atau tindak pidana lainnya, yaitu
pemberhentian tidak dengan hormat oleh pihak perusahaan terhadap pegawai yag
telah melakukan pelanggaran, penyelewengan atau karena tindak pidana yang
mengakibatkan yang bersangkutan terkena
hukuman pidana.
Dalam
menghadapi pemberhentian ini perlu diperhatikan antara lain beberapa hal
berikut.
-
Apabila kepada
pegawai yang bersangkutan telah diberikan peringatan-peringatan lisan maupun
tulisan sebanyak 3 kali dan pegawai yang bersangkutan tidak menunjukkan suatu
perubahan sikap atau perilaku.
-
Pihak perusahaan
perlu mengeluarkan surat keputusan pemberhentian tidak hormat dengan alasan
yang jelas.
-
Kepada pegawai
yang bersangkutan tidak diberikan pesangon maupun jasa, tetapi hanya diberikan uang
ganti rugi.
3) Karena
ketidakmampuan pegawai yang bersangkutan, yaitu pemberhentian dengan tidak
hormat oleh pihak perusahaan terhadap pegawai yang dianggap tidak dapat
menunjukkan kemampuan atau prestasi dan kondite yang baik.
Dalam
menghadapi pemberhentian ini perlu diperhatikan antara lain beberapa hal
berikut.
-
Apabila pegawai
yang bersangkutan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan nilai kurang dan
telah diberikan peringatan secara tertulis serta telah diberikan bimbingan,
namun tetap menunjukkan nilai yang rendah.
-
Pihak perusahaan
perlu mengeluarkan surat keputtusan pemberhentian dengan hormat kepada pegawai
yang bersangkutan dengan alasa-alasan yang jelas.
-
Kepada pegawai
yang bersangkutan diberikan pesangon, uang jasa, dan ganti rugi yang besarnya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d.
Pemberhentian Sementara
Pemberhentian
Sementara ini dapat terjadi antara lain.
1) Karena
alasan kesulitan-kesulitan yang dihadapi perusahaan yaitu pemberhentian oleh
pihak perusahaan dalam jangka waktu tertentu yang disebabkan oleh kondisi
perusahaan yang kurang menguntungkan atau menurunnya aktivitas usaha.
Dalam
menghadapi pemberhentian ini perlu diperhatikan antara lain beberapa hal
berikut.
-
Paling lambat
1 bulan sebelum pemberitahuan, pihak
perusahaan harus memberitahukan kepada pegawai yang bersangkutan mengenai
keadaan perusahaan dan rencana adanya pemberhentian sementara.
-
Kepada pegawai yang
bersangkutan tetap diberikan balas jasa sebesar gaji pokok.
-
Apabila kondisi
perusahaan semakin melemah dan menunjukkan keadaan yang sulit untuk
ditingkatkan kembali maka pemberhentian sementara tersebut paling lama 6 bulan
sejak tanggal pemberhentian dapat dikeluarkan surat keputusan PHK dengan
hormat, dengan ketentuan perusahaan perlu memberikan pesangon, uang jasa, dan
ganti rugi sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada perusahaan tersebut.
2) Karena
pelanggaran, penyelewengan, dan tindak pidana, yaitu pemberhentian sementara
oleh pihak perusahaan terhadap pegawai yang melanggar disiplin, melakukan
penyelewengan atau tindak pidana lainnya.
Dalam
menghadapi pemberhentian ini perlu diperhatikan antara lain beberapa hal
berikut.
-
Apabila pegawai
yang melanggar disiplin dan melakukan manipulasi atau penyelewengan telah
diberikan peringatan lisan dan tertulis, tidak menunjukkan perubahan sikap,
maka kepada pegawai tersebut dapat dikenakan sanksi pemberhentian sementara (schorsing).
-
Selama
pemberhentian sementara tersebut, kepada pegawai yang bersangkutan hanya atau
dapat diberikan 80 % gaji pokok perbulan.
