Pages

Kamis, 30 Maret 2017

MEMBANGUN BISNIS BERBASIS ETIKA DI TENGAH PERSAINGAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)




MEMBANGUN BISNIS BERBASIS ETIKA DI TENGAH PERSAINGAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)
(Studi Kasus Monopoli pada PT. Perusahaan Listrik Negara)
 

BAB I
PENDAHULUAN
            Mengapa bisnis memerlukan etika dalam rangka kiprah bisnis dengan masyarakat secara luas? Pertanyaan ini jelas terkait dengan fungsi dan peranan yang akan dilakukan. Apalagi kita mengetahui bahwa bisnis membutuhkan masyarakat dan masyarakat membutuhkan bisnis. Atas dasar itulah kebutuhan bisnis dalam aspek kehidupannya tidak terlepas dengan eksistensi masyarakat dengan segala atribut dan simbol-simbol yang melekat pada masyarakat. Berkaitan dengan ini pertanyaannya menjadi lebih luas, yaitu mengapa bisnis yang membutuhkan masyarakat dan dibutuhkan masyarakat itu harus menggunakan etika dalam operasionalisasinya? Setidaknya ada tiga alasan yang dapat memberikan argumentasi atas pertanyaan ini, yaitu:
1. Bisnis tidak bebas nilai
            Pernyataan yang sering terlontar, bahwa bisnis adalah bisnis, seolah-olah merupakan filosofi bisnis yang telah diterima secara umum di masyarakat (terutama masyarakat di negara-negara sekuler). Pengertian statement bisnis adalah bisnis itu menyiratkan bahwa bisnis hanya bertumpu pada aspek komersial saja, dimana mekanisme memperoleh keuntungan ekonomi dari masyarakat dan cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan seolah bebas nilai, bebas norma dan bebas etika.
            Dalam ilmu marketing  disebutkan bahwa keberhasilan untuk memperoleh keuntungan komersial atau revenue dengan cara memberikan kepuasan terhadap pelanggan. Demikian juga di dalam ilmu pengelolaan sumber daya manusia atau personalia, jelas-jelas mengantarkan pemahaman bahwa reward yang layak dan adil sesuai dengan kontribusinya yang diberikan oleh manajer atau pemilik kepada human resources akan menjamin usaha peningkatan produktivitas perusahaan dan loyalitas karyawan terhadap perusahaan. Jika bisnis dalam melakukan aktivitas bisnisnya senantiasa berorientasi pada kesejahteraan stakeholders-nya, maka dapat dipastikan bahwa perusahaan akan hidup dalam jangka panjang, jika dilihat dari pihak-pihak yang dijadikan patrner bisnis, yakni masyarakat dan sumber-sumber ekonomi dan para pemiliknya, maka siapapun (tak terkecuali institut bisnis) yang berhubungan dan berinteraksi dengan masyarakat, tentu didalam menjalankan kegiatan bisnis ini tidak lepas dari nilai sosial, moral, dan etika yang dibutuhkan untuk mengatur harmoni perusahaan supaya tercipta hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan lingkungannya.
2. Aplikasi etika bisnis identik pengelolaan bisnis secara profesional
            Prinsip profesional dalam pengelolaan bisnis sebenarnya erat kaitannya dengan aplikasi etika bisnis. Seperti dijelaskan ruang lingkup etika bisnis meliputi keterkaitan yang harmonis, saling menguntungkan antar pihak di dalam stakeholder dan pihak-pihak eksternal lainnya. Pada hal ini merupakan tuntutan yanng harus dipenuhi jika perusahaan ingin tumbuh dan berkembang secara kontinyu dalam jangka waktu yang panjang. Dari kerangka pikiran seperti ini, tentu usaha-usaha ini identik dengan pengelolaan bisnis secara ulet, jitu, efisien, dan efektif bagi alokasi sumber daya ekonomi yang berasal dari luar perusahaan. Prinsip-prinsip alokasi sumber daya ekonomi ini tentu dilakukan dengan proses manajemen yang canggih dengan dasar keserasian hubungan antara pihak terkait. Oleh karena itu keberhasilan perusahaan sebenarnya sangat didukung kuat oleh aplikasi konsep etika bisnis secara konsisten. Dengan kata lain aplikasi etika bisnis merupakan kata kunci bagi keberhasilan pengelolaan bisnis. dengan demikian pengelolaan bisnis harus mempunyai komitmen yang tinggi atas aplikasi etika dalam bisnis.
3. Bisnis merupakan bagian dari sistem sosial
            Kedudukan bisnis di dalam masyarakat bahwa bisnis harus dapat menempatkan diri sebagai sub sistem di dalam masyarakat. Artinya, eksistensi bisnis memang diakui keberadaannya. Yakni bahwa bisnis membutuhkan masyarakat dan masyaakat membutuhkan keberadaan bisnis. keduanya saling dibutuhkan dan diperlukan. Perusahaan melihat masyarakat sebagai sumber potensi yang dapat menghidupi perusahaan. Sebaliknya perusahaan juga harus menempatkan diri sebagai institusi yang eksistensinya memang dibutuhkan oleh masyarakat. Disini nampak bahwa antara bisnis dan sosial saling terikat, tergantung dan saling menentukan eksistensi masing-masing.[1]
            Islam telah secara jelas menganjurkan kepada umat manusia untuk berusaha mencari rizki di muka bumi ini sebagai bekal hidupnya di dunia dalam rangka melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Segala sumber daya yang tersedia di dunia terdiri atas tanah dengan segala kandungan yang ada di dalamnya, air, matahari dll. Semuanya di ciptakan Allah untuk digunakan dan dikelola serta dimnafaatkan oleh manusia sebagai bekal hidupnya supaya manusia hidup sejahtera lahir batin. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
QS. Al-Jumu’ah:62:10
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ  
Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.[2]
Kemudian diperkuat dengan hadis nabi:
Hadis riwayat Thabrani:
“Sesungguhnya allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berusaha, maka hendaklah kalian berusaha”.
Umar bin Khattab pernah berkata:
“Janganlah sekali-kali diantara kalian ada orang yang duduk-duduk enggan mencari rizki dan hanya berdo’a: “Ya allah limpahkanlah rizki kepadaku, padahal dia tahu bahwa langit tidak menurunkan emas dan perak”.
            Berbisnis dalam arti berusaha mencari rizki dengan menjalankan fungsi-fungsi bisnis pada akhirnya bertujuan untuk beribadah dan mencari ridho Allah. Hal ini sesuai dengan tugas dan peran manusia dilahirkan di muka bumi untuk mengemban amanah Allah. Berusaha dalam arti khusus, berbisnis merupakan salah satu bagian dari keseluruhan upaya manusia untuk menjalankan tugas hidupnya selama di dunia yang diproyeksikan ke kehidupan yang berdimensi jangka panjang di akhirat dengan segala konsekuensinya.[3]













BAB II
KAJIAN TEORI
A. Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Dalam Islam
1.      Jujur dalam takaran (quantity).
 Jujur dalam takaran ini sangat penting untuk diperhatikan karena Tuhan sendiri secara gamblang mengatakan : “Celakalah bagi orang yang curang. Apabila mereka menyukat dari orang lain (untuk dirinya), dipenuhkannya (sukatannya). Tetapi apabila mereka menyukat (untuk orang lain) atau menimbang (untuk orang lain), dikuranginya”.
Masalah kejujuran tidak hanya merupakan kunci sukses seorang pelaku bisnis menurut Islam. Tetapi etika bisnis modern juga sangat menekankan pada prinsip kejujuran. William C. Byham mengatakan Business ethics build trust, and trust is the basic of modern business. If we accept the view, arqued for earlier, that there are not two moralities one for individualis and one for business but a common moral framework for judging both individual and corporate activities, then we can gain some guidance for business behavior by looking at what philosophers have seen as the morally good life”
Makna pernyataan Byham diatas bahwa etika bisnis membangun kepercayaan dan kepercayaan adalah dasar dari pada bisnis modern. Jika kita menerima pandangan tersebut bahwa tidak ada dua moralitas yaitu untuk individu dan untuk bisnis, melainkan suatu kerangka moral umum yang berlaku baik bagi aktivitas individual maupun kelompok. Dengan demikian, kita bisa memperoleh petunjuk untuk perilaku bisnis dengan melihat sesuatu yang oleh para filosof dipandang sebagai kehidupan yang bahagia secara moral.
2.      Menjual barang yang baik mutunya (quality).
Salah satu cacat etis dalam perdagangan adalah tidak transparan dalam hal mutu, yang berarti mengabaikan tanggung jawab moral dalam dunia bisnis. Padahal tanggung jawab yang diharapkan adalah tanggung jawab yang berkeseimbangan (balance) antara memperoleh keuntungan (profit) dan memenuhi norma-norma dasar masyarakat baik berupa hukum, maupun etika dan adat.
Menyembunyikan mutu sama halnya dengan berbuat curang dan bohong. Bukankah kebohongan itu akan menyebabkan ketidaktentraman, sebaliknya kejujuran akan melahirkan ketenangan, sebagaimana penjelasan Rasulullah saw. Dalam sabdanya yang diriwayatkan al-Turmudhi dari Abu Musa al-Ansariy dari Abd Allah ibn Idris dari Shu’bah dari Burayd ibn Abi Maryam dari Abi al-Hawra al-Sa’diy dari al-Hasan ibn Aliy yang mengatakan : Aku hafal dari apa yang diucapkan Rasulallah saw.
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu. Karena sesungguhnya kejujuran (berkata benar) itu adalah membawa ketenangan dan kebohongan (berkata bohong) itu akan melahirkan kegelisahan” (HR. al-Turmudhi)”
3.      Dilarang menggunakan sumpah (al-qasm).
 Seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dikalangan para pedagang kelas bawah apa yang dikenal dengan obral sumpah. Mereka terlalu mudah menggunakan sumpah dengan maksud untuk meyakinkan pembeli bahwa barang dagangannya benar-benar berkualitas dengan harapan agar orang terdorong untuk membelinya. Dalam islam perbuatan semacam itu tidak dibenarkan karena juga akan menghilangkan keberkahan sebagaimana sabda Rasulallah saw. :
Dari Abu Hurairah r.a, saya mendengar Rasulallah saw. Bersabda : “Sumpah itu melariskan dagangan, tetapi menghapuskan keberkahan (HR. Abu Dawud).


4.      Longgar dan bermurah hati (tatsamuh dan taraahum).
Dalam transaksi terjadi kontak antara penjual dan pembeli. Dalam hal ini seorang penjual diharapkan bersikap ramah dan bermurah hati kepada setiap pembeli. Dengan sikap ini seorang penjual akan mendapat berkah dalam penjualan dan akan diminati oleh pembeli. Kunci suksesnya adalah satu yaitu servis kepada orang lain. Sebuah hadist riwayat al-Turmudhi dari Ikrimah ibn Ammar dari Abu Zumayl dari Malik ibn Marthad dari bapaknya, dari Abi Dharr, yang berbunyi :
Rasulallah saw bersabda : “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah bagimu” (HR al-Turmudhi).
5.      Membangun hubungan baik (interrelationship/ silat ar-rahym) antar kolega.
Islam menekankan hubungan konstruktif dengan siapa pun, inklud antar sesama pelaku dalam bisnis. Islam tidak menghendaki dominasi pelaku yang satu diatas yang lain, baik dalam bentuk monopoli, oligopoly maupun bentuk-bentuk lain yang tidak mencerminkan sikap keadilan atau pemerataan pendapatan. Dalam kaitan dengan hubungan pribadi antar pelaku bisnis ini, Diana Rowland mengemukakan cara berfikir menurut orang Jepang bahwa bisnis lebih merupakan suatu komitmen daripada sekedar transaksi. Karenanya, hubungan pribadi dianggap sangat penting dalam mengembangkan ikatan perasaan dan kemanusiaan dan perlu diyakini secara timbal balik bahwa hubungan bisnis tidak akan berakhir segera setelah hubungan bisnis selesei. Ini sangat bertentangan dengan apa yang sering dilakukan menurut cara berfikir orang Barat. Hubungan bisnis yang didasarkan pada keuntungan secara pribadi bukanlah merupakan cara orang Jepang.
Dengan demikian, dengan memahami filosofi bisnis orang Jepang bahwasanya yang penting antara penjual dan pembeli tidak hanya mengejar keuntungan materi semata, namun dibalik itu ada nilai kebersamaan untuk saling menjaga jalinan kerjasana yang terbangun lewat silaturrahim. Dengan silaturrahim itulah menurut ajaran Islam akan diraih hikmah yang dijanjikan yakni akan diluaskan rezeki dan dipanjangkan umurnya bagi siapapun yang melakukannya. Sebagaimana sabda Rasulallah saw, yang diriwayatkan oleh al-Bukhori.
“Bahwasannya Rasulallah saw. Bersabda : barang siapa mengharapkan dimudahkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menjalin hubungan silaturrahim (HR . al-Bukhari).
6.      Tertib Administrasi
Dalam dunia perdagangan wajar terjadi praktik pinjam meminjam. Dalam hubungan ini al-qur’an mengajarkan perlunya administrasi hutang piutang tersebut agar manusia terhindar dari kesalahan yang mungkin terjadi, sebagaimana firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَايَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا

Artinya : “Hai orang-orangyang beriman, kalau kalian berhutang piutang dengan janji yang ditetapkan waktunya, hendaklah kaliantuliskan. Dan seorang penulis diantara kalian, hendaklah menuliskannya dengan jujur. Janganlah penulis itu enggan menuliskannya, sebagaimana yang diajarkan Allah kepadanya. Hendaklah dituliskannya! orang yang berhutang itu hendaklah membacakannya, dan takutlah dia kepada Tuhannya dan janganlah mengurangkan hutangnya sedikitpun”.
7.      Menetapkan harga dengan transparan.
Harga yang tidak transparan bisa mengandung penipuan. Untuk itu menerapkan harga dengan terbuka dan wajar sangat dihormati dalam Islam agar tidak terjerumus dalam riba. Kendati dalam dunia bisnis kita tetap ingin memperoleh prestasi atau keuntungan, namun hak pembeli harus tetap dihormati. Dalam arti penjual harus bersikap toleran terhadap kepentingan pembeli, terlepas apakah ia sebagai konsumen tetap maupun bebas (insidentil). Bukankah sikap tolearnitu akan mendatangkan rahmat dari Alah SWT sebagai sabda Rasulullah saw. Dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Aliy ibn Ayyash dari Abu Ghassan Muhammad ibn Mutarrif,dari Muhamad ibn al-Munkadiri dari Jabir ibn Abd Allah radiy Allah’anhuma :
“Sesungguhnya Rasulallah saw. Bersabda : Allah telah member rahmat kepada seseorang yang bersikap toleran ketika membeli, menjual dan menagih janji (utang)” (HR. Al-Bukhari).
Untuk menjamin transparansi dan kewajaran harga, perlukah dibentuk suatu badan yang dapat menetapkan harga yang wajar terdiri dari wakil-wakil para produsen, konsumen, ahli pemerintah, dan ahli hukum Islam. Kiranya tawaran M.A Mannan itu tidak perlu dilakukan apabila semua pelaku bisnis bersikap jujur dan amanah dalam praktik berbagai traksaksi dalam aktivitas bisnis (perdagangan).[4]
B. Posisi dan Sasaran Aplikasi Etika Bisnis
·         Posisi Aplikasi Etika Bisnis
Agama memiliki hubungan erat dengan etika manusia. Setiap agama mengandung suatu ajaran etika yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Ajaran etika terkandung atura-aturan dalam suatu agama, meliputi dua macam peraturan. Pertama, aturan yang bersifat teknis, seperti tata cara makan, shalat, zakat. Kedua, aturan yang bersifat non-teknis lebih umum, seperi jangan berdusta, jangan berzina, perintah-perintah yang sifatnya umum.[5]
Dalam Islam, bisnis dan etika bukan merupakan dua bangunan yang terpisah, melainkan satu kesatuan struktur. Keterpaduan tersebut, Islam memberikan bangunan paradigma etika dalam berbisnis, yakni bisnis yang dibangun di atas nilai-nilai aksioma; kesatuan, kehendak bebas, pertanggung jawaban, kesetimpangan (keadilan), dan kebenaran (kebajikan) dan kejujuran.[6]
Dapat disimpulkan bahwa agama dan etika merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, dan dalam Islam etika didasarkan pada al-Qur’an dan Hadist yang merupakan pedoman bagi orang muslim. Berbicara tentang etika (akhlak) dalam Islam tentu saja tidak bisa lepas dari bagaimana posisi etika itu di dalam skema ajaran Islam secara menyeluruh (komprehensif).[7]
Situasi moral dalam dunia modern itu mengajak kita untuk mendalami studi etika. Rupanya studi etika itu merupakan salah satu cara yang memberi prospek untuk mengatasi kesulitan moral yang kita hadapi sekarang. Sudah pernah diketengahkan bahwa alasan-alasan yang kita punya untuk mendalami studi etika sangat mirip dengan situasi di yunani kuno sekitar pertengahan abad ke-5 SM.[8]
Dari skema diatas dapat dikatakan bahwa Allah SWT menurunkan wahyu berupa ajaran Al-Qur’an kepada Rasul-Nya agar disampaikan kepada manusia.
·         Sasaran Aplikasi Etika dalam Islam
Etika juga mempunyai sasaran dimana Etika (akhlak) tersebut harus dijalankan, aspek-aspek sasaran Etika (akhlak) yakni:
1.      Etika terhadap Allah SWT.
Etika terhadap Allah meliputi amal perbuatan yang dilakukan dengan cara berhubungan dengan Allah, melalui media-media yang telah disediakan Allah, seperti shalat, puasa dan haji.[9] Misalnya berbisnis (mencari kelebihan karunia Allah) dilakukan setelah melakukan shalat dan dalam pengertian tidak mengesampingkan dan tujuan keuntungan yang hakiki yaitu keuntungan yang dijanjikan Allah. Oleh karena itu, walaupun mendorong melakukan kerja keras termasuk dalam berbisnis, Al-Qur’an menggaris bawahi bahwa dorongan yang seharusnya lebih besar bagi dorongan bisnis adalah memperoleh apa yang berada disisi Allah.
2.      Etika terhadap sesama (manusia)
Sebagai makhluk sosial (homo socius), mustahil rasanya manusia lepas hubungannya dengan sesama. Di dalam lalu lintas saling memenuhi kebutuhan itulah dituntut saling menghargai dan saling menghormati yang merupakan bagian dari ajaran etika (akhlak) dalam islam. Tidak berbantahkan bahwa bisnis merupakan salah satu aktivitas kehidupan manusia dan bahkan telah merasuki semua sendi kehidupan modern. Pada fenomena ini mustahil orang terlepas dari pengaruh bisnis, dan sebagai konsekuensinya, masyarakat adalah konsumen yang menjadi sasaran para produsen di mana-mana. Oleh karena itu sangatlah logis jika dikatakan bahwa bisnis adalah bagian integral dari masyarakat dimana pun mereka berada dan akan mempengaruhi kehidupan mereka, baik secara positif maupun negatif.[10]
3.      Etika terhadap Lingkungan
Dalam perspektif etika lingkungan, manusia dituntut untuk meperlakukan alam tidak semata-mata dalam kaitannya untuk kepentingan dan kebaikan manusia. Etika ini seharusnya berorientasi untuk mengembangkan kesadaran bahwa pelestarian lingkungan juga untuk kepentingan seluruh makhuk, baik makhluk hidup maupun mati. Yang dimaksud adalah bagaimana kita bersikap terhadap alam, apa yang sebaiknya kita lakukan dan kita tinggakan, apa yang seharusnya dan tidak seharusnya kita lakukan terhadap makhluk lain seperti tumbuhan (flora), hewan (fauna), tanah, air, dan seterusnya.[11]
Sumber daya alam merupakan nikmat Allah SWT. Kepada makhluk-Nya. Seba itu manusia wajib mensyukurinya. Diantaranya bentuk syukur itu adalah menjaganya dari kerusakan, kehancuran, polusi, dan lain-lain yang tergolong sebagai bentuk kerusakan di Bumi.[12]
Sebagaimana firman Allah:
ÏMs9$s%ur ߊqåkuŽø9$# ßtƒ «!$# î's!qè=øótB 4 ôM¯=äî öNÍkÉ÷ƒr& (#qãYÏèä9ur $oÿÏ3 (#qä9$s% ¢ ö@t/ çn#ytƒ Èb$tGsÛqÝ¡ö6tB ß,ÏÿYムy#øx. âä!$t±o 4 žcyƒÍzs9ur #ZŽÏVx. Nåk÷]ÏiB !$¨B tAÌRé& y7øs9Î) `ÏB y7Îi/¢ $YZ»uøóèÛ #\øÿä.ur 4 $uZøŠs)ø9r&ur ãNæhuZ÷t/ nourºyyèø9$# uä!$ŸÒøót7ø9$#ur 4n<Î) ÏQöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 !$yJ¯=ä. (#rßs%÷rr& #Y$tR É>öysù=Ïj9 $ydr'xÿôÛr& ª!$# 4 tböqyèó¡tƒur Îû ÇÚöF{$# #YŠ$|¡sù 4 ª!$#ur Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÏÍÈ  
Artinya: Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan (QS. Al-Maidah:64)

#sŒÎ)ur 4¯<uqs? 4Ótëy Îû ÇÚöF{$# yÅ¡øÿãÏ9 $ygŠÏù y7Î=ôgãƒur y^öysø9$# Ÿ@ó¡¨Y9$#ur 3 ª!$#ur Ÿw =Ïtä yŠ$|¡xÿø9$# ÇËÉÎÈ   [13]
Artinya: “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”.
QS. Al-Baqarah:205)[14]
4.      Etika terhadap Diri Sendiri
Dalam pandangan islam, perlu tercipta adanya keseimbangan antara yang tertuju pada diri sendiri dan yang tertuju kepada pihak lain. Dengan demikian tidak ada salah satu pihak yang tidak mendapat perhatian (terabaikan). Akhlak terhadap diri sendiri bisa dimaknai memberikan hak kepada jiwa (psikis) dan raga (fisis) kita yang harus dilindungi dan dilindungi secara wajar. Bukankah semua organ manusia itu mempunyai hak bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing. Akan tetapi, setiap organ itu harus melakukan fungsinya secara wajar, tanpa harus difungsikan diluar kapasitas yang layak dan terukur. Fisik manusia yang setiap harinya digunakan untuk aktivitas bisnis tetap mempunyai hak untuk istirahat secukupnya. Merupakan kedzaliman apabila mausia mempekerjakan fisiknya sendiri diluar batas kapasitas kewajaran.[15]
            Berbicara mengenai etika dunia usaha atau etika bisnis dalam pembangunan, tidak terkepas dari pembahasan mengenai perilaku stakeholder-nya, yaitu pelaku ekonomi dan bisnis, pemerintah dan masyarakat dengan nilai-nilai dalam dunia usaha, keanekaragaman, serta kelembagaannya. Ketiga hal inilah , dikaitkan dengan upaya-upaya pembangunan nasional.
            Kegiatan bisnis yang makin merebak baik didalam maupun diluar negeri, telah menimbulka tantangan baru, yaitu adanya tuntutan praktik bisnis yang baik, etis, juga menjadi tuntutan kehidupan  bisnis di banyak negara di dunia. Transparansi yang dituntut oleh ekonomi global menuntut pula praktik bisnis yang etis. Dalam ekonomi pasar global, kita hanya bisa survive kalau mau bersaing.[16]



C. Urgensi dan Manfaat Etika Bisnis
·        Urgensi Etika Bisnis
            Pertama, aspek teologis, bahwasanya etika dalam islam (akhlak) merupakan ajaran Tuhan yang diwahyukan kepada Rasulullah saw. Baik dalam bentuk al-Qur’an maupun Sunnah. Secara normatif, Tuhan telah menyinggung masalah akhlak dalam surat al-Qalam ayat 4. Namun,  secara praktis Tuhan telah mengajarkan bagaimanakah sejatinya berbisnis yang etis melalui praktik bisnis Rasulullah saw. (uswah prophetic) selama kurang lebih 25 tahun lamanya.
            Kedua, aspek watak (character) manusia yang cenderung mendahulukan keinginan (will) daripada kebutuhannya (need). Bukankah watak dasar manusia itu secara universal adalah bersifat serakah (tamak) dan cenderung mendahulukan keinginannya yang tidak terbatas dan tidak terukur daripada sekadar memenuhi kebutuhannya yang terbatas dan terukur. Dengan watak semacam itu tentu saja manusia membutuhkan pencerahan agar mereka sadar bahwasanya dalam hidup ini yang paling pokok adalah memenuhi kebutuhan yang mendasar.
            Ketiga, aspek sosiologis (reality). Dalam realitas sebagai akibat dari watak dasar atau perilaku manusia yang cenderung amoral, pada akhirnya akan melahirkan kontes persaingan yang tidak sehat dan semakin keras dalam dunia global. Selain juga dapat melahirkan praktik monopoli yang melanggar hak asasi manusia untuk memberi kesempatan orang lain melakukan bisnis yang sama. Dengan kenyataan ini sudah selayaknya perlu adanya ajaran etika dalam dunia bisnis agar para pelaku bisnis memahami dan menyadari wilayah yang sah dan yang tidak boleh dilanggar.
            Keempat, perkembangan teknologi (technology) yang semakin pesat. Perkembangan teknologi dengan berbagai ragamnya di satu sisi banyak mendatangkan nilai positif yang semakin mempermudah dan mempercepat pemenuhan kebutuhan manusia. Namun, di sisi lain dampak negatifnya pasti akan terjadi. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya praktik penyimpangan etika tersebut di era kecanggihan teknologi kehadiran etika bisnis sangatlah signifikan sekali.
            Kelima, aspek akademis (science-academic). Bertolak dari keempat aspek sebagaimana diatas, maka sudah selayaknya apabila etika bisnis dijadikan mata kajian akademis baik masa kini maupun yang akan datang. Kajian akademik secara mendalam dan berkesinambungan (suistanability) dari kalangan akademisi sangatlah diharapkan agar mereka dapat selalu menghasilkan teori-teori mutakhir berdasarkan atas kajian literer dan atau penelitian lapangan (field research) untuk kemudian dapat dijadikan acuan dalam konteks realitas.[17]
·        Manfaat Etika Bisnis
            Adapun manfaat etika adalah (1) dapat mendorong dan mengajak orang untuk bersikap kritis dan rasional dalam mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri, yang dapat dipertanggungjawabkannya (otonom); (2) dapat mengarahkan masyarakat untuk berkembang menjadi masyarakat yang tertib, teratur, damai, dan sejahtera dengan menaati norma-norma yang berlaku demi mencapai ketertiban dan kesejahteraan sosial.[18]







BAB III
PEMBAHASAN
A.    Membangun Bisnis Berbasis Etika di Tengah Persaingan MEA
            Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN dalam artian adanya sistem perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN. Indonesia dengan sembilan negara anggota ASEAN telah menyepakati perjanjian Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau ASEAN Economic Community. Para pemimpin ASEAN memutuskan untuk  mengubah ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur dan sangat kompetitif dengan perkembangan ekonomi yang adil, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi hal tersebut merupakan  ASEAN vision 2020. Kemudian para pemimpin Asean setuju untuk percepatan pembentukan komunitas ekonomi ASEAN menjadi pada tahun 2015. Komunitas ekonomi ASEAN  pada tahun 2015 untuk mengubah ASEAN menjadi daerah perdagangan bebas barang dan jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan aliran modal yang lebih bebas.
Masyarakat Ekonomi ASEAN akan membentuk pasar dan basis produksi tunggal, membentuk kawasan berdaya saing tinggi, menjadikan kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata dan juga integrasi dengan perekonomian dunia. Dengan adanya pasar bebas di kawasan ASEAN menjadikan persaingan yang semakin ketat, kemajuan teknologi yang cepat dan juga pasar semakin demanding dan dinamis.
Masyarakat Ekonomi ASEAN yang sudah mulai dekat membutuhkan persiapan yang lebih bagi Indonesia agar dapat menghadapi MEA 2015 dengan baik. Persiapan-persiapan perlu dilakukan oleh Indonesia menghadapi MEA 2015. Persaingan yang ketat antar negara di Asia Tenggara ini menjadikan setiap negara harus bersaing aktif. Namun dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN juga  merupakan peluang dan tantangan bagi Indonesia untuk mengembangkan perekonomian Indonesia. Dan untuk dapat mengembangkan perekonomian Indonesia harus menjadi subyek dalam MEA dan bukannya obyek MEA 2015.[19]
Prinsip dasar perdagangan menurut Islam adalah adanya unsur kebebasan dalam melakukan transaksi tukar-menukar, tetapi kegiatan tersebut tetap disertai dengan harapan diperolehnya keridhaan Allah Swt. dan melarang terjadinya pemaksaan. Setiap kegiatan umat Islam dalam kehidupan baik secara vertikal maupun horizontal, telah diatur dengan ketentuan-ketentuan agar sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah. Hal yang mendasari setiap perbuatan itu dilandaskan pada sumber-sumber hukum yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits.
Perdagangan menurut aturan Islam, menjelaskan berbagai etika yang harus dilakukan oleh para pedagang muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan menggunakan dan mematuhi etika perdagangan Islam tersebut, suatu usaha perdagangan dan seorang muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapatkan berkah Allah SWT.
Etika perdagangan Islam menjamin baik pedagang maupun pembeli, masing-masing akan saling mendapat keuntungan. Adapun etika pedagang muslim tersebut antara lain:
1.      Shidiq (Jujur)
2.      Amanah (Tanggung jawab)
3.      Tidak menipu
4.      Menepati janji
5.      Murah hati
6.      Tidak melupakan akhirat
Sejarah telah mencatat, bahwa dengan berpedoman kepada etika perdagangan Islam sebagaimana tersebut di atas, maka para pedagang Arab Islam waktu dulu mampu mengalami masa kejayaannya, sehingga mereka dapat terkenal di hampir seluruh penjuru dunia.
B.     Larangan Praktik Monopoli dalam Islam
            Ikhtikar (الاحتكار ) artinya zalim (aniaya) dan merusak pergaulan (اساءالمعاشرة), upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga barang penimbunan barang adalah salah satu perkara dalam perdagangan yang diharamkan oleh agama karena bisa membawa madhorot. Para ulama mengemukakan arti atau definisi ihtikar (menimbun) berbeda-beda sepertinya halnya yang diterangkan dibawah ini Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani mendefinisikan : Penimbunan atau penahan barang dagangan dari peredarannya. Imam Al-Ghazali mendefinisikan :Penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjak.
          Ulama madzhab maliki mendefinisikan : Penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan segala barang yang merusak pasar. Ulama Malikiyah mendefinisikan monopoli (ihtikar) dengan: “Penyimpanan barang oleh produsen: baik makanan, pakaian, dan barang yang boleh merusak pasar.[20]
Monopoli atau ihtikar  artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan (1). Menurut Adimarwan "Monopoli secara harfiah berarti di pasar hanya ada satu penjual" (2). Berdasarkan hadist :
عَنْ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Dari Sa'id bin Musayyab ia meriwayatkan: Bahwa Ma'mar, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa'," (HR Muslim (1605). jelas monopoli seperti ini dilarang dan hukumnya adalah haram, karena perbuatan demikian didorong oleh nafsu serakah, loba dan tamak, serta mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang banyak. Selain itu juga menunjukan bahwa pelakunya mempunyai moral dan mental yang rendah.[21]
Monopoli (1htikar) adalah mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi. Abu Hurairah r.a meriwayatkan hadis Rasulullah Saw. sebagai berikut:
"Barangsiapa yang melakukan ihtikar untuk merusak harga pasar sehingga harga naik secara tajam, maka is berdosa." (Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad)
Dasar Hukum
Para ulama fiqh yang tidak membolehkannya adalah hasil induksi dari nilai-nilai universal yang dikandung al-Qur'an yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk di dalamnya monopoli (ihtikar), diharamkan.
Dalam Surat an-nisa’ (4): 29
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,  janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan  jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.[22]






BAB IV
ANALISIS KASUS MONOPOLI
Studi Kasus pada PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero)
v  Studi Kasus
            Krisis listrik memuncak saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan Minggu, sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan bagi industri yang melanggar. Dengan alasan klasik, PLN berdalih pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di sistem kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa untuk pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan PLTGU Muara Karang.
Dikarenakan PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik masyarakat sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana contoh diatas. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
v  Analisis Kasus
1.      Analisis dari Segi Teori Etika Bisnis
a.      Monopoli PT. PLN ditinjau dari teori etika deontologi
Konsep teori etika deontologi ini mengemukakan bahwa kewajiban manusia untuk bertindak secara baik, suatu tindakan itu bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri dan harus bernilai moral karena berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang baik dari pelaku.
Dalam kasus ini, PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) sesungguhnya mempunyai tujuan yang baik, yaitu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Akan tetapi tidak diikuti dengan perbuatan atau tindakan yang baik, karena PT. PLN belum mampu memenuhi kebutuhan listrik secara adil dan merata. Jadi menurut teori etika deontologi tidak etis dalam kegiatan usahanya.
b.      Monopoli PT. PLN ditinjau dari teori etika teleologi
Berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang akan dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Dalam kasus ini, monopoli di PT. PLN terbentuk secara tidak langsung dipengaruhi oleh Pasal 33 UUD 1945, dimana pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara untuk kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka PT. PLN dinilai etis bila ditinjau dari teori etika teleologi.
c.       Monopoli PT. PLN ditinjau dari teori etika utilitarianisme
Etika utilitarianisme adalah teori etika yang menilai suatu tindakan itu etis apabila bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang. Tindakan PT. PLN bila ditinjau dari teori etika utilitarianisme dinilai tidak etis, karena mereka melakukan monopoli. Sehingga kebutuhan masyarakat akan listrik sangat bergantung pada PT. PLN.



2.      Analisis dari Segi Prinsip, Posisi & Sasaran dan Urgensi & Manfaat Etika Bisnis
a.      Prinsip Etika Bisnis
Dalam kasus pelanggaran yang dilakukan PT. PLN telah melanggar Prinsip Membangun hubungan baik (interrelationship/ silat ar-rahym) antar kolega. Dalam prinsip ini Islam sangat menekankan hubungan konstruktif dengan siapa pun, inklud antar sesama pelaku dalam bisnis. Islam tidak menghendaki dominasi pelaku yang satu diatas yang lain, baik dalam bentuk monopoli, oligopoly maupun bentuk-bentuk lain yang tidak mencerminkan sikap keadilan atau pemerataan pendapatan. Jadi menurut prinsip membangun hubungan baik (interrelationship/ silat ar-rahym) antar kolega PT. PLN tidak etis dalam kegiatan usahanya.
b.      Posisi dan Sasaran Etika Bisnis
Dalam kasus pelanggaran monopoli yang dilakukan PT. PLN, disini posisi PT. PLN adalah sebagai pelaku pelanggaran, dan masyarakat sebagai stakeholder, yang menjadi sasaran dari tindakan pelanggaran tersebut. Dikarenakan kebutuhan listrik masyarakat sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak, Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi. Dalam hal ini PT. PLN dikatakan tidak etis.
c.       Urgensi dan Manfaat Etika Bisnis
Dalam hal urgensi dan manfaat, PT. PLN merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberikan mandat untuk menyediakan kebutuhan listrik di Indonesia. Seharusnya sudah menjadi kewajiban bagi PT. PLN untuk memenuhi itu semua, namun pada kenyataannya masih banyak kasus dimana mereka merugikan masyarakat. Jadi PT. PLN dalam hal ini tidak etis.
BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dengan munculnya MEA, seluruh masyarakat se-Asia akan membaur jadi satu. Dan secara otomatis permasalahan pun menjadi lebih kompleks, khususnya pada bidang bisnis. untuk itu kehadiran Etika sangat berpengaruh signifikan dalam upaya pembangunan sebuah bisnis di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat.
Masuknya MEA ke Indonesia akan menyebakan meningkatnya daya saing, karena tidak hanya competitor lokal saja, namun para pelaku bisnis juga akan berhadapan dengan competitor negara-negara lain yang termasuk dalam ASEAN yang masing-masing mempunyai kemampuan unggul dalam mengelola bisnis. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka melakukan kecurangan dalam upaya memperoleh keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan beberapa aspek yang dapat merugikan berbagai pihak. Seperti monopoli, oligopoly, dan kecurangan-kecurangan bisnis lainnya yang dilarang oleh agama. Maka dalam hal ini peran etika sangatlah penting, agar para pelaku bisnis bisa mengelola bisnisnya berdasarkan etika yang sesuai dengan syari’at islam.
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah melakukan tindakan monopoli, yang menyebabkan kerugian pada masyarakat. Tindakan PT. PLN ini telah melanggar Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Tindakan seperti itu juga telah dijelaskan secara gamblang dalam al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 29, bahwa kegiatan monopoli adalah sangat dilarang karena akan mengakibatkan kerugian (kedzaliman) bagi beberapa pihak.


B.     Saran
1.      Untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat secara adil dan merata, ada baiknya Pemerintah membuka kesempatan bagi investor untuk mengembangkan usaha di bidang listrik. Akan tetapi Pemerintah harus tetap mengontrol dan memberikan batasan bagi investor tersebut, sehingga tidak terjadi penyimpangan yang merugikan masyarakat. Atau Pemerintah dapat memperbaiki kinerja PT. PLN saat ini, sehingga menjadi lebih baik demi tercapainya kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat banyak sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33.
2.      Bagi pelaku bisnis, hendaknya mengelola bisnisnya secara etis, agar terjadi keseimbangan antara keuntungan yang diperoleh dengan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Akibatnya kedua belah pihak akan saling menguntungkan sesuai dengan apa yang diajarkan dalam islam.












DAFTAR PUSTAKA
Muslich. 1998. Etika Bisnis:Pendekatan Substantif dan Fungsional. Yogyakarta: Ekonosia.
Arijanto, Agus. 2011. Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Abdullah, M. Yatimin. 2006. Pengantar Studi Etika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
K. Bertens. 2002. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sauri, Sofyan. 2004. Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam. Bandung: Alfabeta.
Djakfar, Muhammad. 2007. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Malang: UIN Press.
Djakfar, Muhammad. 2008. Etika Bisnis Islami : Tataran Teoritis dan Praktis. Malang: UIN Press.
Djakfar, Muhammad. 2009. Anatomi Perilaku Bisnis Dialektika Etika dengan Realitas. Malang: UIN Press.
Djakfar, Muhammad. 2012. Etika Bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi . Jakarta: Penebar Plus.
Rindjin, Ketut. 2003. Etika Bisnis dan Implementasinya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Qardhawi, yusuf. 1995. Peran dan Nilai Moral dalam Perekonomian Islam Jakarta: Robbani Press.
Anas, Muhammad. 2008. Penerapan Etika Bisnis dalam Konteks Produsen dan Konsumen: Ke Arah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Millah Vol. VIII, No.1
Basyarahil, H. A. Aziz Salim. 22 Masalah Agama. Jakarta: Gema Insani Press.
Adiwarman, Karim.  Ekonomi mikro islami. PT Raja Grafindo: Jakarta.
Alwafi, Rafdy. 2015. Menghadapi MEA 2015 Menjadi Pemain Utama atau Partisipan, File://D:/baru/daya/saing/menghadapi-mea-menjadi-pemain utama-atau-partisipan/htm. Diakses 26 Maret 2016.








[1] Muslich, Etika Bisnis:Pendekatan Substantif dan Fungsional (Yogyakarta: Ekonosia, 1998)hal. 23-25
[2] QS. Al-Jumu’ah:10
[3] Op.cit. hal. 83-84
[4] Muhammad Djakfar, Etika bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi (Jakarta: Penebar Plus, 2012) hal. 34-41
[5] M.Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) hal. 618
[6] Muhammad Anas, Penerapan Etika Bisnis dalam Konteks Produsen dan Konsumen: Ke Arah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, 2008, Millah Vol. VIII, No.1
[7] Muhammad Djakfar, Anatomi Perilaku Bisnis Dialektika Etika dengan Realitas. Malang: UIN Press, 2009)
[8] Bertens K.,. Etika ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002)
[9] Sofyan Sauri,  Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam (Bandung: Alfabeta, 2004) hal.117
[10] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam (Malang: UIN Press, 2007) hal.107
[11] Djakfar, Muhammad. 2012. Etika Bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi . Jakarta: Penebar Plus.hal.204
[12] Qardhawi, yusuf. 1995. Peran dan Nilai Moral dalam Perekonomian Islam Jakarta: Robbani Press.hal.173
[13] QS. Al-Maidah:64
[14] QS. Al-Baqarah:205
[15] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis Islami : Tataran Teoritis dan Praktis (Malang: UIN Press, 2008) hal. 29
[16] Agus Arijanto, Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011) hal. 111
[17] Muhammad Djakfar, Etika bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi (Jakarta: Penebar Plus, 2012) hal. 31-33
[18] Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003) hal. 18-19
[19] Rafdy Alwafi, Menghadapi MEA 2015 Menjadi Pemain Utama atau Partisipan, File://D:/baru/daya/saing/menghadapi-mea-menjadi-pemain utama-atau-partisipan/htm, 2015, Diakses 26 Maret 2016.

[20] H. A. Aziz Salim Basyarahil, 22 Masalah Agama (Jakarta: Gema Insani Press, Tanpa Tahun) hal. 56
[21] Karim Adiwarman,  Ekonomi mikro islami (PT Raja Grafindo: Jakarta)
[22] QS. An-Nisa’ : 29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar