Pages

Kamis, 30 Maret 2017

PPH pasal 26



Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26
2.1  Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26
Menurut hukum Indonesia, Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26) adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Dalam ketentuan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, terdapat empat jenis PPh Pasal 26 yaitu PPh Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 26 ayat (2a) dan Pasal 26 ayat (4). Masing-masing jenis PPh Pasal 26 ini memiliki ruang lingkupnya sendiri.
PPh Pasal 26 ayat (1) adalah PPh Pasal 26 pada umumnya yaitu pemotongan PPh terhadap Wajib Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Bentuk penghasilan yang dipotong pada umumnya sama dengan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Bedanya, penerima penghasilan PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri.
1.      PPh Pasal 26 Premi Asuransi (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))
2.      PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Saham (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))
3.      PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Harta (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))
4.      PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Saham Antara (berdasarkan Pasal 26 ayat (2a))
5.      PPh Pasal 26 Penghasilan Kena Pajak BUT (berdasarkan Pasal 26 ayat (4))
Sedangkan yang menentukan seorang individu atau perusahaan sebagai wajib pajak luar negeri, adalah:
1.      Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
2.      Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.

2.2  Pemotong PPh Pasal 26
Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 ayat (1)  adalah :
1.      Badan Pemerintah
Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya.
2.      Subjek Pajak Badan dalam negeri
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia.Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.
Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 adalah  sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
3.      Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan.Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain.
4.      Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri
5.      Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh Pasal 23.Contohnya adalah RepresentativeOffice (RO) dari perusahaan-perusahaan asing.
2.3  Subjek Pajak PPh Pasal 26
Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia tanpa perlu melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa dividen dari PT Indosat.
Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir sama dengan Wajib Pajak dalam negeri melalui sistem self assessment pelaporan SPT Tahunan.
2.4  Objek Pajak PPh Pasal 26
Jenis-jenis penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah :
  1. dividen;
  2. bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
  3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan hartai;
  4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
  5. hadiah dan penghargaan;
  6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
  7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
  8. keuntungan karena pembebasan utang
2.5  Tarif dan Dasar Pengenaan
Tarif 20% yang dikenakan dari dasar pengenaan pajak, dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Tarif 20% dari penghasilan bruto
    1. dividen;
    2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
    3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
    4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
    5. hadiah dan penghargaan
    6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
    7. Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau
    8. Keuntungan karena pembebasan utang.
2.      Tarif 20% dari penghasilan netto
    1. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
    2. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia.
3.      Tarif 20% dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi pajak penghasilan
20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan. Tarif PPh Pasal 26 (bersifat final) adalah tarif tunggal 20% dengan dasar pengenaan pajak nya adalah jumlah bruto yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri. Pengenaan PPh Pasal 26 juga tergantung kepada perjanjian perpajakan (P3B) dengan negara lain. Biasanya dalam P3B ditentukan tarif yang lebih rendah untuk pemotongan PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti dan/atau penghasilan lainnya.Apabila ada P3B, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan P3B bukan ketentuan domestik berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia. Badan usaha apa pun di Indonesia yang melakukan transaksi pembayaran (gaji, bunga, dividen, royalti dan sejenisnya) kepada Wajib Pajak Luar Negeri, diwajibkan untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 26 atas transaksi tersebut. Tarif umum untuk PPh pasal 26 adalah 20%. Namun jika mengikuti tax treaty/ Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka tarif dapat berubah. 
Bila perusahaan (pemberi kerja) di Indonesia membayar atau terutang kepada WP orang pribadi luar negeri selian BUT imablan atas pekerjaan (bebas jasa atau tidak) yang dilakukannya, maka atas pembayaran atau terutangnya imbalan tersebut kemungkinan dikenai pph 26 atau tidak dikenai pph 26. Untuk memastikannya, harus dipertanyakan dahulu wp orang pribadi luar negeri selian BUT tersebut berdmisili atau menjadi resident fiscal di negara mana? Dalam praktek kepastian domisili sesorang atau suatu badan harus berdasarkan surat keterangan domisili (certificate of domicile) dari otoritas pajak di negara yang bersahnhgkautan. Apakah negara tersebut mengadakan perjanjian perpajkan dengan Indonesia atau belum. Kalau belum, maka langsung dihitung pph pasal 26 dengan rumus berikut:
Rumus: PPh pasal 26 = Penghasilan bruto tanpa PPN x 20%
2.6  Saat Terutang, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 26
PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu.
  1. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
    1. lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
    2. lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
    3. lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
  2. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
  3. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
          Pengecualian
  1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
    1. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
    2. dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
    3. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurangkurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil.
  2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
2.7  Penghitungan PPh Pasal 26
1.      DPP Penghasilan Bruto
Rumus :
PPh pasal 26 = 20% x penghasilan bruto
Sesuai peraturan pemerintah Nomor 1 Tahun 2007, pengenaan pajak penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri sebesar 10%, atau tarif yang lebih rendah menurut penghindaran pajak berganda yang berlaku dalam hal terdapat penanaman modal dibidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu.
Contoh 1:
Coca cola Indonesia membayarkan Royalti kepada PT. Coca cola yang ada di USA atas licency yang diberikan sebesar Rp 1.000.000.000. Berapa PPh dipotong atas royalty tersebut?
Jawab:
PPh Pasal 26 yang dipotong : 20% x 1.000.000.000 = Rp 200.000.000 
Contoh 2:
Jane adalah atelit dari Singapura, dalam bulan mei 2007 mengikuti perlombaan maarton di Indonesia, dan merebut hadiah uang sebesar US$ 20.000. Kurs untuk US$ 1 pada saat itu adalah Rp. 8.500. berapa PPh pasal 26 yang di potong oleh penyelenggara kegiatan di Indonesia?
Jawab:
20% x US$ 20.000 x Rp. 8.500 = Rp. 34.000.000
2.      DPP Penghasilan Netto
Rumus:
PPh pasal 26 = 20% x Penghasilan netto
Penghasilan netto = perkiraan pengahasilan netto x penghasilan bruto
Penghitungan tersebut diterapkan untuk:
a.       Pengahsilan dari penjualan harta di Indonesia
b.      Premi asuransi dan reasuransi yang dibayaka kepada perusahaan asuransi luar negeri.



Besarnya perkiraan di hitung berdasarkan kondisi sebagai berikut:
·         Untuk premi yang dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di Luar negeri baik secara langsung, maupun melalui pialang, besarnya perkiraan penghasilan netto adalah 50% dari jumlah premi yang dibayar (pengahsilan bruto), sehingga
PPh pasal 26          = 20% x penghasilan netto
= 20% x (50% x penghasilan bruto)
= 10% x penghasilan bruto
= 10% x jumlah premi yang dibayar
·         Untuk premi yang dibayar perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri secara langsung maupun melalui pialang adalah 10% dari jumlah premi yang dibayar (penghasilan bruto), sehingga:
PPh pasal 26          = 20% x penghasilan netto
= 20% x (10% x penghasilan bruto)
= 2% x penghasilan bruto
= 2% x jumlah premi yang dibayar

·         Untuk premi yang dibayar perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia pada perusahaan asuransi di Luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang adalah 5 % dari jumlah premi yang dibayar (pengahsilan bruto), sehingga:
PPh pasal 26          = 20% x penghasilan netto
= 20% x (5% x penghasilan bruto)
= 1% x penghasilan bruto
= 1% x jumlah premi yang dibayar
Contoh 1:
PT. Amartha merupakan perusahaan persewaan gedung kator. Pada tahun 2007 mengasuransikan bangunan bertingkat ke perusahaan asuransi di lua negeri. Premi yang dibaya oleh PT. Amartha sebesar Rp. 1 Miliyar. Berapa PPh terutang PT. Amartha?
Jawab:
PPh pasal 26 = 20% x 50% x 1 M = Rp. 100.000.000

Contoh 2:
PT. Amartha tidak mengasuransikan bangunannya langsung ke perusahaan asuransi di luar negeri, tetapi mengasuransikan bangunan yang dimiliki kepada perusahaan asuransi di dalam negeri dengan jumlah premi sebesar Rp 750.000.000. untuk mengurangi resiko perusahaan asuransi dalam negeri perusahaan asuransi dalam negeri mengasuransikan sebagian polis asuransinya kepada perusahaan asuransi luar negeri dengan premi sebesar Rp. 500.000.000. berapa PPh 26 yang harus dipotong oleh perusahaan asuransi dalam negeri?
Jawab:
PPh 26 = 20% x 10% x Rp. 500.000.000 = Rp. 10.000.000
3.      DPP Penghasilan Kena Pajak
Rumus :
PPh pasal 26 = 20% x (PKP-PPh terutang)
Ket: perhitungan tersebut diterapkan pada bentuk usaha tetap di Indonesia yang pengahsilan atau bagian labanya tidak ditanamkan kembali di Indonesia. jika penghasilan setelah dikurangi pajak tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, atas penghasilan tersebut tidak di potong PPh pasal 26.
Contoh:
Suatu BUT di Indonesia memperoleh PKP sebesar Rp. 17.500.000.000 pada tahun 2012. berapa PPh terutang?
Jawab:
PPh pasal 26 dihitung sebagai berikut:
PKP                                                                 Rp. 17.500.000.000
PPh terutang:
25% x Rp. 17.500.000.000                             Rp.   4.375.000.000 (-)
Penghasilan setelah dikurangi pajak               Rp. 13.125.000.000
PPh pasal 26 yang terutang:
20% x Rp. 13.125.000.000                             Rp.   2.625.000.000
Jika penghasilan setelah dikurangi pajak tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, atas penghasilan sebesar Rp. 13.125.000.000 tidak dipotong PPh pasal 26.

3.      Perjanjian dengan Negara Tertentu
Contoh:
Mr Jakson warga negara jerman, memperoleh penghasilan jasa konsultan dari LIPI sebesar Rp. 20.000.000. berapa PPh terutang yang harus dibayar?
Jawab:
·         Saat terutangnya PPh 26 diatur dalam PP 138 tahun 2000, dilihat mana yang lebih dahulu, saat pembebanan atau saat pembayaran.
·         LIPI harus memotong pajak sebesar Rp. 4.000.000 dari Mr.Jakson sebagai penerima penghasilan
·         PPh tersebut berasal dari:
X = 20% x Pengahasilan bruto
   = 20%x 20.000.0000
   = 4.000.000 dan bersifat final.
Keterangan:
Jika Mr.Jakson memiliki tax resident (bukti kepemilikian seperti NPWP di negara Amerika), berlaku penerapan tax treaty, dimana telah disepakati bersama antara Indonesia-Amerika bahwa tarif pajaknya 10% dari penghasilan bruto, yaitu Rp. 2.000.0000 yang berhak dipotong oleh LIPI.








DAFTAR PUSTAKA
Resmi, Siti. 2013. Perpajakan (Teori dan kasus). Jakarta: Salemba Empat.
Setiawan, Agus dan Hardi. 2006. Perpajakan Bendaharawan Pemerintah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Markus, Muda dan Lalu Hendry Yujana. 2002. Pajak Penghasilan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama


Tidak ada komentar:

Posting Komentar