Pages

Kamis, 30 Maret 2017

HUKUM KETENAGAKERJAAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tenaga kerja (SDM) merupakan satu aspek yang sangat berpengaruh terhadap semua perkembangan perekonomian di dunia. Tenaga kerja tidak terlepas dari pembangunan, Tenaga kerja tidak terlepas dari kehidupan, dan  tenaga kerja merupakan tonggak utama perekonomian suatu bangsa, di samping SDA dan teknologi.
Di indonesia, masalah  ketenagakerjaan mulai menjadi perhatian sejak masuknya penjajahan. Dimulai dengan belanda, portugis, inggris, dan kemudian jepang. Semuanya menerapkan sistemnya masing – masing. Meskipun demikian, perlindungan terhadap tenaga kerja baru mulai mendapat perhatian setelah Belanda di bawah pimpinan Deandels menerapkan etische politik (politik balas budi). Semenjak saat itu, maka mulai lahir peraturan-peraturan (hukum) tentang ketenagakerjaan, yang mana peraturan yang dibuat mulai memeperhatikan sisi-sisi kemanusiaan.
Seiring perjalanan bangsa sampai memasuki era kemerdekaan, peraturan demi peraturan dibuat untuk melindungi, dan menjamin kesejahteraan, keselamatan, dan keberlangsungan hidup (secara kemanusiaan) para pekerja. Kini, kita sudah lebih dari setengah abad merdeka. Namun, masalah yang menyangkut tentang ketenagakerjaan mulai dari Upah, Kesejahteraan, dll masih menjadi sorotan. Semuanya masih jauh dari harapan. Kita bisa melihat bahwa hampir semua aksi Buruh memperingati hari buruh sedunia (mayday) selalu menuntut keadilan atas dasar kemanusiaan. Para buruh selalu meneriakkan tentang sistem kerja kontrak, upah, dll. yang semuanya berujung pada kesejahteraan para pekerja.
Pemerintah selaku pembina, pengawas, dan penindakan hukum melaksanakan aturan hukum dengan hati-hati mengingat posisi pengusaha dan pekerja merupakan aset potensial bagi negara, sekaligus subyek pembangunan nasional yang berkedudukan sama dihadapan hukum. Aturan hukum sebagai pedoman tingkah laku wajib dipatuhi para pihak dan dengan penuh rasa tanggung-jawab. Kepatuhan bukan merupakan paksaan, melainkan budaya taat terhadap ketentuan hukum.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Ketenagakerjaan?
2.      Bagaimana Sejarah Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia?
3.      Bagaimana Landasan, Asas dan Tujuan Ketenagakerjaan?
4.      Bagaimana Sifat dan Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan?
5.      Apa saja Objek Hukum Ketenagakerjaan?
6.      Siapa saja Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan?
7.      Apa saja Hak dan Kewajiban dalam Ketenagakerjaan?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui Pengertian Ketenagakerjaan
2.      Mengetahui Sejarah Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia
3.      Mengetahui Landasan, Asas dan Tujuan Ketenagakerjaan
4.      Mengetahui Sifat dan Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan
5.      Mengetahui Objek Hukum Ketenagakerjaan
6.      Mengetahui Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan
7.      Mengetahui Hak dan Kewajiban dalam Ketenagakerjaan





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ketenagakerjaan
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa, yang diatur dalam UU ketenagakerjaan adalah segala hal yang berkaitan dengan pekerja/buruh, menyangkut hal-hal sebelum masa kerja (pre-employment), antara lain; menyangkut pemagangan, kewajiban mengumumkan lowongan kerja, dan lain-lain.
Hal-hal yang berkenaan selama masa bekerja (during-employment), antara lain menyangkut: perlindungan kerja, upah, jaminan sosial, kesehatan dan keselamatan kerja, pengawasan kerja, dan lain-lain. Adapun hal-hal sesudah masa kerja, antara lain pesangon, dan pensiun/jaminan hari tua.[1]
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Menurut Payaman  Simanjutak, tenaga kerja (man power) adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja, sedang mencari pekerjaan, dan yang melaksanakan kegiatan lain, seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja menurutnya ditentukan oleh umur/usia.
Tenaga kerja (man power) terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Angkatan kerja atau labour force, terdiri atas:
ü  Golongan yang bekerja
ü  Golongan yang menganggur atau yang sedang mencari pekerjaan
Kelompok bukan angkatan kerja, terdirsi atas:
ü  Golongan yang bersekolah
ü  Golongan yang mengurus rumah tangga
ü  Golongan lain-lain atau penerima pendapatan.
Jadi, tenaga kerja mencakup siapa saja yang dikategorikan sebagai angkatan kerja dan juga mereka yang bukan angkatan kerja, sedangkan angkatan kerja adalah mereka yang bekerja dan yang tidak bekerja (pengangguran).[2]
Pengertian Hukum Ketenagakerjaan
Hukum ketenagakerjaan adalah hukum yang mengatur tentang tenaga kerja. Hukum ketenegakerjaan semula dikenal dengan istilah perburuhan. Hukum ketenagakerjaan dahulu disebut hukum perburuhan yang merupakan terjemahan dari Arbeidsrechts. Terdapat beberapa pendapat atau batasan tentang pengertian hukum perburuhan. Molenaar memberikan batasan pengertian dari Arbeidsrechts adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa.[3]
B.     Sejarah Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia
1.      Masa Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
            Perbudakan merupakan hubungan kerja yang pernah terjadi dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Dalam perbudakan ada unsur pemberi kerja dan penerima/pelaksana kerja. Perbudakan adalah suatu keadaan dimana seseorang yang disebut budak melakukan pekerjaan di bawah perintah pihak lain yaitu pemilik budak. Seorang budak tidak mempunyai hak apapun dalam hubungan kerja bahkan juga tidak memiliki hak atas kehidupannya. Kewajiban budak adalah melaksanakan segala perintah kerja yang diberikan pemilik budak. Para pemilik budak adalah satu-satunya pihak yang memiliki hak untuk mengatur dan memberi kerja serta hak lainnya atas budak yang dimilikinya.
Selain perbudakan, sejarah ketenagakerjaan Indonesia diwarnai pula dengan lembaga perhambaan dan lembaga peruluran, serta kerja rodi dan poenale sanksi. Perhambaan adalah peristiwa dimana seseorang meminjam sejumlah uang dengan cara menggadaikan dirinya sendiri atau orang lain yang berada dibawah kekuasaannya (biasanya anaknya) untuk melakukan pekerjaan dibawah perintah uang yang meminjamkan uang tersebut hingga hutangnya lunas. Pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan orang yang meminjamkan uang ini dapat dijadikan cara untuk melunasi hutang atau bisa juga hanya untuk sekedar membayar bunga hutang.
Pada tahun 1880 keluar peraturan serupa punale sanksi yang disebut Koeli Ordonnantie dan berlaku untuk wilayah Sumatera Timur. Pada tahun berikutnya peraturan-peraturan serupa juga diberlakukan untuk daerah-daerah lain. Keluarnya peraturan-peraturan tersebut membuat kondisi ketenagakerjaan semakin memprihatinkan karena timbul pemerasan tenaga kerja, penganiayaan pekerja/ buruh, dan pengawasan yang selalu berpihak pada pengusaha. Instansi pengawasan dibidang ketenagakerjaan tidak dapat mencegah kondisi yang memprihatinkan tersebut mengingat kondisi ketidakadilan itu sendiri diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut maka dikeluarkan peraturan yang mencabutnya pada tahun 1941 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1942.[4]
2.      Masa Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
Sejak diproklamasikan kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia berusaha memperbaiki kondisi ketenagakerjaan agar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan didirikannya negara Republik Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum dan ketentuan pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Guna menghindari kekosongan hukum dibidang ketenagakerjaan, Negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada penjajahan. Ketentuan ini dicantumkan dalam pasal 1 aturan peralihan UUD 1945 yang menyatakan segala peraturan perundang-undangan yang ada yang masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini. Dengan ketentuan aturan peralihan ini, semua peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan yang berlaku pada saat pengesahan UUD 1945 masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan yang baru. Peraturan perundang-undangan yang masih tetap berlaku tersebut adalah buku III bab 7A KUH perdata yang mengatur masalah ketenagakerjaan beserta peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan pada zaman penjajahan Belanda.
Pada awal berdirinya negara Republik Indonesia ketenagakerjaan belum merupakan masalah serius yang harus segera ditangani. Hal ini karena selain seluruh rakyat masih sibuk dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, perusahan-perusahaan penting saat itu masih dikuasai oleh negara sehingga masalah ketenagakerjaan terutama perselisihan antara pengusaha dan pekerja/buruh belum begitu terasa menonjol.[5]

C.    Landasan, Asas dan Tujuan Ketenagakerjaan
·         Landasan Ketenagakerjaan
Landasan pembangunan ketenagakerjaan ada dua, yaitu :
1.      Pancasila
2.      Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Undang-Undang dasar (UUD) 1945 telah mengalami beberapa kali perubahan, yaitu :
ü  Perubahan pertama tahun 1999
ü  Perubahan kedua tahun 2000
ü  Perubahan ketiga tahun 2001
ü  Perubahan keempat tahun 2002
Pasal-pasal UUD 1945 yang menjadi landasan bagi pembangunan ketenagakerjaan adalah :
a.       Pasal 27 ayat 2 UUD 1945
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Pasal yang sama dengan pasal 27 ialah:
Pasal 28 D ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
b.      Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945:
“Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
c.       Pasal 28 H ayat 2 UUD 1945:
“Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
d.      Pasal 28 H ayat 3 UUD 1945:
“Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.
e.       Pasal 28 H ayat 4 UUD 1945:
“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh di ambil alih sewenang-wenang oleh siapapun”.
f.       Pasal 281 ayat 2 UUD 1945 :
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.[6]
·         Asas Ketenagakerjaan
Penjelasan pasal 3 UU No.13 Tahun 2003 menyatakan bahwa asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja atau buruh. oleh sebab itu pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling menguntungkan. Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah (pasal 3 UU No.3/ Tahun 2003).
·         Tujuan Ketenagakerjaan
Pasal 4 UU No.13 Tahun 2003 menyatakan bahwa tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah sebagai berikut
1.      Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
2.      Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.
3.      Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.
4.      Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarga.[7]

D.    Sifat dan Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan
·         Sifat Hukum Ketenagakerjaan
Secara umum, sifat hukum dikategorikan menjadi dua golongan, yaitu:
1.      Sifat hukum ketenagakerjaan sebagai hukum mengatur (Regeld)
Ciri utama dari hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang bersifat mengatur; ditandai dengan adanya aturan yang tidak sepenuhnya memaksa. Dengan kata lain, boleh dilakukan penyimpangan atas ketentuan tersebut dalam perjanjian (perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama). Sifat hukum yang mengatur disebut fakultatif yang artinya hukum yang mengatur /fakultatif adalah sebagai berikut.
2.      Sifat memaksa hukum ketenagakerjaan
Hukum perburuhan/ketenagakerjaan mengatur hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha, yang berarti mengatur kepentingan orang perorangan. Atas dasar itulah, maka hukum perburuhan/ketenagakerjaan bersifat privat (perdata). Disamping itu, dalam pelaksanaan hubungan kerja untuk masalah-masalah tertentu, diperlukan campur tangan pemerintah. Campur tangan ini menjadikan hukum ketenagakerjaan bersifat publik.
            Sifat publik dari hukum ketenagakerjaan ditandai dengan ketentuan-ketentuan memaksa, yang jika tidak dipenuhi, maka negara/pemerintah dapat melakukan aksi/tindakan tertentu berupa sanksi. Bentuk ketentuan memaksa yang memerlukan campur tangan pemerintah itu antara lain:
a.       Adanya penerapan sanksi terhadap pelanggaran atau tindak pidana bidang ketenagakerjaan,
b.      Adanya syarat-syarat dan masalah perizinan, misalnya:
Ø  Perizinan yang menyangkut tenaga kerja asing
Ø  Perizinan menyangkut pengiriman tenaga kerja indonesia;
Ø  Penangguhan pelaksanaan upah minimum dengan izin dan syarat tertentu;
Ø  Masalah penyelesaian perselisihan hubunga industrial atau pemutusan hubungan kerja ;
Ø  Syarat mempekerjakan pekerja anak, dan sebagainya.[8]
·         Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan
Kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam tata hukum Indonesia terletak di bidang hukum Admiministrasi atau tata negara, hukum perdata, dan hukum pidana.
a.      Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Hukum Perdata
Hukum ketenagakerjaan di bidang hukum perdata pada hakikatnya memegang peranan penting di dalam hubungan industrial adalah pihak-pihaknya, yaitu buruh dan majikan saja. Hubunga antara pengusaha dan pekerja didasarka pada hubungan privat. Hubungan itu didasarkan pada hukum perikatan yang menjadi bagian dari hukum perdata. Pemerintah hanya berlaku sebagai pengawas atau lebih tepatnya dapat menjalankan fungsi fasilitator apabila ternyata dalam pelaksanaan muncul suatu perselisihan yang tidak dapat mereka selesaikan.

b.      Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Hukum Administrasi
Kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam hukum admisnistrasi yang diperhatikan ada dua hal, yaitu subjek hukum dalam penyelenggaraan negara dan bagaimana peranannya. Subjek hukum dalam penyelenggaraan negara menyangkut tiga hal, yaitu pejabat, lembaga, dan warga negara. Sedangkan peranannya berkaitan dengan menjalankan fungsi negara didalam pembuatan peraturan atau pemberian izin, bagaimana negara melakukan pencegahan terhadap sesuatu hal yang dapat terjadi (polotie) dan bagaimana upaya hukumnya.

c.       Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Pidana
Kedudukan hukum perburuhan dalam hukum pidana adalah pentingnya pentingnya penerpaa sanksi hukum bagi pelanggar peraturan perundang-undangan. Terdapat asas legalitas dalam hukum pidana, yaitu suatu pebruatan dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum apabila perbuatan tersebut sudah dituangkan dalam suatu undang-undang penerapan sanksi harus mendasarkan pada ada tidaknya kesalahan yang dibukikan dengan adanya hubungan kausal antata perbuata dengan akibat yang terjadi. Sanksi, hakukatnya merupakan perampasan hak seseorang, oleh karena itu harus dibuat secara demokratis. Bentuk peraturan yang mencerminkan situasi demokratis adalah undang-undag atau peraturan daerah karena dalam pembuatannya melibatkan suara atau wakl-wakil rakyat yang duduk di DPR atau di DPRD.[9]

E.     Objek Hukum Ketenagakerjaan
Objek hukum ketenagakerjaan adalah segala sesuatu yang menjadi tujuan diberlakukannya Hukum ketenagakerjaan. Terdapat dua hal utama yang menjadi objek/tujuan atas diberlakukannya, yaitu sebagai berikut.
ü  Terpenuhinya pelaksanaan saksi hukuman, baik yag yang bersifat administratif maupun bersifat pidana sebagai akibat dilanggarnya suatu ketentuan dalam peraturan.
ü  Terpenuhinya ganti rugi bagi pihak yang berhak sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lainnya terhadap perjanjian yang telah disepakati.
UU Ketenagakerjaan menetapka bahwa tujuan hukum ketenagakerjaan adalah ma seencapai tujuan pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya dengan meningkatlkan harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja, guna mewujudkan masyarakat sejahtera, makmir dan adil.[10]
F.     Para Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan
1.      Buruh/Pekerja
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 4 memberikan pengertian Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Pengertian ini agak umum, namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yag bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum, atau badan usaha lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu karena upah selama ini diidentikkan denga uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang.[11]
2.      Pengusaha
Dalam pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 menjelaskan pengertian pengusaha yakni:
1.      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
2.      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan buka miliknya.
3.      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.[12]

3.      Orgaisasi Pekerja/Buruh (Serikat Pekerja)
Kehadiran organisasi pekerja dimaksudkan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha. Keberhasilan maksud ini sangat tergantung dari kesadaran para pekerja untuk mengorganisasikan dirinya, semakin baik organisasi itu, maka aka semakin kuat. Sebaliknya semakin lemah, maka semakin tidak berdaya dalam melakukan tugasnya. Karena itulah kaum pekerja di Indonesia harus menghimpun dirinya dalam suatu wadah atau organisasi.[13]

4.      Organisasi Pengusaha
a.       KADIN
Untuk meningkatkan peran serta pengusaha nasional dalam kegiatan pembangunan, maka pemerintah melalui Undang-undang No.49 Tahun 1973 membentuk Kamar Dagang dan Industri ( KADIN ). KADIN adalah wadah bagi pengusaha indonesia dan bergerak dalam bidang perekonomian. Tujuan KADIN adalah :
1.      Membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan,dan kepentingan pengusaha Indonesia di bidang usaha negara, usaha koperasi dan usaha swasta dalam kedudukannya sebagai pelaku-pelaku ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan ekonomi dan dunia usaha nasional yang sehat dan tertib berdasarkan Pasal 33 UUD 1945.
2.      Menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang memungkinkankeikutsertaan yang seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia dapat berperan serta secara efektif dalam pembangunan nasional.
b.      APINDO
Organisasi pengusaha yang khusus mengurus masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia. Asosiasi Pengusaha Indonesia adalah suatu wadah kesatuan para pengusaha yang ikut serta untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dalam dunia usaha melalui kerja sama yang terpadu dan serasi antara pemerintah,pengusaha,dan pekerja.
Tujuan apindo menurut Pasal 7 Anggaran Dasar adalah :
1.      Mempersatukan dan membina pengusaha serta memberikan layanan kepentingannya di dalam bidang sosial ekonomi.
2.      Menciptakan dan memelihara keseimbangan,ketenangan dan kegairahan kerja dalam lapangan hubungan industrial dan ketenagakerjaan.
3.      Mengusahakan peningkatan produktivitas kerja sebagai program peran serta aktif untuk mewujudkan pembangunan nasional menuju kesejahteraan sosial,spiritual,dan materiil.
4.      Menciptakan adanya kesatuan pendapat dalam melaksanakan kebijakan/ketenagakerjaan dari para pengusaha yang disesuaikan dengan kebijaksanaan pemerintah.
Mengakaji tujuan didirikannya organisasi pengusaha seperti di atas, jelaslah bahwa eksistensi organisasi pengusaha lebih ditekankan sebagai wadah untuk mempersatukan para pengusaha Indonesia dalam upaya turut serta memelihara ketenangan kerja dan berusaha atau lebih pada hal-hal yang teknis menyangkut pekerjaan/kepentingannya.[14]
5.      Pemerintah/penguasa
Campur tangan pemerintah (Penguasa) dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan dimaksudkan untuk terciptanya hubungan perburuhan/ketenagakerjaan yang adil, karena jika hubungan antara pekerja dan pengusaha yang sangat berbeda secara sosial-ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hubungan perburuhan/ketenagakerjaan akan sulit tercapai, karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai yang lemah. Atas dasar itulah pemerintah turut campur tangan melalui peraturan perundang-undangan untuk memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban para pihak.[15]

G.    Hak dan Kewajiban dalam Ketenaakerjaan
Ø  Hak dan Kewajiban sebagai Pekerja
a. Hak-hak sebagai Pekerja Tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2003 antara lain:
1.      Pasal 5: Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
2.      Pasal 6: Setiap pekerja berHak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari  pengusaha.
3.      Pasal 11: Setiap tenaga kerja berHak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya melalui  pelatihan kerja.
4.      Pasal 12 ayat (3): Setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya.  
5.      Pasal 18 ayat (1): Tenaga kerja berHak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga  pelatihan kerja swasta atau pelatihan ditempat kerja.
6.      Pasal 23: Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berHak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.
7.       Pasal 31: Setiap tenaga kerja mempunyai Hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak didalam atau diluar negeri.
8.      Pasal 67: Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan  perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. 
9.      Pasal 78 ayat (2): Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur
10.   Pasal 79 ayat (1) : Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja.
11.  Pasal 80: Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
12.  Pasal 82: Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (Satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut  perhitungan dokter kandungan atau bidan.  
13.  Pasal 84: Setiap pekerja yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c dan d, Pasal 80 dan Pasal 82 berHakmendapatkan upah  penuh.
14.  Pasal 85 ayat (1): Pekerja tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
15.  Pasal 86 ayat (1): Setiap pekerja mempunyai Hak untuk memperoleh perlindungan atas: Keselamatan dan kesehatan kerja, Moral dan kesusilaan dan Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
16.   Pasal 88: Setiap pekerja berHak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
17.   Pasal 90: Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
18.  Pasal 99 ayat (1): Setiap pekerja dan keluarganya berHak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
19.  Pasal 104 ayat (1): Setiap pekerja berHak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja.

b. Kewajiban-Kewajiban sebagai Pekerja tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2003 antara lain:
1.      Pasal 102 ayat (2): Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja dan serikat pekerja mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan keWajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokrasi, mengembangkan keterampilan dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
2.      Pasal 126 ayat (1): Pengusaha, serikat pekerja dan pekerja Wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
3.      Pasal 126 ayat (2): Pengusaha dan serikat pekerja Wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja.
4.      Pasal 136 ayat (1): Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Wajib dilaksanakan oleh  pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja secara musyawarah untuk mufakat.
5.      Pasal 140 ayat (1): Sekurang kurangnya dalam waktu 7 (Tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja dan serikat pekerja Wajib memberitahukan secara tertulis kepada  pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat.

Ø  Hak dan Kewajiban sebagai Pengusaha
a.       Hak-hak pengusaha antar lain :
1.      Berhak atas hasil pekerjaan
2.      Berhak untuk memerintah/mengatur tenaga kerja
3.      Berhak melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh (pasal 150)
b.      Kewajiban-Kewajiban sebagai Pengusaha Tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2003 antara lain:
1.      Mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan garis dan derajat kecacatan nya.(Pasal 67 ayat 1 UU No 13 tahun 2003).
2.      Pengusaha wajib memberikan/ menyediakan angkutan antar Jemput Bagi Pekerja /Buruh Perempuan yang berangkat dan pulang pekerja antara pukul 23.00 s.d pukul 05.00(Pasal 76 (5) UU No.13 Tahun 2003).
3.      Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. (Pasal 77 ayat (1) s.d (4) (UU Ketenagakerjaan).
4.      Pengusaha wajib Memberi Waktu Istirahat Dan Cuti Kepada Pekerja/Buruh (Pasal 79 UU ketenaga kerjaan).
5.      Pengusaha Wajib memberikan Kesempatan Secukupnya Kepada Pekerja Untuk Melaksanakan Ibadah yang diwajibkan Oleh Agamanya (Pasal 80 UU Ketenagakerjaan).
6.      Pengusaha yang memperkerjakan Pekerja/Buruh Yang melakukan pekerja Untuk Melaksanakan Ibadah yang Di wajib kan oleh agama nya (Pasal 80 UU Ketenagakerjaan).
7.      Pengusaha yang Memperkerjakan Pekerja/Buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagai mana di maksud pada ayat (2) Wajib membayar Upah kerja lembur (Pasal 85 (3) UU Ketenagakerjaan).
8.      Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurang nya 10 (Sepuluh orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh mentri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 108 (1) UU Ketenagakerjaan.
9.      Pengusaha Wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah  peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
10.  Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenaga kerjaan setempat sekurang-kurang nya 7(Tujuh) hari kerja (Pasal 148 UU Ketenaga kerjaan).
11.  Dalam Hal terjadi pemutusan Kerja pengusah di wajib kan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (pasal 156 (1) UU ketenagakerjaan).
12.  Dalam hal pekerja /buruh di tahan pihak yang berwajib karena di duga melakukan tindak  pidana bukan bukan atas pengaduan pengusaha,maka pengusaha tidak wajib memberikan  bantuan kepada keluarga pekerja,buruh yang menjadi tanggungannya. (Pasal 160 ayat (1) UU ketenagakerjaan).
13.  Pengusaha wajib membayar kepada pekerja ,buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana di maksud pada ayat (3)dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1(satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (4).
14.  Untuk Pengusaha di larang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana di maksud dalam pasal 89 (Pasal 90 UU Ketenagakerjaan).
15.  Pengusaha Wajib MembayarUpah/pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 91 UU Ketenagakerjaan).
16.  Kewajiban Pengusaha lainnya bisa dilihat dalam pasal 33 ayat (2) UU ketenagakerjaan.[16]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Hukum ketenagakerjaan adalah hukum yang mengatur tentang tenaga kerja. Hukum ketenagakerjaan pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa.
ü  Sejarah Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia terdiri dari dua fase, yaitu:
1.      Masa Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
2.      Masa Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
ü  Landasan pembangunan ketenagakerjaan ada dua, yaitu :
1.      Pancasila
2.      Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
ü  Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah (pasal 3 UU No.3/ Tahun 2003).
ü  Tujuan Ketenagakerjaan
Pasal 4 UU No.13 Tahun 2003 menyatakan bahwa tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah sebagai berikut.
1)      Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
2)      Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.
3)      Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.
4)      Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarga.
ü  Sifat hukum ketenagakerjaan dikategorikan menjadi dua golongan, yaitu:
1)      Sifat hukum ketenagakerjaan sebagai hukum mengatur (Regeld)
2)      Sifat memaksa hukum ketenagakerjaan


ü  Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan, terdiri dari tiga bidang, yaitu:
a.      Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Hukum Perdata
b.      Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Hukum Administrasi
c.       Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Pidana
ü  Objek Hukum Ketenagakerjaan, sebagai berikut.
-          Terpenuhinya pelaksanaan saksi hukuman, baik yag yang bersifat administratif maupun bersifat pidana sebagai akibat dilanggarnya suatu ketentuan dalam peraturan.
-          Terpenuhinya ganti rugi bagi pihak yang berhak sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lainnya terhadap perjanjian yang telah disepakati.
ü  Pihak-pihak yang terlibat dalam Hukum Ketenagakerjaan. Diantaranya:
1.      Buruh/Pekerja
2.      Orgaisasi Pekerja/Buruh (Serikat Pekerja)
3.      Organisasi Pengusaha
4.      Pemerintah/penguasa
ü  Hak dan Kewajiban dalam Ketenaakerjaan, teridiri dari:
Ø  Hak dan Kewajiban sebagai Pekerja
Ø  Hak dan Kewajiban sebagai Pengusaha
















DAFTAR PUSTAKA

Agusmidah. 2010. Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Rahayu, Devi. 2011. Hukum Ketatanegaraan. Yogyakarta: New Elmatera.
Rusli, Hardijan. 2011. Hukum Ketenagakerjaan. Bogor: Ghalia Indonesia.
Husni, Lalu. 2003. Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003



[1] Agusmidah,  Hukum Ketatanegaraan Indonesia( Bogor: Ghalia Indonesia , 2010)  hlm.5
[2] Ibid;hlm.6
[3] Devi Rahayu,  Hukum Ketatanegaraan( Yogyakarta: New Elmatera, 2011) hlm.6
[4] Ibid; hlm.19-22
[5] Ibid; hlm. 23
[6] Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan(Bogor:Ghalia Indonesia, 2011) hlm.4
[7] Ibid; hlm.5
[8] Hardijan Rusli, hukum ketenagakerjaan(Bogor:Ghalia Indonesia, 2011) hlm.9-11
[9] Devi Rahayu,  Hukum Ketatanegaraan( Yogyakarta: New Elmatera, 2011) hlm.17-19
[10] Hardijan Rusli, hukum ketenagakerjaan(Bogor:Ghalia Indonesia, 2011) hlm.11
[11] Lalu Husni, Hukum Ketatanegaraan Indonesia( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003) hlm.33
[12] Ibid; hlm.35-36
[13] Ibid; hlm.37-38
[14] Ibid;hlm.44-47
[15] Ibid;hlm.47-48
[16] Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar