Pages

Kamis, 30 Maret 2017

POSISI DAN SASARAN APLIKASI ETIKA DALAM ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Urgensi bisnis tidak bisa dipandang sebelah mata. Bisnis selalu memegang peranan vital didalam kehidupan sosial dan ekonomi manusia sepanjang masa. Hal ini pun masih berlaku di era kehidupan kita. Karena kekuatan ekonomi mempunyai kesamaan makna dengan kekuatan politik, sehingga urgensi bisnis mempengaruhi semua tingkat individu, sosial, regional, nasional dan internasional. Tidakah mengherankan, apabila jutaan Muslim dewasa ini dalam berbagai kegiatan bisnis atau yang lainnya.
            Keterlibatan muslim di dalam dunia bisnis bukanlah merupakan suatu fenomena baru. Kenyataan tersebut telah berlangsung sejak empat belas abad yang lalu. Hal tersebut tidakah mengejutkan karena Islam menganjurkan umatya untuk melakukan kegiatan bisnis. Rasululah SAW. Sendiri telah terlibat didalam kegiatan bisnis selama bertahun-tahun.
            Namun, musim dewasa ini menghadapi suatu masalah yang sangat dilematis. Meskipun berpartisipasi aktif dalam dunia bisnis, namun dalam pikiran mereka juga ada semacam ketidakpastian apakah praktek-praktek bisnis mereka benar menurut pandangan Islam. Tetapi bukan hal itu yang membingungkan mereka karena mereka mengetahui bahwa kegiatan bisnis merupakan hal yang sah dan boleh dilakukan. Akan tetapi, bentuk-bentuk baru, institusi, metode dan teknik-teknik bisnis yang sebelumnya belum pernah ada telah menyebabkan keraguan tersebut.
Tidak diragukan lagi bahwa legalitas bisnis dibahas oleh Al-Qur’an sebagaimana mestinya. Namun al-qur’an tidak membatasi dirinya untuk menyatakan dan memutuskan legalitas semacam ini saja. Ada sejumlah perintah dan larangan secara ekplisit dan implisit yang berhubungan dengan transaksi bisnis seperti halnya ada pernyataan-pernyataan tegas tentang distribusi kekayaan dimasyarakat. Hal-hal tersebut sebagaimana keputusan-keputusan relevan yang lain, akan dikutip sebagai pertimbangan untuk membentuk suatu teori etika bisnis yag memang seharusnya dijadikan dasar pada pensintesisan yang sesuai dari semuakeputusan sejenis. Eksposisi sintetik ajaran Al-Qur’an seperti ini diharapkan akan membantu kita dalam menggambarkan prinsip-prinsip dasar dari etika bisnis Al-Qur’an (Ahmad:2001,1-3).
1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Etika Bisnis Islami?
2.      Apa Saja Ruang Lingkup Etika dalam Islam?
3.      Apa Tujuan dan Peran Etika dalam Islam ?
4.      Bagaimana Posisi dan Sasaran Aplikasi Etika dalam Islam?
1.3 Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui Pengertian Etika Bisnis Islami
2.      Mengetahui Ruang Lingkup Etika dalam Islam
3.      Mengetahui Tujuan dan Peran Etika dalam Islam
4.      Mengetahui Posisi dan Sasaran Aplikasi Etika dalam Islam









BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Etika Bisnis Islami
Etika dalam islam disebut akhlak. Berasal dari bahasa Arab al-akhlak yang merupakan bentuk jamak dari al-khuluq yang berarti budi pekerti, tabi’at atau watak yang tercantum dalam al-Qur’an sebagai konsideran. Etika dalam islam adalah sebagai perangkat nilai yang tidak terhingga dan agung yang bukan saja berisikan sikap, perilaku secara normatif, yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan Tuhan (iman), melainkan wujud dari hubungan manusia terhadap Tuhan, Manusia dan alam semesta dari sudut pandang historisitas. Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman keberagamaan seseorang. Maka Islam menganjurkan kepada manusia untuk menjunjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran, dan keadilan. Etika dalam islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan sosial hanya dan untuk mengabdi pada Tuhan, bukan ada pamrih di dalamnya. Di sinilah peran orang tua dalam memberikan muatan moral kepada anak agar mampu memahami hidup dan menyikapinya dengan bijak dan damai sebagaimana Islam lahir ke bumi membawa kedamaian untuk semesta (rahmatan lilalamain) (Mudlor:155).
2.2  Ruang Lingkup Etika dalam Islam
Kajian “etika Islam” menyangkut berbagai aspek, yaitu:
Pertama, kerangka acuan, yang terdiri atas tiga pokok pembahasan yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan Ijtihad. Ketga aspek tersebut sangat berkesinambungan sebagai pedoman di tengah masyarakat. Karena Rasulullah telah member garansi bagi umat yang mau berpegang teguh terhadap A-Qur’an dan sunnah maka selama-lamanya tidak akan tersesat, begitu pula ijtihad suatu upaya maksimal yang harus dilaksanakan oleh seorang pakar atau expert, terutama dalam menyelesaikan permasalahan.
Kedua, landasan tentang dogmatis bagi etika islam. Terdiri dari tiga aspek, yaitu akidah, akhlak, dan ibadah. Ketiga aspek tersebut sangat member nilai positif dalam dunia sampai akhirat kelak. Karena setiap orang harus memilikinya secara benar dan memadai agar tidak kesulitan dalam menempuh hidup dan kehidupannya. Dalam  hal ini tidak terkecuali para manajer, atasan maupun bawahan
Ketiga, membahas tentang manajemen islami, terdiri dari tiga topik, yaitu iman, leadership (kepemimpinan), manajerial, dan administrasi. Keempat aspek tersebut dibahas menurut manajemen islam. Selanjutnya untuk memperdalam dilakukan analisis perbandingan dengan manajemen secular. Karena manajer harus memahami manajemen islami dengan benar dan dapat memanaj bisnisnya secara islami sesuai kerangka acuan Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad yang berlandaskan Akhlak, Akidah, dan Ibadah.
Keempat, jati diri manajer muslim, berawal dari manajer yang memiliki sifat cakap, mampu, professional, dan panutan. Agar manajer muslim memiliki sifat percaya diri untuk mengokohkan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya.
Kelima, membahas tentang ekonomi islam, yang sering menjadi risauan umat yang selama ini dikembangkan telah gagal mengantarkan umat untuk mendaoatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Maka ada dua sistem yang akan memberikan solusi dari malah diatas, yaitu ekonomi kapitalisme, dan marxisme atau di sebut ekonomi islamisme. Pada akhirnya secara bertahap akan terjadi perubahan yang signifikan dalam pola pikir mereka, dan akan meningkatkan kesejahteraan umat secara merata.
Keenam, membahas tentang aplikasi taqwa dalam berbisnis. Taqwa merupakan kunci sukses dalam bernisnis dunia dan akhirat kelak. Kesuksesan suatu bisnis amat tergantung pada sejauh mana seseorang mendapatkan kepercayaan dari para stakeholder-nya serta pihak-pihak yang kompeten di dalamnya. Maka aplikasi taqwa dalam berbisnis menjadi amat urgen. Apalagi bagi seorang manajer atau pejabat-pejabat yang memegang kendali suatu perusahaan (Baidan dan Erwati:2008,9-11)
2.3 Tujuan dan Peran Etika dalam Islam
Menurut para filosof etika Muslim, tujuan dari etika adalah memperoleh kebahagiaan. Etika terkait dengan  masalah baik dan buruk, benar dan salah.  Etika ingin agar manusia menjadi baik,  karena hanya dengan menjadi baiklah seseorang akan menjadi bahagia. Alasannya, orang baik adalah orang yang sehat mentalnya, dan orang sehat mentalnya bisa mengenyam berbagai macam kebahagiaan rohani. Sama halnya, orang yang sehat fisiknya bisa mengenyam segala macam kesenangan jasmaninya, seperti merasakan berbagai macam rasa makanan atau minuman yang disantapnya. Demikian pula, kalau jiwa kita sakit, misalnya ketika kita mengidap penyakit iri. Kita yang biasanya merasa bahagia dengan penghasilan kita yang biasa, tiba-tiba, karena rasa iri, kita tidak merasa bahagia kala tetangga kita lebih beruntung dari kita. Jadi, dalam hal ini penyakit iri (hasad) bisa menghapus rasa bahagia yang selama ini kita rasakan. Ilustrasi di atas, mudah-mudahan menjadi jelas, kalau jiwa kita sehat dengan kata lain kita baik dan berakhlaq karimah maka kita akan merasakan dan mencapai kebahagiaan yang kita dambakan. Sementara itu, ilmu dan rasionalitas juga memainkan peranan penting dalam etika, terutama dalam upaya kita mencapai kebahagiaan. Rasionalitas atau “akal” menempati  posisi yang krusial dalam etika Islam. Nashir al-Din al-Thusi (w.1274), menyebut rasionalitas sebagai  kesempurnaan (entelechy) manusia. Dalam rasionalitas terdapat perbedaan esensial antara manusia dan hewan.
Akal biasanya hanya dipandang memiliki fungsi kognitif belaka. Tetapi, menurut visi etika yang benar (seimbang), akal atau rasionalitas manusia juga mempunyai fungsi manajerial (tadbir). Dengan fungsi kognitifnya, akal mampu membangun ilmu pengetahuan teoritis yang  sangat diperlukan untuk menerangi jalan hidup manusia. Tetapi, akal juga mempunyai fungsi mengatur. Al-Razi (w. 925), dalam bukunya al-Thibb al-Ruhani (Pengobatan Rohani), mengatakan bahwa “akal bukan saja merupakan daya yang memungkinkan seseorang memahami dunia sekelilingnya (memiliki ilmu pengetahuan), tetapi juga merupakan “prinsip yang mengatur” pada jiwa, yang berkat keunggulannya dapat menjamin terkekangnya hawa nafsu dan penyempurnaan akhlak”.
Keseimbangan ini baru bisa tercapai, bila akal telah melaksanakan peran “manajerial”nya, yakni telah melaksanakan fungsi kontrolnya terhadap nafsu-nafsu manusia, maka akal atau  prinsip rasionalitas ini merupakan syarat yang paling fundamental bagi tercapainya tujuan etika yaitu “kebahagiaan” atau yang sering juga disebut  “kesempurnaan” manusia.
2.4 Posisi dan Sasaran Aplikasi Etika dalam Islam
A.    Posisi Aplikasi Etika dalam Islam
Agama memiliki hubungan erat dengan etika manusia. Setiap agama mengandung suatu ajaran etika yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Ajaran etika terkandung atura-aturan dalam suatu agama, meliputi dua macam peraturan. Pertama, aturan yang bersifat teknis, seperti tata cara makan, shalat, zakat. Kedua, aturan yang bersifat non-teknis lebih umum, seperi jangan berdusta, jangan berzina, perintah-perintah yang sifatnya umum (Abdullah:2006,618).
Dalam Islam, bisnis dan etika bukan merupakan dua bangunan yang terpisah, melainkan satu kesatuan struktur. Keterpaduan tersebut, Islam memberikan bangunan paradigma etika dalam berbisnis, yakni bisnis yang dibangun di atas nilai-nilai aksioma; kesatuan, kehendak bebas, pertanggung jawaban, kesetimpangan (keadilan), dan kebenaran (kebajikan) dan kejujuran (Anas:2008,63).
Dapat disimpulkan bahwa agama dan etika merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, dan dalam Islam etika didasarkan pada al-Qur’an dan Hadist yang merupakan pedoman bagi orang muslim. Berbicara tentang etika (akhlak) dalam Islam tentu saja tidak bisa lepas dari bagaimana posisi etika itu di dalam skema ajaran Islam secara menyeluruh (komprehensif) (Djakfar:2009,84).
Situasi moral dalam dunia modern itu mengajak kita untuk mendalami studi etika. Rupanya studi etika itu merupakan salah satu cara yang memberi prospek untuk mengatasi kesulitan moral yang kita hadapi sekarang. Sudah pernah diketengahkan bahwa alasan-alasan yang kita punya untuk mendalami studi etika sangat mirip dengan situasi di yunani kuno sekitar pertengahan abad ke-5 SM (Bertens: 2002,34).
Dari skema diatas dapat dikatakan bahwa Allah SWT menurunkan wahyu berupa ajaran Al-Qur’an kepada Rasul-Nya agar disampaikan kepada manusia.
Pokok Persoalan Kajian (analysis issue)
Diskursus ini sebenarnya mengeksplor tentang posisi agama dan etika dari karya David Stewart yang berjudul Exploring the philosophy of religion. Terdapat empat persoalan pokok. Dalam karyanya, Stewart pada intinya mengedepankan empat persoalan pokok.
Pertama, Etika lawan Agama (Ethics against religion). Stewart mengedepankan terlebih dahulu persoalan apakah kita menerima pandangan yang menyatakan bahwa etika adalah otonom (autonomous) atau independen (independent), dalam arti terlepas dari agama. Oleh karena itu, ia mencoba mengemukakan pendapat Friederich Nietzche, seorang filosof Jerman abad ke-19. Nietzche berpendapat bahwa peradaban Barat tidak lagi dapat  menerima landasan religious untuk etika, tetapi bersikeras mendukung nilai-nilai yang diturunkan dari tradisi Yahudi-Kristen.
     Kedua, Etika yang kurang Agamis (A Religionless Ethics). Stewart mengkaji pendapat Kai Nielsen. Nielsen berpendapat bahwa sebuah etika yang otonom tidak perlu tenggelam kedalam konvensionalisme maupun nihilisme. Ia juga mengemukakan perbedaaan antara moralitas sekuler dengan moralitas berdasarkan agama (religious) yang terletak pada sejumlah prinsip-prinsip etika yang dibutuhkan untuk masing-masing moralitas. Etika sekuler ini dimaksudkan etika yang berprinsip pada penghormatan (respect) kepada orang lain. Selanjutnya Nielsen menyatakan bahwa hidup akan dapat bermakna tanpa adanya makna secara menyeluruh, selama kita mencari kepuasan dari sumber lain. Letak perbedaan pendapat Nielsen dengan pendapat banyak orang adalah bahwa justru agama merupakan satu makna menyeluruh bagi hidup.
     Ketiga, Moralitas versus Moralisme (morality versus Moralism) dengan mengangkat pendapat Paul Tillich yang menyatakan bahwa moralitas merupakan suatu permintaan yang tak bersyarat, sedangkan moralism adalah suatu yang bersyarat. Nampaknya, Tillich lebih berpijak pada pernyataan Immanuel Kant bahwa satu-satunya tindakan moral yang sebenernya adalah tidak bersyarat. Selanjutnya  Tillich juga membuat perbedaan antara kenyataan essensial kita (our essensial being) dengan kenyataan actual kita (our actual being), terkait dengan perbedaan antara ‘sekarang’ (the “is”) dengan seharusnya (the ought). Ia juga menyatakan bahwa aturan-aturan moral tidak dapat merubah kita bermoral, disamping pernyataannya bahwa cinta menstranformasikan moralisme otoritas (kewenangan) menjadi sebuah moralisme berisko.
     Keempat, kebutuhan Etika bagi Agama (The Need of Ethics for Religion). Dengan mengedepankan pendapat Reinhold Niebuhr. Niebuhr mengklaim bahwa fanatisme (fanaticism) dan keputusasaan (despair) merupakan dua bahaya kembar yang menghadang kita ketika kita puas hanya dengan pendekatan mengenai cita-cita moral (moral ideal). Pendapat Niebuhr yang lain yang di kemukakan oleh Stewart adalah bahwa kita tidak dapat benar-benar menyadari cinta tanpa agama, disamping pendapatnya yang lain mengenai doktrin Kristiani tentang cinta sebagai kerangka pemikiran metafisik dan psikologis dalam hidup manusia (Djakfar:2012,53-54).
B.     Sasaran Aplikasi Etika dalam Islam
Etika juga mempunyai sasaran dimana Etika (akhlak) tersebut harus dijalankan, aspek-aspek sasaran Etika (akhlak) yakni:
1.      Etika terhadap Allah SWT.
Etika terhadap Allah meliputi amal perbuatan yang dilakukan dengan cara berhubungan dengan Allah, melalui media-media yang telah disediakan Allah, seperti shalat, puasa dan haji (Sauri:2004,117). Misalnya berbisnis (mencari kelebihan karunia Allah) dilakukan setelah melakukan shalat dan dalam pengertian tidak mengesampingkan dan tujuan keuntungan yang hakiki yaitu keuntungan yang dijanjikan Allah. Oleh karena itu, walaupun mendorong melakukan kerja keras termasuk dalam berbisnis, Al-Qur’an menggaris bawahi bahwa dorongan yang seharusnya lebih besar bagi dorongan bisnis adalah memperoleh apa yang berada disisi Allah.
Titik sentral etika islam adalah menentukan kebebasan manusia untuk bertindak dan bertanggung jawab karena kepercayaannya terhadap kemahakuasaan Tuhan. Hanya saja kebebasaan manusia itu tidaklah mutlak, dalam arti, kebebasan yang terbatas. jika sekiranya manusia memiliki kebebasan mutlak, maka berarti ia menyaingi kemahakuasaan Tuhan selaku pencipta ( khalik) semua makhluk, tanpa kecuali adalah manusia itu sendiri. Dengan demikian hal ini tidaklah mungkin (mustahil). Dalam skema etika islam, manusia adalah pusat penciptaan Tuhan. Manusia merupakan wakil Tuhan di muka bumi sebagai mana firman-Nya: (Naqvi 2003, 35)
           
Artinya: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. A-An’am:165)
2.      Etika terhadap sesama (manusia)
Sebagai makhluk sosial (homo socius), mustahil rasanya manusia lepas hubungannya dengan sesama. Di dalam lalu lintas saling memenuhi kebutuhan itulah dituntut saling menghargai dan saling menghormati yang merupakan bagian dari ajaran etika (akhlak) dalam islam. Tidak berbantahkan bahwa bisnis merupakan salah satu aktivitas kehidupan manusia dan bahkan telah merasuki semua sendi kehidupan modern. Pada fenomena ini mustahil orang terlepas dari pengaruh bisnis, dan sebagai konsekuensinya, masyarakat adalah konsumen yang menjadi sasaran para produsen di mana-mana. Oleh karena itu sangatlah logis jika dikatakan bahwa bisnis adalah bagian integral dari masyarakat dimana pun mereka berada dan akan mempengaruhi kehidupan mereka, baik secara positif maupun negatif (Djakfar:2007,107).
Menurut perspektif etis, segala aktivitas bisnis dituntut untuk menawarkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, dalam arti tidak menawarkan sesuatu yang merugikan hanya demi meraih keuntungan sepihak. Para pelaku bisnis bias saja berasumsi bahwasannya bisnis merupakan aktivitas netral, dimana mereka terpanggil untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Mereka beranggapan bahwa aktivitasnya hanya untuk memenuhi permintaan masyarakat tanpa mempertimbangkan apakah barang atau jasa yang diproduksi dan dipasarkan merugikan atau berpotensi merugikan konsumen. Sikap netral memang merupakan salah satu prinsip yang harus dipegangi oleh para pelaku bisnis. Mereka dibenarkan menawarkan barang yang dibutuhkan masyarakat asalkan tidak mendikte, apalagi memaksa konsumen untuk membeli dan mengkonsumsi produk yang dihasilkan.
Namun demikian sebenarnya yang terpenting adalah kepada para pelaku bisnis diharapkan masih memiliki kesadaran moral dan tanggungjawab untuk memperhatikan efek kegiatan bisnisnya bagi masyarakat, baik yang menyangkut kehalalan, kesehatan, moral, budaya, social, dan ekonomi. Setelah itu untuk selanjutnya, diharapkan pula kepada para pelaku bisnis agar memiliki kepekaan terhadap kepentingan  masyarakat untuk tidak merugikan mereka hanya demi keuntungan sesaat bagi dirinya.
3.      Etika terhadap Lingkungan
Dalam perspektif etika lingkungan, manusia dituntut untuk meperlakukan alam tidak semata-mata dalam kaitannya untuk kepentingan dan kebaikan manusia. Etika ini seharusnya berorientasi untuk mengembangkan kesadaran bahwa pelestarian lingkungan juga untuk kepentingan seluruh makhuk, baik makhluk hidup maupun mati. Yang dimaksud adalah bagaimana kita bersikap terhadap alam, apa yang sebaiknya kita lakukan dan kita tinggakan, apa yang seharusnya dan tidak seharusnya kita lakukan terhadap makhluk lain seperti tumbuhan (flora), hewan (fauna), tanah, air, dan seterusnya (Djakfar:2012,204).
      Sumber daya alam merupakan nikmat Allah SWT. Kepada makhluk-Nya. Seba itu manusia wajib mensyukurinya. Diantaranya bentuk syukur itu adalah menjaganya dari kerusakan, kehancuran, polusi, dan lain-lain yang tergolong sebagai bentuk kerusakan di Bumi (Qardhawi:1995,173). Sebagaimana firman Allah:
وَ اللهُ لَا يُحِبّ الْمُفْسِدِ يْنَ [64]  
“Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan”. (QS. Al-Maidah:64).
وَ إذَا تَوَلَّى سَعَي فِيْ اْلأَ رْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَ النّسْلَْ وَ اللهُ لاَ يُحِبّ الْفَسَا دَ [205]
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan  Allah tidak menyukai kebinasaan”. (QS. Al-Baqarah:205).
4.      Etika terhadap Diri Sendiri
Dalam pandangan islam, perlu tercipta adanya keseimbangan antara yang tertuju pada diri sendiri dan yang tertuju kepada pihak lain. Dengan demikian tidak ada salah satu pihak yang tidak mendapat perhatian (terabaikan).
Akhlak terhadap diri sendiri bisa dimaknai memberikan hak kepada jiwa (psikis) dan raga (fisis) kita yang harus dilindungi dan dilindungi secara wajar. Bukankah semua organ manusia itu mempunyai hak bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing. Akan tetapi, setiap organ itu harus melakukan fungsinya secara wajar, tanpa harus difungsikan diluar kapasitas yang layak dan terukur. Fisik manusia yang setiap harinya digunakan untuk aktivitas bisnis tetap mempunyai hak untuk istirahat secukupnya. Merupakan kedzaliman apabila mausia mempekerjakan fisiknya sendiri diluar batas kapasitas kewajaran (Djakfar:2008,29).










BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
          Prinsip bisnis daam perspektif Al-Qur’an, tidak boleh lepas dari nilai spiritual yang transenden. Bagaimanapun aktivitas bisnis, tidak bisa terpisahkan dari niai-nilai akhlaki, bagaikan menyatukan jasad dan ruh, urat dan daging. Ini menyiratkan bahwa antara agama, etika dan bisnis merupakan tiga entitas yang saling berkolerasi, bahkan berkolaborasi dan bersinergi. Bisnis yang menguntungkan adalah bisnis yang berpegang teguh pada ajaran tauhid yang diajarkan dalam Al-Qur’an yang menjadi sumber pokok ajaran nilai dalam Islam.
          Aktivitas bisnis yang dipandu nilai-nilai Qur’ani, niscaya akan mengedepankan nilai-nilai etika agar menghasilkan harta yang halal guna meraih nilai kebarakahan yang bisa menjadi garansi kebahagiaan dan keselamatan bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat. Artinya, untuk meraih keuntungan itu perlu dilakukan oleh pelaku bisnis yang berperilaku sesuai dengan ajaran A-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Perilaku yang baik da terpuji akan lebih memotivasi untuk memilih keuntungan akhirat yang abadi dari pada keuntungan dunia yang hanya sesaat. Selain itu, perilaku yang baik akan menata niat dengan ikhlas, mengelola bisnis dan sarana sesuai petunjuk Allah SWT. Dan yang tidak kalah krusialnya, pelaku bisnis yang berperilaku etis akan menyadari sepenuhnya bahwa harta yang diraih hanyalah amanah dari Pemilik Mutlak (Absolut), sehingga dengan semikian harus dikelola sesuai dengan kehendak-Nya. Pada akhirnya inilah sebenarnya keuntungan (falah) yang hakiki yang patut direbut oleh setiap pelaku bisnis muslim yang sadar akan ajaran agamanya dengan Al-Qur’an al-Majid sebagai pedomannya.



DAFTAR PUSTAKA
Mudlor, Ahmad. 2013. Etika Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Abdullah, M. Yatimin. 2006. Pengantar Studi Etika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Anas, Muhammad. 2008. Penerapan Etika Bisnis dalam Konteks Produsen dan Konsumen: Ke Arah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Millah Vol. VIII, No.1
K. Bertens. 2002. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sauri, Sofyan. 2004. Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam. Bandung: Alfabeta.
Qardhawi, yusuf. 1995. Peran dan Nilai Moral dalam Perekonomian Islam Jakarta: Robbani Press.
Ahmad, Mustaq. 2001. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Baidan, Nashruddin dan Erwati Aziz. 2008. Etika Islami dalam Berbisnis. Solo: Zada Haniva.
Djakfar, Muhammad. 2007. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Malang: UIN Press.
Djakfar, Muhammad. 2008. Etika Bisnis Islami : Tataran Teoritis dan Praktis. Malang: UIN Press.
Djakfar, Muhammad. 2009. Anatomi Perilaku Bisnis Dialektika Etika dengan Realitas. Malang: UIN Press.
Djakfar, Muhammad. 2012. Etika Bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi . Jakarta: Penebar Plus.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar