MAKALAH
“ ULUMUL HADITS “
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pada masa Rasulullah masih hidup,
zaman khulafaur rasyidin dan sebagian besar zaman Umayyah sehingga akhir abad
pertama hijrah, hadits-hadits nabi tersebar melalui mulut kemulut
(lisan).Ketika itu umat Islam belum mempunyai inisiatif untuk menghimpun
hadits-hadits nabi yang bertebaran.Mereka merasa cukup dengan menyimpan dalam
hafalan yang terkenal kuat.Dan memang diakui oleh sejarah bahwa kekuatan
hafalan para sahabat dan para tabi’in benar-benar sulit tandingannya.
Hadits nabi tersebar ke berbagai
wilayah yang luas dibawa oleh para sahabat dan tabi’in ke seluruh penjuru
dunia.Para sahabat pun mulai berkurang jumlahnya karena meninggal
dunia.Sementara itu, usaha pemalsuan terhadap hadits-hadits nabi makin
bertambah banyak, baik yang dibuat oleh orang-orang zindik dan musuh-musuh
Islam maupun yang datang dari orang Islam sendiri.
Berbagai motifasi yang dilakukan
mereka dalam hal ini. Ada kalanya kepentingan politik seperti yang dilakukan
sekte-sekte tertentu setelah adanya konflik fisik (fitnah) antara pro-Ali dan
pro-Muawiyyah, karena fanatisme golongan, madzhab, ekonomi, perdagangan dan
lain sebagainya pada masa berikutnya atau unsur kejujuran dan daya ingat para
perawi hadits yang berbeda. Oleh karena itu, para ulama bangkit mengadakan
riset hadits-hadits yang beredar dan meletakkan dasar kaidah-kaidah yang ketat
bagi seorang yang meriwayatkan hadits yang nantinya ilmu itu disebut Ilmu
Hadits.
Berhubungan dengan itu, dalam
kesempatan ini pemakalah akan membahas mengenai ulumul hadits beserta
macam-macam ilmu hadits dan cabang-cabang nya.
1.2 Rumusan
masalah
1.
Apa pengertian dari ulumul hadits ?
2.
Apa macam-macam ilmu
hadits ?
3.
Apa cabang-cabang ilmu hadits ?
1.3
Tujuan
penulisan
Ada dua tujuan kami menulis makalah ini, yang pertama yaitu untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ilmu Hadits, yang kedua yaitu untuk menambah pengetahuan dan
pemahaman kita semua tentang Ilmu Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Ulumul Hadits
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu
hadits di dalam tradisi Ulama Hadits yang bahasa Arabnya yaitu ‘Ulum
al-Hadits.‘Ulum al-Hadits ini terdiri atas dua kata, yaitu ‘Ulum dan al-Hadits.
Kata ‘Ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti
“ilmu-ilmu”; sedangkan al-Hadits di kalangan Ulama Hadits berarti “segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. dari perkataan, perbuatan, taqrir
atau sifat. Dengan demikian Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau
berkaitan dengan hadits Nabi SAW.
Sekitar pertengahan abad ke-3
Hijriyah sebagian Muhadditsin mulai merintis ilmu ini dalam garis-garis
besarnya saja dan masih berserakan dalam beberapa mushafnya. Diantara mereka
adalah Ali bin Almadani (238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmudzi
dan lain-lain.
Adapun perintis pertama yang
menyusun ilmu ini secara fak (spesialis) dalam satu kitab khusus ialah Al-Qandi
Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy (360 H) yang diberi nama dengan Al-Muhaddisul Fasil
Bainar Wari Was Sami’.Kemudian bangkitlah Al-Hakim Abu Abdilah an-Naisaburi (321-405
H) menyusun kitabnya yang bernama Makrifatu Ulumil Hadits. Usaha beliau ini
diikuti oleh Abu Nadim al-Asfahani (336-430 H) yang menyusun kitab kaidah
periwayatan hadits yang diberi nama Al-Kifayah dan Al-Jam’u Liadabis Syaikhi
Was Sami’ yang berisi tentang tata cara meriwayatkan hadits.
Adapun yang dimaksud dengan ilmu hadis,
menurut ulama muqaddimin adalah:[1]
علم
يبحث فيه عن كيفيّة اتّصال الأحاديث باارّسول صلّى الله عليه وسلّم من حيث معرفة
الأحوال روّاتها وضبط وعدالة ومن حيث كيفيّة اسّند اتّصالا وانقطاعا.
Artinya:
“Ilmu
pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadis sampai
kepada Rasulullah SAW. dari segala hal ihwal para perawinya, yang
"menyangkut kedabitan dan keadilannya dan dari segi bersambung dan
terputusnya sanad, dan sebagainya.”