-
Apabila setelah
paling lama 3 bulan pemberhentian sementara tersebut berlangsung, pegawai yang
bersangkutan dapat diperkenankan kembali bekerja seperti biasanya dengan
mendapat hak-haknya kembali secara penuh. Tetapi apabila penyelewengan atau
pelanggaran disiplin tersebut diulangi kembali oleh pegawai tersebut, pihak
perusahaan dapat langsung mengeluarkan surat keputusan pemberhentian dengan ketentuan sesuai dengan
yang berlaku pada perusahaan.[6]
B. PENGATURAN HAK DAN KEWAJIBAN
SECARA MIKRO
Pengaturan yang
bersifat mikro berlaku khusus bagi individu tertentu atau pada perusahaan
tertentu. Pengaturan hak dan kewajiban yang bersifat mikro dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu: perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian perburuhan.
1.
Perjanjian
Kerja
a. Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian
kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.[7]
Perjanjian kerja tidak mensyaratkan bentuk tertentu, bisa dibuat secara
tertulis yag ditandatangani kedua belah pihak atau dilakukan secara lisan.
Dalam hal perjanjian kerja dibuat tertulis, maka harus dibuat sesuai peraturan
perundangan yang berlaku. Misalnya perjanjian kerja waktu tertentu, anta kerja
antar daerah, antar kerja antar negara, dan perjanjian kerja di laut. Biaya
yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian kerja menjadi tanggung jawab
pengusaha.[8]
Perjanjian
kerja lisan terjadi karena:
ü Berdasarkan
kuasa wali/orang tua;
ü Menurut
undang-undang.
Perjanjian
kerja dibuat dengan memperhatikan syarat sahnya perjanjian. Syarat ini telah
diatur secara khusus dalam UUK pada Pasal 52 ayat (1) yaitu:
a. Kesepakatan
kedua belah pihak;
b. Kemampuan
atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. Adanya
pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. Pekerjaan
yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan peundang-undangan yang berlaku.[9]
Perjanjian
kerja yang dibuat secara tertulis oleh kedua belah pihak sekurang-kurangnya
memuat:
a. Nama,
alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. Nama,
jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. Jabatan
atau jenis pekerjaan;
d. Tempat
pekerjaan;
e. Besarnya
upah dan cara pembayaran;
f. Syarat-syarat
kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. Mulali
dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. Tempat
dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
i.
Tanda tangan
para pihak dalam perjanjian kerja.[10]
b. Jenis
Perjanjian Kerja
1) Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian
Kerja diatur pada Pasal 56 sampai dengan pasal 60 Undang-undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada pasal 59 ayat (1) disebutkan perjanjian
kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha yang hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu, menurut jenis dan sifat
atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.
Selanjutnya
ditentukan jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan yang selesai dalam waktu
tertentu, yaitu:
ü Pekerjaan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
ü Pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun.
ü Pekerjaan
yang bersifat musiman; atau
ü Pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan.
Perhatikan
ketentuan berikut:
a. Perjanjian
kerja waktu tertentu (PKWT):
Ø Sekali
selesai/sementara, maksimum 3 tahun;
Ø Musiman/produk
baru/tambahan/uji coba
b. PKWT
tidak untuk pekerjaan yang tetap.
c. PKWT
harus dibuat dalam bentuk tertulis.
d. Jangka
waktu PKWT maksimum 2 tahun, dengan satu kali perpanjangan paling lama 1 tahun.
e. PKWT
dapat diperbaharui sebanyak 1 kali selama 2 tahun, dengan masa jeda 1 bulan.
Apabila
PKWT bertentangan dengan ketentuan di atas, maka perjanjian kerja waktu
tertentu otomatis berubah menjadi perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
Dengan
demikian, secara hukum perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWT) terjadi
karena beberapa hal, yaitu:
a. Kesepakatan
para pihak, yaitu antara pekerja/buruh dan pengusaha;
b. Tidak
terpenuhinya dan atau akibat adanya pelanggaran terhadap ketentuan
perundang-undangan.[11]
2) Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT)
Menurut pasal1603 huruf g ayat 1 KUH Perdata Perjanjian Kerja waktu
tidak tertentu adalah perjanjian kerja dimana waktu lamanya hubungan kerja
tidak ditentukan baik dalam perjanjian atau peraturan majikan, dalam peraturan
perundang-undangan ataupun menurut kebiasaan.
Pada umumnya perjanjian kerja waktu tidak tertentu ini diberlakukan
untuk karyawan tetap. Masa berakhirnya perjanjian kerja adalah apabila terjadi
PHK baik karena meninggal, mengundurkan diri, pension, atau pemecatan.
2.
Peraturan
Perusahaan
Menurut
Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Per02/Men/1978 yang
dimaksud dengan peraturan perusahaan adalah suatu peaturan yang dibuat secara
tertulis yang memuat ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat kerja serta tata
tertib perusahaan. Perbedaannya dengan perjanjian kerja yaitu dalam peraturan
perusahaan terdapat tata tertib perusahaan, selain itu syarat-syarat kerjanya
yang dibuat lebih lengkap.[12]
a. Penyusunan peraturan perusahaan
Peraturan
perusahaan biasanya dibuat tau disusun oleh pihak pengusaha, kemudian
diberlakukan untuk karyawannya. Namun demikian akan lebih baik apabila dalam
proses penyusunan peraturan perusahaan tersebut
pengusaha atau manajer mengadakan konsultasi atau partisipasi dengan
pekerja dan pihak kantor Departemen Tenaga Kerja setempat. Hal ini diatur dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan KoperasiPer-02/Men/1978 ayat
2.
Diadakan
komsultasi dengan pihak pekerja dimaksudkan karena pihak pekerja yang akan
terkena langsung dengan peraturan perusahaan tersebut. Dengan adanya
partisipasi atau konsultasi dengan pihak pekerja, maka pihak pengusaha akan
dapat mengetahui terlebih dahulu bagaimana reaksi pekerja terhadap peraturan
yang akan dikenakan kepadanya. Selain itu, dari sisi pengusaha dapat
menjelaskan latar belakang atau alasan mengapa peraturan tersebut diadakan.
Sedangkan
konsultasi dengan pihak kantor Departemen Tenaga Kerja setempat dimaksudkan
bahwa peraturan yang dibuat tidak melanggar atau bertentangan dengan
peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Pengesahan peraturan perusahaan
Setelah
penyusunan peraturan perusahaan selesai, sebelum berlaku harus dimintakan
pengesahan dari kantor departemen tenaga kerja setempat. Tujuan dari permohonan
pengesahan peraturan perusahaan yaitu:
1) untuk
mencegah agar di dalam peraturan perusahaan
tidak tercantum ketentuan yang bertentangan dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku;
2) untuk
mengusahakan perbaikan dan peningkatan syarat-syarat kerja yang dicantumkan
dalam peraturan perusahaan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang
ada.
Permohonan pengesahan
peraturan perusahaan diperlukan untuk peraturan perusahaan yang baru maupun
untuk peraturan perusahaan yang telah disahkan tetapi setelah pengesahan
mengalami perubahan.terhadap peraturan perusahaan yang telah disahkan, pekerja
wajib memahami hak dan kewajibannya. Untuk itu pengusah mempunyai
kewajiban-kewajiban:
Ø memberitahukan
isi peraturan perusahaan yang telah disahkan kepada pekerjanya dihadapan
pegawai departemen tenaga kerja setempat;
Ø memberikan
kepada setiap pekerja sebuah peraturan perusahaan yang telah disahkan;
Ø menempel
peraturan perusahaan yang telah disahkan di tempat yang mudah dibaca.
c. Masa
Berlakunya Peraturan Perusahaan
Peraturan
perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari departemen tenaga kerja tersebut
mempunyai masa efektif berlaku dan mempunyai masa berlaku. Masa berlaku
peraturan perusahaan paling lam dua tahun. Jika peraturan perusahaan sudah
berakhir masa berlakunya, maka peraturan perusahaan tersebut masih tetap
berlaku sampai disahkannya peraturan perusahaan yang baru atau sampai
ditandatanganinya peraturan perburuhan. Dalam pengertian ini peraturan
perusahaan tidak dapat diperpanjang, hanya masih berlaku saja.
Apabila
peraturan perusahaan yang lama akan diadakan perubahan-perubahan, maka
peraturan perusahaan yang baru tersebut harus sudah diajukan untuk dimintakan
pengesahan selambat-lambatnya tiga bulan sebelum berakhirnya peraturan
perusahaan. Apabila dalam perusahaan sudah dibuat perjanjian perburuhan, maka
peraturan perusahaan sudah tidak berlaku lagi, meskipun belum berakhir masa
berlakunya.[13]
3.
Perjanjian
Perburuhan/Perjanjian Kerja Bersama
Pengertian perjanjian
perburuhan menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 perjanjian
perburuhan merupakan perjanjian yang diselenggarakan oleh serikat pekerja yang
telah didaftarkan pada Kementrian Perburuhan (sekarang Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi) dengan majikan, majikan-majikan, atau perkumpulan majikan
yang berbadan hukum, yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat
kerja yang harus diperhatikan di dalam perjanjian kerja.
Perjanjian
perburuhan juga disebut dengan istilah Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), hal ini
dapat dilihat dari pasal 1 huruf a Peraturan Menteri Tenaga Per-01/Men/1985
yang menyatakan bahwa Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) adalah perjanjian
perburuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 21 tahun 1954. Dalam
prakteknya kesepakatan kerja bersama ini disebut dengan perjanjian kerja
bersama (PKB).
Karena memuat
syarat-syarat kerja yang harus diperhatikan dalam membuat perjanjian kerja,
maka perjanjian perburuhan merupakan induk dari perjanjian kerja. Karena
sebagai induk dari perjanjian kerja, apabila ada pertentangan antara perjanjian
kerja dan perjanjian induk, maka yang berlaku atau yang dianggap sah adalah
perjanjian perburuhan. Hal-hal yang dianggap tidak sah dapat diajukan oleh
masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian perburuhan, yakni oleh
serikat pekerja ataupun oleh pengusaha.
Apabila dalam
perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan atau syarat-syarat kerja yang
ditetapkan di dalam perjanjian perburuhan, maka berlaku aturan atau syarat-syarat
kerja dalam perjanjian perburuhan itu. Namun sebaliknya, apabila dalam
perjanjian kerja memuat aturan dan syarat-syarat kerja tertentu, yang dalam
perjanjian perburuhan tidak ada, maka aturan dan syarat yang ada dalam
perjanjian kerja itu batal atau tidak berlaku lagi.
a.
Isi perjanjian perburuhan
Kalau ditinjau
dari fungsinya sebagai induk dari perjanjian kerja, maka perjanjian perburuhan
ini pada umumnya mempunyai cakupan atau isi yang lebih luas dibanding
perjanjian kerja. Secara umum isi perjanjian perburuhan akan menyangkut dua
hal, yaitu syarat-syarat materiil dan syarat-syarat formiil.
1)
Syarat materiil
Dalam
perjanjian dikenal adanya asas kebebasan berkontrak, artinya bahwa para
pihakbebas menentukan isi dari perjanjian. Dalam perjanjian peburuhan adanya
asas kebebasan berkontrak dinyatakan dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor
21 tahun 1954 yang berbunyi: suatu perjanjian perburuhan tidak ada gunanya dan
tidak pada tempatnya jika segala sesuatu ditentukan dan ditetapkan oleh
pemerintah saja.
Namun demikian
asas kebebasan berkontrak dalam membuat perjanjian perburuhan dibatasi dengan
syarat-syarat materiil sebagai berikut:
a) Hanya
di dalam lingkungan yang oleh pemerintah dianggap layak. Berarti tidak semua
tempat kerja dapat membuat perjanjian perburuhan.
b) Tidak
boleh memuat suatu aturan yang mewajibkan seorang pengusaha hanya menerima atau
menolak pekerja atau mewajibkan pekerja hanya bekerja atau tidak bekerja pada pengusaha dari suatu
golongan, baik berkenaan dengan agama, golongan warga negara atau bangsa,
maupun karena kenyakinan politik atau
anggota suatu perkumpulan. Hal ini untuk menghindari timbulnya monopolistic
baik oleh pekerja ataupun pengusaha.
c) Tidak
boleh memuat aturan-aturan yang bertentangan dengan ketertiban umum dan
kesusilaan.
2)
Syarat formiil
Syarat-syarat
formiil perjanjian perburuhan diatur dalam peraturan pemerintah nomor 49 tahun
1954 sebagai berikut:
a)
perjanjian
perburuhan harus dibuat dalam bentuk tertulis, dapat berwujud akta resmi
(disahkan oleh pejabat resmi) atau akta di bawah tangan (hanya ditandatangani
oleh pekerja dan pengusaha saja).
b)
Perjanjian
perburuhan harus memuat:
· Nama,
tempat kedudukan, serta alamat serikat pekerja
· Nama,
tempat kedudukan, serta alamat pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang
berbadan hukum
· Nomor
dan tanggal pendaftaran serikat pekerja pada departemen tenaga kerja
c) Perjanjian
perburuhan harus dibubuhi tanggal dan ditandatangani oleh kedua belah pihak
yang berbentuk serikat atau perkumpulan, penandatanganan dilakukan oleh
pengurus yang ada di anggaran dasar yang diberi wewenang untuk itu.
d) Perjanjian
perburuhan harus dibuat sekurang-kurangnya rangkap tiga, satu untuk bekerja
yang bersangkutan, satu untuk pengusaha, dan satu untuk departemen tenaga
kerja, yang diserahkan bersamaan dengan pendaftaran di departemen tersebut.[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hak dan kewajiban bagaikan koin dengan dua mata, dimana dalam suatu
hak akan melekat kewajiban-kewajiban. Hak pengusaha akan disertai dengan
kewajiban-kewajiban, demikian pula dengan hak pekerja juga akan disertai dengan
kewajiban-kewajibannya. Untuk mengatur agar terjadi keseimbangan hak dan
kewajiban dalam dunia usaha, maka perlu dibuat suatu aturan.
Mengenai pengaturan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha secara
yuridis diatur dalam KUH Perdata. Secara khusus
KUH Perdata Pasal 1602 mengatur kewajiban pengusaha dan Pasal 1603
mengatur kewajiban pekerja. Hak pekerja manjadi kewajiban pengusaha, begitu
juga sebaliknya hak pengusaha menjadi kewajiban pekerja.
Pengaturan hak
dan kewajiban secara makro berarti pengaturan ini menyangkut materi yang
sifatnya umum saja. Dengan demikian pengaturan ini berlaku bagi semua
perusahaan satu dengan yang lain. Karena sifatnya umum, maka pengaturan ini
sudah tertuang dalam undang-undang.
Dari fenomena-fenomena
ketenagakerjaan nasional seperti digambarkan diatas, maka dari tahun ke tahun
telah terjadi perkembangan perundang-undangan yang mempengaruhi tanggung jawab
manajer. Intervensi hukum/undang-undang saat ini mempengaruhi semua aspek
hubungan industrial. Peraturan itu
mencakup peraturan penarikan kerja, pegupahan, keselamatan dan kesehatan kerja,
dan pemutusan hubungan kerja.
Pengaturan yang
bersifat mikro berlaku khusus bagi individu tertentu atau pada perusahaan
tertentu. Pengaturan hak dan kewajiban yang bersifat mikro dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu: perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian
perburuhan.
DAFTAR P USTAKA
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Haryani,
Sri. 2002. Hubungan Industrial di
Indonesia. Yogyakarta: AMP YKPN.
Rahayu,
Devi. 2011. Hukum Ketatanegaraan.
Yogyakarta: New Elmatera.
Husni, Lalu. 2003. Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Agusmidah.
2010. Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Ghalia
Indonesia. Bogor.
[1] Anwar Prabu Mangkunegara, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan,
PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm 33
[2] Ibid; hlm 34-37
[3] Sri
Haryani,2002,Hubungan Industrial di
Indonesia,Yogyakarta,AMP YKPN, hlm 136-142
[4] Devi Rahayu, 2011, Hukum Ketatanegaraan, New Elmatera,
Yogyakarta, hlm 89-91
[5]
Anwar Prabu Mangkunegara, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan,
PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm 161-163
[6]
Anwar Prabu Mangkunegara,2001,
Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan,
PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm 165-168
[7] Lalu Husni, 2003, Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm 54
[8]
Devi Rahayu, 2011, Hukum Ketatanegaraan, New Elmatera,
Yogyakarta, hlm 78
[9] Agusmidah, 2010, Hukum Ketatanegaraan Indonesia, Ghalia
Indonesia, Bogor, hlm 46
[10]
Devi Rahayu, 2011, Hukum Ketatanegaraan, New Elmatera,
Yogyakarta, hlm 80
[11] Agusmidah, 2010, Hukum Ketatanegaraan Indonesia, Ghalia
Indonesia, Bogor, hlm 50-52
[12] Sri
Haryani, 2002, Hubungan Industrial di
Indonesia, Yogyakarta, AMP YKPN, hlm 180
[13] Sri
Haryani,2002,Hubungan Industrial di
Indonesia,Yogyakarta,AMP YKPN, hlm 183-184
[14] Ibid; hlm 184-186
Tidak ada komentar:
Posting Komentar