2.2
Macam-Macam Ilmu Hadits
Pada perkembangan selanjutnya, ulama mutaakhirin,
membagi ilmu hadis ini dipecah menjadi dua, yaitu ilmu hadis riwayah dan
ilmu hadis dirayah.Mereka memasukkan pengertian yang diajukan oleh ulama
mutaqaddimin ke dalam pengertian ilmu haids dirayah.
1. Ilmu Hadis Riwayah
Menurut bahasa riwayah dari
akar rawa, yarwi, riwayatan yang berarti an-naql = memindahkan
dan penukilan, adz-dzikr = penyebutan, dan al-fath = pemintalan.
Seolah-olah dapat dikatakan periwayatan adalah memindahkan berita atau
menyebutkan berita dari orang-orang tertentu kepada orang lain dengan
dipertimbangkan/dipintal kebenarannya.
Sedangkan menurut istilahilmu hadis riwayah, ialah
ilmu pengetahuan yang mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at, maupun
tingkah laku Nabi SAW.
Objek kajian ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis Nabi saw dari segi periwayatan
dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
a.
Cara
periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga dari cara
penyampaiannya dari seorang perawi ke perawi lain.
b.
Cara
pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya.
Adapun faedah
mempelajari ilmu hadis riwayah adalah
untuk menghindari adanya penukilan yang salah sehingga tidak sesuai dengan
sumbernya yang pertama, yaitu Nabi Muhammad SAW.[2]
2. Ilmu Hadis Dirayah
Ilmu Hadist Dirayah, dari
segi bahasa kata berasal dari kata dara, yadri, daryan, dirayatan/dirayah =
pengetahuan, jadi yang dibahas nanti dari segi pengetahuannya yakni pengetahuan
tentang hadist atau pengantar ilmu hadist.
Istilah
ilmu hadits dirayahmenurut
As-Suyuthi, muncul setelah masa Al-Khatib Al-Baghdadi, yaitu pada masa
Al-Akfani. Ilmu ini dikenal juga dengan sebutan ilmu ushul al-hadits, musthalah al-hadits, dan qawa’id al-tahdits.
Defenisi yang
paling baik, seperti yang diungkapkan oleh ‘Izzuddin bin Jama’ah, yaitu: [3]
علم
بقوا نين يعرف بها احوال السند والمتن
“Ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang
dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan”.
Dari
pengerian diatas, dapat dikatakan bahwa ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang memperlajari kaidah-kaidah untuk
mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara
menerima dan menyampaikan hadits, sifat rawi, dan lain-lain.
Sasaran kajian ilmu hadits dirayah adalah
sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang
turut memengaruhi kualitas hadits tersebut. Kajian terhadap masalah-masalah
yang bersangkutan dengan sanad disebut
naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern. Disebut
demikian karena yang dibahas adalah akurasi (kebenaran) jalur periwayatan,mulai
sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menulis dan membukukan hadits
tersebut.
Faedah mempelajari ilmu hadis
dirayah adalah untuk mengetahui maqbul (diterima) dan mardud-nya
(ditolaknya) suatu hadis, baik dilihat dari sudut sanadmaupun dari sudut
matan-nya.
2.3 .
Cabang-Cabang Ilmu Hadits
Pada perkembangan selanjutnya, para
ulama menyusun dan merumuskan cabang-cabang ilmu hadis.Karena hal ini dirasa
perlu untuk mengetahui sejauh mana suatu hadis dapat dikatakan maqbul (diterima)
atau mardud (ditolak).Sehingga muncullah berbagai macam cabang ilmu hadis.
Sebelum itu yang lebih dahulu muncul adalah ilmu Hadist riwayah dan ilmu hadist
dirayah, dan setelah itu barulah cabang cabang ilmu hadist seperti : Ilmu
Rijal Al-Hadist, Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil, Ilmu Tarikh Al-Ruwah, Ilmu ‘Ilal
Al-Hadist, Ilmu Al-Nasikh Wal Al-Mansukh, Ilmu Asbab Wurud , Gharib Al-Hadits,
Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif dan Ilmu Mukhtalif Al-Hadist. Secara singkat cabang
cabang ilmu hadist diatas akan diuraikan sebagai berikut :
a)
Ilmu dan
Kaidah Hadis Tentang Rawi dan Sanad
1)
Ilmu Rijal
Al-Hadist
Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu untuk
mengetahui para perawi haditst dalam
kapasitasnya sebagai perawi hadist.[4] Kemudian dari buku lainnya pengertian Ilmu Rijal
Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadist, baik dari
sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya.[5]Muhadditsinmentarifkan Ilmu Rijal Al-Hadist meliputi
Ilmu Thabaqah dan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah. Ilmu Thabaqah adalah ilmu yang membahas
tentang kelompok orang orang yang berserikat dalam satu alat pengikat yang
sama. Sedangkan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang biografi
para perawi hadist. Adapun materi dari ilmu ini adalah :
a) Konsep tentang rawi dan thabaqah
b) Rincian thabaqah rawi
c) Biografi yang telah terbagi pada tiap thabaqah
Dari berbagai definisi diatas, pada
dasarnya Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang para perawi
hadist dalam memelihara dan menyampaikannya kepada orang lain dengan
menyebutkan sumber-sumber pemberitaannya.
Kedudukan ilmu ini sangat penting
dalam lapangan ilmu hadist, karena, sebagaimana diketahui bahwa objek kajian
hadist, pada dasarnya ada dua hal yaitu matan dan sanad. Munzier Suparta
(2006:30) menyatakan Ilmu Rijal Al-Hadist ini lahir bersama sama dengan
periwayatan hadist dalam islam dan mengambil posisi khusus untuk mempelajari
persolan-persoalan disekitar sanad.
Dengan ilmu ini kita dapat
mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadist dari Rasullah SAW, dan
keadaan para perawi yang menerima hadist dari para sahabat dan seterusnya.Dan
dengan ilmu ini kita juga dapat mengetahui sejarah ringkas para perawi hadist,
mazhab yang dipegang oleh para perawi, dan keadaan para perawi dalam menerima
hadist.
Kitab kitab yang disusun dalam ilmu
ini beraneka ragam. Seperti halnya dikutip dalam buku Muhammad Ahmad dan M.
Mudzakir (1998:58) ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat
ringkas para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para
perawi.Ada yang menerangkan para perawi yang dipercaya saja.Ada yang
menerangkan riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudalis, atau para
pemuat hadist maudu.Dan ada yang menerangkan sebab sebab dianggap cacat dan
sebab sebab dipandang adil dengan menyebut kata kata yang dipahami untuk itu
serta martabat perkataan.Seperti pada abad ke tujuh hijrah Izzudin Ibnu Atsir
(630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun sebelum masanya dalam
sebuah kitab besar yang bernama Usdul Gabah. Pada abad kesembilan hijrah, Al
Hafidh Ibnu Hajar Al Asqolani menyusun kitabnya yang terkenal denagn nama Al
Ishabah. Dalam kitab ini dikumpulkan al istiah dengan usdul gabah dan ditambah
dengan yang tidak trdapat dalam kitab kitab tersebut.Kemudian kitab ini
diringkas oleh As Suyuti dalam kitab Ainul Ishobah.Al bukhori dan Imam Muslim
juga telah menulis kitab yang menerangkan nama-nama sahabat yang hanya
meriwayatkan suatu hadist saja yang bernama Wuzdan.
2)
Ilmu Jarh Wa
At-Ta’dil
Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil, pada
hakikatnya merupakan satu bagian dari Ilmu Rijal Al-Hadist, akan tetapi, karena
bagian ini dipandang penting, maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang yang
berdiri sendiri. Adapun beberapa pengertian dari Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
adalah sebagai berikut :
Munzier Suparta (2006:31) menyatakan
Ilmu Al-jarh yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan
kedhabitannya.Para ahli hadist mendefinisikan Al-Jarh dengan kecacatan pada
para perawi hadist, disebabkan oleh suatu yang dapat merusak keadilan atau
kedhabitan perawi.Sedangkan At-Ta’dil yang secara bahasa berarti menyamakan dan
menurut istilah berarti lawan dari Al-Jarh yaitu pembersihan atau pensucian
perawi dan ketetapan bahwa dia adil atau dhabit. Sementara ulama lain
mendefinisikan Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam satu definisi yaitu ilmu yang
membahas tentang para perawi dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka,
baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau
lapadz-lapadz tertentu.
Dari beberapa definisi diatas dapat
diketahui bahwa ilmu ini digunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang
perawi itu dapat diterima atau ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi
“dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus
ditolak, dan sebaliknya apabila dipuji, maka hadistnya dapat diterima selama
syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Munzier Suparta (2006:32) menyatakan
kecacatan rawi itu bisa diketahui melalui perbuatan-perbuatan yang
dilakukannya, biasanya dikatagorikan kedalam lingkup perbuatan : Bid’ah yakni
melakukan perbuatan tercela atau diluar ketentuan syariah; Mukhalafah, yakni
berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqah; Qhalath, yakni banyak
melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadist; Jahalat al-hal, yakni tidak
diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan Da’wat Al-Inqitha, yakni
diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.
Adapun orang-orang yang melakukan
Tajrih dan Ta’dil harus memenuhi syarat sebagai berikut : Berilmu pengetahuan,
Taqwa Wara, Jujur, Menjauhi sifat fanatik golongan, dan Mengetahui ruang
lingkup Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil.
Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu
ini berbeda beda, sebagian ada yang kecil, hanya terdiri dari satu jilid dan
hanya mencakup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya
menjadi beberapa jilid besar yang mencakup antara sepuluh sampai dua puluh ribu
Rijalus Sanad. Disamping itu sistematis pembahasannya juga berbeda beda.
Ada sebagian yang menulis rawi-rawi yang tsiqah saja dan ada juga yang
mengumpulkan keduanya. Fathur Rahman (1987:279) menyebutkan kitab-kitab itu,
antara lain :
1.
Ma’rifatur-rijal,
karya Yahya Ibnu Ma’in.
2.
Ad-Dluafa,
karya Imam Muhammad Bin Ismail Al Bukhari (194 – 252 H)
3.
At-tsiqat,
karya Abu Hatim Bin Hibban Al-Busty (304 H)
4.
Al-jarhu wat
tadil, karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy (240-326H)
5.
Mizanul
itidal, karya Imam Syamsudin Muhammad Adz Dzahaby (673-748 H)
6.
Lisanul
mizan, karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (773 – 852 H)
3)
Ilmu Tarikh
Ar-Ruwah
Ilmu Tarikh Ar-Ruwah merupakan masih
bagian dari Ilmu Rijal Al-hadist.Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara
mendalam pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam
periwayatan.
Munzier Suparta (2006:34) menyatakan
Ilmu Tarikh Ar-ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadist yang
berkaitan dengan usaha periwayatn mereka terhadap hadist. Mengenai hubungan
antara ilmu ini dengan ilmu Thabaqah Ar-Ruwah, sebagaimana dikutip masih
dari buku yang sama, bahwa terdapat berbagai perbedaan pendapat dikalangan para
ulama. Ada ulama yang membedakan secara khusus, tetapi ada juga yang
mempersamakannya. Menurut As-Suyuti, antara Ilmu Thabaqat Ar-ruwah dengan Ilmu
Tarikh Ar-ruwah adalah sama saja dengan antara umum dan khusus, keduanya
bersatu dalam pengertian yang berkaitan dengan para perawi, tetapi Ilmu Tarikh
Ar-Ruwah menyendiri dalam hubungannya dengan kejadian-kejadian yang baru.
Menurut Al-Shakawi, bahwa ulama mutakhirin membedakan antara kedua disiplin
ilmu tersebut. Menurut mereka bahwa Ilmu Tarikh Ar-Ruwah, melalui eksistensinya
memperhatikan hal ihwal perawi, dan melalui sifatnya memperhatikan kelahiran
dan wafatnya mereka.
Jadi dengan ilmu ini dapat diketahui
keadaan dan identitas para perawi, seperti kelahirannya, wafatnya,
guru-gurunya, masa/waktu mereka mendengar hadist dari gurunya, siapa yang
meriwayatkan hadist darinya, tempat tinggal mereka, tempat mereka mengadakan
lawatan, dan lain sebagainya.Dan ilmu ini juga merupakan senjata yang ampuh
untuk mengetahui keadaan rawi yang sebenarnya, terutama untuk membongkar
kebohongan para perawi.
b)
Ilmu Kaidah
Tentang Matan
a.
Gharib
Al-Hadits
Menurut
Endang Soetari (2005:210), Ilmu Gharib al-Hadist adalah:
“Ilmu yang menerangkan makna kalimat
yang terdapat dalam matan Hadist yang sukar diketahui maknanyadan yang kurang
terpakai oleh umum’.
Yang
dibahas oleh ilmu ini adalah lafadh yang musykil dan susunan kalimat yang sukar
dipahami, tujuannya untuk menghindarkan penafsiran menduga-duga. Pada masa
tabi’in dan abad pertama hijriyah, bahasa arab yang tinggi mulai tidak dipahami
oleh umum, hanya diketahui secara terbatas. Maka orang yang ahli mengumpulkan
kata-kata yang tidak dapat dipahami oleh umumtersebut dan kata-kata yang kurang
terpakai dalam pergaulan sehari-hari. Endang Soetari juga menyebutkan
beberapa upaya para ulama Muhaditsin untuk menafsirkan keghariban matan Hadits,
antara lain:
·
Mencari dan
menelaah hadits yang sanadnya berlainan dengan yang bermatan gharib
·
Memperhatikan
penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan Hadits atau shahabat lain yang tidak
meriwayatkan,
·
Memperhatikan
penjelasan dari rawi selain shahabat.
Di sisi lain, dalam buku Ilmu Hadis
karya Mudasir (2005:57), menurut Ibnu Shalah, yang dimaksud dengan Gharib
al-hadis ialah: “Ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada
lafal-lafal hadis yang jauh dan sulit dipahami karena (lafal-lafal tersebu)
jarang digunakan.” Mudasir menyatakan bahwa bahwa ilmu ini muncul atas usaha
para ulama setelah Rasulullah SAW. Wafat ketika banyaknya bangsa-bangsa yang
bukan arab memeluk Islam serta banyaknya orang yang kurang memahami istilah
atau lafal-lafal tertentu yang gharib atau sukar dipahami.
Imam Al-Nawawi menyebutkan dalam
bukunya (2001:116) bahwa Hadis gharib adalah Hadis yang diriwayatkan dari
al-Zuhri atau rawi yang selevel dengan al-Zuhri dimana Hadis-hadisnya itu
dikumpulkan oleh seorang rawi.Hadis gharib terbagi ke dalam dua begian, shahih
dan tidak shahih.Dalam kategori tidak shahih, hadis gharib bisa berupa Hadis
hasan juga bisa dla’if.Namun umumnya Hadis gharib tidak shahih. Hdis ini juga
terbagi ke dalam dua klasifikasi berdasarkan pada pada kualitas sanad dn matan
Hadis tersebut. Pertama , Hadis gharib baik dari segi matannya maupun sanadnya.
Ini seperti pada Hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi.Kedua, Hadis
yang kegharibannya terdapat pada sanadnya saja, seperti pada Hadis yang
matannya diriwayatkan oleh sekelompok sahabat, di mana salah seorang di antara
mereka meriwayatkannya secara tunggal Hadis itu.Dalam kaitan ini, Ai-Titmidzi
biasanya menggunakan teknis gharibun min badza al-wajh (gharib berdasar
tinjauan ini.Namun sampai ssat ini tidak ditemukan Hadis gharib dalam segi
matannya saja, tapi sanadnya tidak gharib. Kecuali jika ada Hadis tunggal yang
populer di mana Hadist itu diriwayatkan oleh banyak rawi, maka hadis itu
disebut Hadis gharib yang masyhur dan juga gharib secara matannya saja tidak
beserta sanadnya, jika dilihat dari salah satu dari dua jalurnya, seperti Hadis
Innama al-a’malu bi al-niyyat.
Definisi lain diungkapkan oleh
Wahyudin Darmalaksana (2004:39), bahwa Hadits Gharib yaitu hadits yang terdapat
penyendirian rawi dalam sanadnya di mana saja penyendirian dalam sanad itu
terjadi, daik karena penyendirian sifat atau keadaan yang berbeda dengan sifat
dan keadaan rawi lainnya, ataupun juga karena penyendirian personalia itu
sendiri. Berdasarkan pada bentuk penyendirian tersebut, kemudian hadits gharib
terbagi pada dua macam: pertama, Hadits Gharib Mutlaq yakni hadits yang
didalamnya terdapat penyendirian sanad dalam jumlah personalianya. Kedua,
Hadis Gharib Nisbi yakni Hadis yang terdapat penyendirian dalam dalam satu
sifat atau keadaan tertentu.
b.
Ilmu Asbab
Wurud Al-Hadits
Menurut ahli bahasa, asbab diartikan
dengan al-habl (tali), yang menurut lisan Al-Arab berarti saluran, yang artinya
adalah segala sesuatu yang menghubungkan satu benda dengan benda yang lainnya.
Adapun arti asbab menurut istilah adalah Segala sesuatu yang mengantar pada
tujuan.Kata wurud (sampai, muncul) berarti : “Air yang memancar atau yang
mengalir.” Dalam pengertian yang lebih luas, As-Suyuti menyebutkan pengertian
asbab wurud al-hadist, yaitu Sesuatu yang membatasi arti suatu hadist, baik
berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqqayyad, dinasakhkan, dan
seterunya, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadist saat
kemunculannya.”
Dari pengertian asbab wurud
al-hadist seperti di atas, dapat dibawa pada pengertian ilmu asbab wurud
al-hadist, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Nabi Muhammad SAW.
Menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda RasulullahSAW
tentang menyucikan air laut, yaitu, “ Laut itu suci airnya dan halal
bangkainya”. Hadist ini dituturkan oleh Rasulullah SAW ketika seorang sahabat
sedang berada di tengah laut mendapatkan kesulitan berwudhu.
Menurut As-Suyuti, urgensi asbab
wurud terhadap hadist sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadist,
sama halnya dengan urgensi asbab nuzul Al-Qur’an terhadap Al-Qur’an. Ini
terlihat dari beberapa faedahnya antara lain dapat men-taksis arti yang umum,
membatasi arti yang mutlak,menunjukkan perincian terhadap yang mujmal,
menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu hukum.Maka dengan memahami
asbab wurud al-hadist ini, makna yang dimaksud atau dikandung oleh suatu hadist
dapat dipahami dengan mudah. Namun, tidak semua hadist mempunyai asbab
al-wurud, seperti halnya tidak semua ayat Al-Qur’an memiliki asbab
an-nuzul-nya.
Sedangkan menurut Endang Soetari
(2005:212), Ta’rif ilmu Asbab Wurud al-Hadist “Ilmu yang menerangkan
sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkan”.
Ilmu ini titik berat pembahasannya pada latar belakang dan sebab lahirnya
Hadist. Manfaat mengetahui asbab al-wurud Hadist antara lain untuk membantu
memahami dan menafsirkan Hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan
dengan wurudnya hadist tersebut, atau mengetahui kekhususan konteks makna
hadist. Perintis ilmu asbab Wurud al-Hadits adalah Abu Hamid ibn Kaznah
al-Jubairi, dan Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja’ al-‘Ukbari (339 H).
Kitab yang terkenal adalah kitab al-nayan wa al-Ta’rif, susunan Ibrahim Ibn
Muhammad al-Husaini (1120 H).
c.
Ilmu
An-Nasikh Wa Al-Mansukh
Menurut Drs. H. Mudasir dalam bukunya
Ilmu Hadist (2005:53), Yang dimaksud dengan ilmu an-naskh wa almansukh disini
terbatas sekitar nasikh dan mansukh pada hadist. Beliau menyebutkan bahwa kata
An-Nasakh menurut bahasa mempunyai dua pengertian, al-izzlah (menghilangkan),
seperti (matahari menghilangkan bayangan) dan an-naql (menyalin), seperti (saya
menyalin kitab) yang berarti saya menyalin isi suatu kitab untuk dipindahkan
pada kitab lain. Pengertian An-Nasakh menurut bahasa, dapat kita jumpai
Dalam Al-Qur’an, antara lain dalam firman Allah SWT. Surat Al-Baqarah ayat 106:
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu”. (QS. Al-Baqarah : 106)
Adapun An-Nasakh menurut Istilah,
sebagaimana pendapat ulama ushul adalah:“Syari’ mengangkat (membatalkan) suatu
hukum syara’ dengan menggunakan dalil syar’i yang datang
kemudian.”
Sedangkan menurut Endang Soetari
dalam bukunya Ilmu Hadist (2005:213) menyebutkan bahwa Ta’rif ilmu Nasikh wa
al-Mansukh: adalah:“Ilmu yang menerangkan Hadist-hadiat yang sudah dimansukhkan
dan yang menasikhkannya.”
Beliau menyatakan bahwa ilmu ini
bermanfaat untuk pengamalan Hadis bila ada dua Hadis Maqbul yang tanakud yang
tidak dapat dikompromikan atau dijama’.Bila dapat dikompromikan, hanya sampai
pada tingkat mukhtalif al-hadis, kedua hadis maqbul tersebut dapat diamalkan.Bila
tidak bisa dijama’ (dikompromikan, maka Hadist yang tanakud tadi ditarjih atau
dinasakh.Bila diketahui mana diantara kedua Hadist yang diwurudkan duluan dan
yang diwurudkan kemudian, maka yang wurud kemudian (terakhir) itulah yang
diamalkan.Sedangkan yang duluan tidak diamalkan.Yang belakangan disebut nasikh,
yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain
berupa cara mengetaui nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah SAW sendiri,
keterangan sahabat dan tarikh datangnya matan yang dimaksud.
c)
Ilmu Kaidah
Tentang Sanad dan Matan
a.
Ilmu ‘Ilal
Al-Hadist
Munzier Suparta (2006:35) menyatakan
kata ‘Ilal adalah bentuk jama dari kata Al-‘Illah, yang menurut bahasa berarti
penyakit atau sakit. Menurut Muhadditsin, istilah ‘Illah berarti sebab yang
tersembunyi atau samar-samar yang berakibat tercemarnya hadist. Adapun yang
dimaksud dengan Ilmu Ilal Al-Hadist menurut Muhadditsin adalah ilmu yang
membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan keshahihan
hadist, seperti mengatakan muttashil terhadap hadist yang munqathi, menyebutkan
marfu terhadap hadist yang mauquf, memasukan hadist kedalam hadist lain, dan
hal-hal yang seperti itu.
Beberapa buku lainnya juga, seperti
Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir (1998:61) dan Endang Soetari menyatakan hal yang
sama mengenai definisi Ilmu ‘Ilal Al-Hadist. Jadi secara singkat, Ilmu Ilal
Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang suatu illat yang dapat mencacatkan
kesahihan hadist.
Endang Soetari, menyatakan
illat yang terjadi pada sanad dan terjadi pula pada matan, yaitu :
·
Lahir sanad
shahih padahal terdapat rawi yang tidak mendengar sendiri dari guru.
·
Hadist
Mursal dimusnadkan lahirnya.
·
Hadist
mahfuzh dari shahabat tertentu diriwayatkan dari sahabat lain yang berbeda
tempat tinggalnya.
·
Hadist
Mahfuzh dari sahabat tertentu diriwayatkan dengan paham tabi’in.
·
Meriwayatkan
dengan an-‘anah suatu hadist yang sanadnya gugur seorang rawi atau beberapa
orang.
·
Berlainan
sanadnya dengan sanad yang lebih kuat.
·
Berlainan
nama gurunya yang memberikan hadist dengan nama guru rawi-rawi tsiqah, atau
nama guru tidak disebutkan dengan jelas.
·
Meriwayatkan
hadist yang tidak pernah didengar dari gurunya, walaupun gurunya itu
benar-benar guru yang pernah memberikan beberapa hadist padanya.
·
Meriwayatkan
hadist dengan sanad lain, secara waham terhadap hadist yang sebenarnya, hanya
mempunyai satu sanad.
·
Memauqufkan
hadist yang maufu.
Adapun beberapa ulama yang
menulis mengenai ilmu ini adalah Ibn Al-Madini (234 H), Ibn Abi Hatim (327 H)
yakni kitab Ilal Al-Hadist.Imam Muslim (261 H), Al-Daruquthni (375 H), dan
Muhammad Ibn Abd Allah Al-Hakim.
b.
Ilmu
At-Tashif Wa At-Tahrif
Menurut Mudasir (2005:57), Ilmu
At-tashif wa at-tahrif adalah ilmu yang berusaha menerangkan hadis-hadis yang
sudah diubah titik atau syakalnya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf).
Al-Hafizh Ibnu Hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu ilmu at-tashif
dan ilmu at-tahrif.Sebaliknya Ibnu Shalah dan pengikutnya menggabungkan kedua
ilmu ini menjadi satu ilmu.Menurutnya, ilmu ini merupakan satu disiplin iilmu
bernilai tinggi yang dapat membangkitkan semangat para ahli hafalan (huffaz).
Hal ini karena hafalan para ulama terkadang terjadi kesalahan bacaan dan
pendengarannya yang diterima dari orang lain.
Sedangkan menurut Endang Soetari
(2005:216) Ilmu Tashhif wa al-Tahrif adalah: “Ilmu yang menerangkan Hadis-hadis
yang sudah diubah titiknya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf)”. Diantara kitab
ilmu ini adalah kitab: al-Tashhif wa al-Tahrif, susunan al-Daruquthni (358 H)
dan Abu Ahmad al-Askari (283 H).
Sedangkan menurut Imam Al-Nawawi
(2001:120), kesalahan tulis (tashhif) bisa saja terjadi pada kata atau lafadh
dalam sebuah Hadis atau penglihatan rawi, baik dalam segi sanad maupun
matannya. Diantara kesalahan tulis pada sanad adalah penulisan al-Awwam bin
Murajim (dengan ra’ dan jim pada kata Murajim) ditulis secara salah oleh Ibn
al-Ma’in dengan za’ dan ha’ (Muzahim). Dan diantara kesalahan tulis pada matan
adalah Hadis Zaid bin Tsabit berikut ini: Anna Rasulallah ihtajara fi al-masjid
(Bahwa Rasulullah membuat kamar di salah satu ruangan masjid dari tikar atau
yang sejenisnya di mana tempat itu dipergunakan untuk shalat). Ibnu Lahi’ah
menulis secara salah kata ihtajara dengan menggantikannya menjadi ihtajama
(berbekam). Menurutnya, kadang kesalahan tulis terjadi karena salah
dengar, seperti Hadis dari Ashim al-Ahwal. Kadang pula kesalahan terjadi
pada makna Hadis, seperti ungkapan Muhammad bin al-Mutsanna berikut ini, Nahnu
qaumun lana syarafun, nahnu min ‘anazah shalla ilaina Rasulullah (Kami adalah
sekelompok orang yang memiliki kehormatan. Kami lahir dari kabilah Anazah di
mana Rasulullah pernah shalat di kabilah kami).Kata ‘anazah di sini dipahami
secara salah oleh Muhammad bin al-Mutsanna.Padahal yang dimaksudkan dari Hadis
bahwa Rasulullah shalat di depannya diberi tanda dengan tongkat.Bahkan ada
orabg arab pedesaan yang salah memahami ‘anazah. Ia mengira bahwa kata itu
adalah ‘anzah (dengan nun), yang berartri kambibg. Ia pun akhirnya, karena
salah memahami makna Hadis yang dimaksud, shalat dengan disertai kambing kecil.
c.
Ilmu
Mukhtalif Al-Hadis
Mudasir (2005:58) mendefinisikan
ilmu mukhtalif al-hadis sebagai ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang
menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan agar pertentangan tersebut
dapat dihilangkan atau dikompromikan antara keduanyasebagaimanamembahas
hadis-hadis yang sulit dipahami isiatau kandungannya, dengan menghilangkan
kemusykilan atau kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.
Dari pengertian ini dapat dipahami
bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadis, maka hadis-hadis yang tampaknya
bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan pertentangan itu sendiri.Begitu
juga kemusykilan yang terlihat dalam suatu hadis dapat dihilangkan dan
ditemukan hakikat dari kandungan hadis
tersebut.
Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadis dengan ilmu musykil
al-hadis, ilmu takwil al-hadis, ilmu talfiq al-hadis, dan ilmu ikhtilaf
al-hadis. Akan tetapi, yang dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas memiliki
arti yang sama.
Imam Al-Nawawi (2001:121)
menyebutkan bahwa maksud dari Mukhtalaf al-Hadis adalah adanya dua Hadis yang
bertentangan maknanya secara eksplisit.Tugas seorang ahli Hadis dalam masalah
ini adalah menggabungkan dua Hadis yang bertentangan itu, atau mentarjih salah
satunya.Hanya para imam yang mempunyai penguasaan mendalam pada bidang Hadis
dan fikih, di samping para ahli ushul fikih yang memiliki kapasitas yang memadai
dalam bidang semantik.
Hadis mukhtalaf terbagi ke dalam dua
bagian.Pertama, pertentangan yang memungkinkan untuk menggabungkan maksud dari
dua hadis itu.Setelah menjadi jelas, bagian yang telah digabungkan itu wajib
untuk diamalkan.Kedua, pertentangan yang memungkinkan untuk digabungkan dengan
satu alasan.Karenanya, jika kita mengetahui salah satu dari kedua hadis itu
menjadi penasikh, maka kita dahulukan Hadis penasih itu. Jika tidak, kita
mengamalkan Hadis yang diunggulkan (rajih), seperti mentarjih karakteristik dan
jumlah para rawi yang mencapai sekitar lima puluh jalur.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Ulumul hadits adalah ilmu
pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadis sampai
kepada Rasulullah SAW. dari segala hal ihwal para perawinya, yang
"menyangkut kedabitan dan keadilannya dan dari segi bersambung dan
terputusnya sanad, dan sebagainya.
Macam-macam
Ilmu Hadits ada dua yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah. Adapun
cabang-cabang dari Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah adalah:
1.
Ilmu Rijal
al-Hadits
2.
‘Ilal
al-Hadits
3.
Gharib
al-Hadits
4.
Ilmu Jarh wa
at-Ta’dil
5.
Nasikh wa al
Mansukh
6.
Asbab Wurud
al-Hadits
7.
Tashhif wa at-Tahrif
8.
Talfiq
al-Hadits
9.
Musthalah
Ahli
.
3.2
SARAN
Makalah yang dapat kami buat,
sebagai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
banyak kesalahan dan kekurangan.Untuk itu kritik dan saran yang bersifat
konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan
berikutnya.Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.Amin.
DAFTAR PUSTAKA
·
Solahudin, M.Agus dan Suyadi, Agus. 2008. Ulumul Hadits.
Bandung: Pustaka Setia
·
Ahmad,
Muhammad, dan Mudzakir, Muhammad. 2000. Ulumul Hadits. Bandung: CV
Pustaka Setia
·
Suparta,
Munzier. Ilmu Hadits. 2003. Jakarta: PT
Raja Grafindo
·
Munzier
Suprapta.Ilmu Hadis.2006. Jakarta: Grafindo Persada
[1]Mudasir. Ilmu
Hadits. Bandung: Pustaka Setia. 2010. hlm. 41
[2]Mudasir. Ilmu
Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia. 2010. hlm. 43
[3]Agus Solahuddin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadits. Bandung:CV Pustaka Setia.
2011. Hlm.109
[4]Munzier. Ilmu
Hadits. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya. 2006. Hlm.30
[5]Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir.Ulumul Hadits.Bandung: CV Pustaka Setia.
1998. Hlm. 57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar