BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Walaupun pada dasarnya Al-Qur’an diwahyukan secara lisan,
Al-Qur’an sendiri menyebut sebagai kitab tertulis, sebagaimana disebut dalam
surat al-An’am ayat:7 “ Dan kalau Kami
turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan
tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang kafir itu berkata: “Ini tidak lain
hanyalah sihir yang nyata.”
Ini
memberi petunjuk bahwa wahyu tersebut tercatat dalam tulisan. Pada dasarnya
ayat-ayat Al-Qur’an tertulis sejak awal perkembangan Islam, meski masyarakat
yang baru lahir itu masih menderita berbagai permasalahan akibat kekejaman yang
dilancarkan oleh kaum kafir Quraisy.
Al-Qur’an
sebagaimana yang dimiliki ummat Islam sekarang ternyata mengalami proses
sejarah yang cukup panjang dan upaya penulisan dan pembukuan (kodifikasi). Pada
zaman Nabi Muhammad SAW, Al-Qur’an belum dibukukan ke dalam satu mushaf.
Al-Qur’an baru ditulis dalam menggunakan kepingan-kepingan tulang,
pelapah-pelapah kurma dan batu-batu, sesuai dengan kondisi peradaban masyarakat
waktu itu yang belum mengenal adanya alat-alat tulis menulis, seperti kertas
dan pensil.
Allah
akan menjamin kemurnian dan kesucian Al-Qur’an, akan selamat dari usaha-usaha
pemalsuan, penambahan atau pengurangan-pengurangan sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Hijr: 9, dan juga dalam surat Al-Qiyamah:
17-19. Dalam catatan sejarah dapat dibuktikan bahwa proses kodifikasi dan
penulisan Qur’an dapat menjamin kesuciannya secara meyakinkan. Qur’an ditulis sejak
Nabi masih hidup. Begitu wahyu turun kepada Nabi, Nabi langsung memerintahkan
para sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya secara hati-hati. Begitu mereka
tulis, kemudian mereka hafalkan sekaligus mereka amalkan.
Dalam
makalah ini penulis akan menggambarkan sejarah kodifikasi/ pengumpulan
Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW dan setelah beliau wafat, baik pada masa Abu
Bakar- ash-Shiddiq hingga Utsman bin Affan, termasuk
kendala-kendala atau permasalahan yang muncul dalam proses penyusunan maupun
setelah pengumpulan Al-Qur’an.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Pengumpulan Al-qur’an pada
masa Nabi Muhammad Saw.
2.
Pengumpulan Al-qur’an pada
masa Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan.
3.
Perbedaan pengumpulan
Al-qur’an pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin
Affan.
4.
Tertib ayat dan surat dalam Al-qur’an.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui:
1.
Pengumpulan Al-qur’an pada
masa Nabi Muhammad SAW.
2.
Pengumpulan Al-qur’an pada
masa Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan.
3.
Perbedaan pengumpulan
Al-qur’an pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin
Affan.
4.
Tertip ayat dan surat
dalam Al-qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengumpulan Al
Qur’an Pada Masa Rasulullah SAW.
Pengumpulan ayat-ayat
Al-Qur’an di masa nabi SAW. terbagi atas dua kategori:
1)
Pengumpulan
dalam dada, dengan cara menghafal, menghayati, dan mengamalkan.
2)
Pengumpulan
dalam dokumen, dengan cara menulis pada kitab, atau diwujudkan dalam bentuk
ukiran.
1. Pengumpulan Al-Qur’an
dalam Dada (Hafalan)
Al-Qur’anul Karim
turun kepada nabi yang ummi (tidak
bisa baca tulis). Karena itu perhatian nabi hanya sekedar menghafal dan
menghayatinya, agar beliau dapat menguasai Al-Qur’an persis sebagaimana halnya
Al-Qur’an yang diturunkan. Setelah itu beliau membacakannya kepada umatnya
sejelas mungkin agara mereka pun dapat menghafal dan memantapkannya. Hal ini
karena Nabi pun diutus Allah dikalangan
ummi pula.
Allah berfirman yang artinya:
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta
huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah.” (QS: Al-Jumuah Ayat: 2). (Muhammad:1998)[1]
Nabi Muhammad
SAW. adalah orang yang pertama kali menghafal Al Qur’an dan para sahabat
mencontoh suri tauladannya, sebagai usaha menjaga dan melestarikan Al Qur’an.
Upaya pelestarian Al Qur’an pada masa nabi Muhammad SAW. dilakukan oleh
Rasulullah sendiri setiap kali beliau menerima wahyu dari Allah. Setelah itu,
beliau langsung mengingat dan menghafal serta menyampaikannya kepada para
sahabat. Lalu sahabat langsung menghafalnya dan menyampaikannya kepada keluarga
dan para sahabat lainnya. Tidak hanya itu, mereka para sahabat langsung
mempraktekkan perintah yang datang dari Allah melalui Rasul-Nya. Hal ini bisa
kita lihat pada ayat tentang turunnya hijab.
Dalam menerima
wahyu yang berupa Al Qur’an, Rasulullah SAW. sangat bersemangat untuk segera
menghafalnya. Suatu ketika beliau pernah menggerakkan bibir dan lidahnya untuk
membaca Al Qur’an tatkala wahyu turun kepadanya sebelum malaikat Jibril
menyelesaikan wahyu itu, sebagai upaya keras untuk menghafalnya. Dari kejadian
ini turunlah ayat QS. Al Qiyamah 75 : 16-19):
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk
(membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya
Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
penjelasannya”.
Di dalam ayat
lain, Allah Ta’ala berfirman :
“Maka Maha
Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa
membaca Al Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah:
“Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” ( QS. Thaha, 20 : 114 )
Rasulullah amat
menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu pernurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu
menghafal dan memahaminya, persis seperti dijanjikan Allah: Sesungguhnya atas
tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya (al-Qiyamah [75]:17). Oleh Karena itu, ia adalah hafiz (penghafal)
Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam
menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber
risalah. Qur’an diturunkan
selama dua puluh tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu
ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun,
dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrati
memang mempunyai daya hafal yang kuat. Hal itu karena umumnya mereka buta
huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair dan silsilah mereka
dilakukan dengan catatan dihati mereka.(Manna:2013)[2]
Para sahabat yang hafal Al-Qur’an pada masa Nabi SAW
tak terhitung jumlahnya. Antara lain, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, Zaid bin Tsabit, Amr bin Ash, Ibnu Zubair,
Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Aishah, Hafshah, Umma Salamah. Sahabat
penghafal Al-Qur’an yang mati syahid dalam perang Yamamah saja lebih dari 70
orang. Demikian pula yang mati syahid dalam peristiwa Bi’r Ma’unah juga sekitar
70 orang. Jadi jumlah pengahafal Al-Qur’an yang mati syahid pada dua perang itu
saja sekitar 140 orang. Jelaslah bahwa jumlah sahabat yang hafal Al-Qur’an
cukup banyak dan mencapai jumlah mutawatir, yaitu suatu jumlah dalam suatu
periwayatan dalil yang mustahil sepakat untuk berdusta.(Muhammad:2002)[3]
2. Pengumpulan Al-Qur’an
dalam Bentuk Tulisan
Keistimewaan
yang kedua dari Al-Qur’an Karim ialah pengumpulan dan penulisannya dalam
lembaran. Rasulullah SAW. Mempunyai beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap
turun ayat Al-Qur’an, beliau memerintahkan kepada mereka untuk menulisnya dalam
rangka memperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap
kitab Allah Azza Wa Jalla, sehingga
penulisan tersebut dapat memudahkan penghafalan dan memperkuat daya ingat.
Meskipun menulis bukan
keahlian umum di masa Nabi, di Makkah, yang menjadi pusat perdagangan, terdapat
sejumlah orang yang bisa menulis. Al-Qur’an ditulis oleh sejumlah juru tulis
baik atas inisiatif sendiri maupun atas instruksi dari Nabi, yang memanggil
seorang juru tulis tiap kali setelah wahyu turun.(Farid:2002)[4]
Meskipun mayoritas umat islam percaya bahwa Nabi buta huruf, yang menjadi
bukti kemukjizatan Al-Qur’an kepercayaan ini
tidak sepenuhnya bebas dari perdebatan. Bagaimanapun, tidak ada bukti yang menyatakan
bahwa Nabi terlibat dalam penulisan al-Qur’an yang sesungguhnya.
Para penulis
wahyu tersebut adalah para sahabat pilihan Rasul dari kalangan sahabat yang
terbaik dan indah tulisannya sehinnga mereka benar-benar dapat mengemban tugas
yang mulia ini. Diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz
bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin, dan sahabat-sahabat
lain. (Muhammad:1998)[5]
Para sahabat senantiasa menyodorkan
Qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.
Tulisan-tulisan Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf; yang
ada pada seseorang belum tentu dimiliki oleh yang lain. Zaid bin Sabit
mengatakan: “Rasulullah telah wafat, sedang Qur’an belum dikumpulkan sama sekali.”
Maksudnya ayat-ayat dan surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam
satu mushaf.
Al-Khattabi berkata: Rasulullah tidak
mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh
terhadap sebagian hukum-hukum atau membacanya. Sesudah berakhir masa turunnya
dengan wafatnya Rasulullah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara
lengkap kepada pada Khulafa’ur Rasyidin
sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada umat ini tentang jaminan
pemeliharaannya. Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas
pertimbangan usulan Umar. (Manna:2013)[6]
Cara-cara
penulisan
Adapun cara mereka menulis Al-Qur’an adalah
menggunakan pelepah-pelepah kurma, kepingan batu, kulit/daun kayu, tulang
binatang dan-sebagainya. Hal itu karena belum ada pabrik
kertas di kalangan orang Arab. (Muhammad:1998)[7]
Ini menunjukkan
betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menuliskan Qur’an.
Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut.
Dan dengan demikian, penulisan Qur’’an ini semakin menambah hafalan mereka.(Manna:2013)[8]
Pengumpulan
Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW. Terdiri dari dua kategori, pertama:
Pengumpulan Hadits dalam dada, maksudnya dengan cara menghafal. Rasulullah SAW. adalah orang yang pertama kali menghafal Al
Qur’an dan para sahabat mencontoh suri tauladannya, sebagai usaha menjaga dan
melestarikan Al Qur’an. Upaya pelestarian Al Qur’an pada masa nabi Muhammad
SAW. dilakukan oleh Rasulullah sendiri setiap kali beliau menerima wahyu dari
Allah. Setelah itu, beliau langsung mengingat dan menghafal serta
menyampaikannya kepada para sahabat. Lalu sahabat langsung menghafalnya dan
menyampaikannya kepada keluarga dan para sahabat lainnya. Tidak hanya itu, mereka
para sahabat langsung mempraktekkan perintah yang datang dari Allah melalui
Rasul-Nya. Kedua: Pengumpulan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan. Rasulullah SAW.
Mempunyai beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Al-Qur’an, beliau
memerintahkan kepada mereka untuk menulisnya dalam rangka memperkuat catatan
dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap kitab Allah Azza Wa Jalla, sehingga penulisan
tersebut dapat memudahkan penghafalan dan memperkuat daya ingat.
B.
Pengumpulan Al
Qur’an Pada Masa Khulafaur Rasyidin
1. Abu Bakar
Ash-Shiddiq
Setelah Rasulullah SAW. wafat, Abu Bakar As
Shiddiq terpilih menjadi Khalifah dan pemimpin kaum muslimin. Pada masa
Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dilakukan kodifikasi terhadap naskah Al-Qur’an
yang telah ditulis pada masa Nabi. Karakter kodifikasi Al-Qur’an pada masa ini
ditandai dengan penyusunan Al-Qur’an dalam suatu naskah secara rapi dan
berurutan; di mana suatu surah dapat dibaca secara sempurna dalam satu naskah
karena ia tidak tersebar dalam lembaran-lembaran yang berbeda.(Kadar:2012)[9]
Pada masa kekhalifahannya, banyak terjadi
kekacauan dan peristiwa yang di timbulkan oleh orang-orang murtad, pengikut nabi
palsu Musailamah Al Kadzab. Kondisi inilah yang mengakibatkan terjadinya perang
Yamamah yang terjadi pada tanggal 12 H. Dalam pertempuran itu, banyak sekali
sahabat pembaca dan penghafal Al Qur’an yang gugur di medan perang. Data yang
tercatat , menunjukkan 70 sahabat dari para penghafal Al Qur’an. Riwayat
lain ada yang menyebutkan bahwa jumlah sahabat yang gugur di medan perang
sebanyak 500 sahabat. Umar bin Khattab
merasa sangat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan
mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an karena
dikhawatirkan akan musnah. Sebab perang Yamamah telah banyak membunuh para
qari.
Di
segi lain Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan di tempat-tempat lain akan membunuh banyak
qari pula sehingga Qur’an akan hilang dan musnah. Abu Bakar menolak usulan ini
dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk
menerima usulan Umar tersebut. Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Sabit,
mengingat kedudukannya dalam qira;at, penulisan, pemahaman dan kecerdasannya
serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali. Abu Bakar menceritakan
kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya Zaid menolak seperti
halnya Abu Bakar waktu itu. Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya
Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Qur’an itu. Zaid bin
Sabit memulai tugasnya yang berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada
pada hati para qurra dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian
lembaran-lembaran (kumpulan) itu disimpan ditangan Abu Bakar. (Manna:2013)[10]
2. Pada Masa Umar bin Khattab
peristiwa yang
mengakibatkan banyak penghafal yang gugur itulah Umar bin Khattab Dari meminta kepada Khalifah
Abu Bakar Ash Shiddiq agar Al Qur’an segera di kumpulkan dan di tulis dalam
sebuah kitab yang nantinya dinamakan dengan mushaf. Usulan ini disampaikan
karena beliau merasa cemas dan khawatir bahwa Al Qur’an sedikit demi sedikit
akan musnah bila hanya mengandalkan hafalan, apalagi para penghapal Al
Qur’an semakin berkurang dengan banyaknya mereka yang gugur di medan
perang.
Semula Khalifah Abu Bakar
merasa ragu untuk menerima gagasan Umar bin Khattab itu, sebab Rasulullah SAW.
tidak pernah memerintahkan untuk mengumpulkan Al Qur’an kepada kaum muslimin. Sehingga suatu
saat Allah membukakan hati Abu Bakar dan menerima gagasan itu
setelah betul-betul mempertimbangkan kebaikan dan manfaatnya. Abu Bakar ra tahu
bahwa dengan mengumpulkan Al Qur’an sebagaimana yang diusulkan oleh Umar bin
Khattab sarana yang sangat penting untuk menjaga kitab suci Al Qur’an dari
kemusnahan, perubahan dan penyelewengan.
(Muhammad:1998)[11]
Setelah Abu Bakar wafat pada
tahun 13 H, lembaran-lembaran itu berpindah ke tangan Umar dan tetap berada
ditangannya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ke tangan Hafsah,
putri Umar.
(Manna:2013)[12]
3. Pada Masa
Ustman bin Affan
Pada masa kepemimpinan
Utsman, daerah kekuasaan Islam telah meluas, orang-orang islam telah terpencar
di berbagai daerah. Dan di masing-masing daerah berkembang bacaan(qiraah)
sesuai dengan bacaan dari sahabat yang mengajar mereka. Penduduk Syam membaca
Al-Qur’an mengikuti bacaan Ubay bin Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abu
Musa Al-Asy’ari. Akibatnya, muncul diantara mereka perbedaan tentang bunyi
huruf dan bacaan. Tidak jarang masalah ini menimbulkan pertikaian dan
perpecahan. Bahkan akibat perbedaan qiraah dalam membaca Al-Qur’an, satu sama
lain saling mengkufurkan.
Karena latar belakang
tersebut Utsman dengan ketepatan pandangannya berpendapat untuk melakukan
tindakan preventif. Ia mengumpulkan sahabat-sahabat yang terkemuka dan cerdik
cendekiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah (perpecahan) dan
perselisihan. Mereka semua sependapat agar Amirul Mu’minin menyalin dan
memperbanyak mushaf kemudian
mengirimkannya ke segenap daerah dan kota dan selanjutnya menginstruksikan agar
orang-orang membakar mushaf yang lainnya sehingga tidak ada lagi jalan yang
membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan Al-Qur’an.
Utsman menugaskan kepada
empat orang sahabat pilihan yang hafalannya dapat diandalkan, yakni Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al’Ash dan Abdurrahman bin Al Harits bin
Hisyam. Utsman lalu meminta kepada Hafshah binti Umar agar ia sudi meminjamkan
mushaf yang ada padanya sebagai hasil pengumpulan pada masa Abu Bakar, untuk
disalin dan diperbanyak. Dan setelah selesai akan dikembalikan lagi. Hafshah
mengabulkannya. Setelah selesai kemudian
Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan
hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan
untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya. (Muhammad:2002)[13]
Utsman r.a melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat ra. yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali ra. bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa
yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta pendapat kami
semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan
manusia hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi perpecahan dan
perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu itu”. Mush’ab Ibn
Sa’ad mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakar
mushaf-mushaf yang ada, merekapun
keheranan melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka
yang mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin
Utsman Ibn Affan r.a yang disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah
Rasulullah SAW. Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. (Rosihon:2013)[14]
Keterangan ini menunjukkan
bahwa apa yang dilakukan Usman itu telah disepakati oleh para sahabat.
Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Qur’an
seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu qiraat. Dan usman telah
mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada Hafsah, lalu dikirimkannya
pula ke setiap wilayah masing-masing satu mushaf, dan ditahannya satu mushaf
untuk di Madinah, yaitu mushafnya sendiri yang kemudian dikenal dengan nama
“Mushaf Imam”. (Manna:2013)[15]
Pengumpulan Al-Qur’an pada
masa Abu Bakar Ash-Shiddiq ditandai dengan
penyusunan Al-Qur’an dalam suatu naskah secara rapi dan berurutan; di mana
suatu surah dapat dibaca secara sempurna dalam satu naskah karena ia tidak
tersebar dalam lembaran-lembaran yang berbeda. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Umar bin Khattab, Dari peristiwa yang
mengakibatkan banyak penghafal yang gugur itulah Umar bin Khattab meminta kepada Khalifah Abu
Bakar Ash Shiddiq agar Al Qur’an segera di kumpulkan dan di tulis dalam sebuah
kitab yang nantinya dinamakan dengan mushaf. Pengumpulan Al-Qur’an pada
masa Utsman adalah menyalinnya dalam satu huruf di antara ke tujuh huruf itu
untuk mempersatukan kaum muslimin dalam satu mushaf dan dan satu huruf yang
mereka baca tanpa keenam huruf lainnya.
Dari nash-nash yang terdahulu maka nampak dengan jelas bahwa pengumpulan
al-Qur'an pada zaman khalifah Abu Bakar r.a berbeda dengan
pengumpulan di zaman 'khalifah Utsman r.a dari sisi faktor pendorong
(motivasi) dan caranya.
Pengumpulan al-Qur'an
pada zaman khalifah Abu Bakar r.a dilakukan dengan mengumpulkan
(memindahkan) catatan-catatan al-Qur'an yang terpisah-pisah yang ada di kulit
binatang, tulang belulang, dan pelepah kurma. Lalu dikumpulkan dalam satu
mushaf, yang ayat-ayat dan surat-suratnya tersusun rapi. Sedangkan, Pengumpulan
al-Qur'an versi khalifah Utsman r.a yaitu dengan menyalin salah
satu huruf dari tujuh huruf al-Qur'an, supaya kaum Muslimin
bersatu di atas mushaf yang satu.
Pengumpulan pada masa Abu Bakar dilatarbelakangi
oleh banyaknya huffazh yang gugur. Sedangkan pengumpulan pada masa Utsman
dipicu oleh adanya perbedaan dalam hal bacaan (qiraah) Al-Qur’an.
Pengumpulan yang dilakukan pada masa Abu Bakar dilaksanakan dengan cara
mengumpulkan berbagai tulisan dan lembaran Al-Qur’an yang ditulis oleh para
penulis wahyu dihadapan Nabi SAW. Pada satu tempat. Sedang pengumpulkan pada masa Utsman dilakukan
dengan cara menyalin kembali apa yang telah terkumpul pada masa Abu Bakar
menjadi beberapa salinan, lalu dikirimkan ke seluruh wilayah pemerintahan
Islam. Jadi, jelas sekali bahwa Al-Qur’an yang ada sekarang sama dengan yang
ada pada masa Utsman, sama dengan mushaf yang ada pada masa Abu Bakar, dan sama
dengan Al-Qur’an yang ditulis dan dihafal pada zaman Rasulullah SAW. Yang
diwahyukan oleh Allah SWT. Melalui malaikat Jibril AS kepada Rasulullah SAW. (Muhammad:2002)[16]
Ibnut Tin dan yang lain mengatakan: “Perbedaan
antara pengumpulan Abu Bakar dengan Usman ialah bahwa pengumpulan yang
dilakukan Abu bakar disebabkan oleh kekhawatiran akan hilangnya sebagian Qur’an
karena kematian par penghafalnya, sebab ketika itu Qur’an belum terkumpul di
satu tempat. Lalu Abu bakar mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran dengan
menertibkan ayat-ayat dan surahnya, sesuai dengan petunjuk Rasulullah kepada
mereka. Sedang pengumpulan Usman disebabkan banyaknya perbedaan dalam hal
qiraat, sehingga mereka membacanya menurut logat mereka masing-masing dengan bebas
dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling menyalahkan. Karena khawatir akan
timbul ‘bencana’, Usman segera memerintahkan menyalin lembaran-lembaran itu ke
dalam satu mushafdengan menertibkan/menyusun surah-surahnya dan membatasinya
hanya pada bahasa Quraisy saja dengan alasan bahwa Qur’an diturunkan dengan
bahasa mereka(Quraisy). Sekalipun pada mulanya memang diijinkan membacanya
dengan bahsa selain Qurisy guna menghindari kesulitan. Dan menurutnya keperluan
demikian ini sudah berakhir, karena itulah ia membatasinya hanya pada satu
logat saja.
Para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah jumlah mushaf yang
dikirimkan oleh khalifah Utsman r.a ke pelosok negeri antara lain :.
Pertama: Ada yang
mengatakan: Jumlahnya ada 7, dikirimkan ke Mekah, Syam, Bashroh (daerah
di Iraq), Kufah(daerah di Iraq), Yaman, Bahrain, dan Madinah.
Kedua: Ada yang mengatakan: jumlahnya ada empat; Iraq(dikirim
untuk penduduk Iraq), Syam, Mishri (untuk penduduk
Mesir), dan Mushaf al-Imam (yang disimpan di Madinah). AtauKufi (untuk
penduduk Kufah), Bashri (untuk penduduk Bashroh),dan Syami.
Ketiga: Ada yang
mengatakan jumlahnya ada lima, dan imam as-Suyuthi rahimahullah berpendapat
bahwa ini adalah pendapat yang masyhur. (Manna:2013)[17]
Perbedaan pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar dengan Utsman yaitu: Pengumpulan pada masa Abu Bakar
dilatarbelakangi oleh banyaknya huffazh yang gugur. Sedangkan pengumpulan pada masa Utsman dipicu
oleh adanya perbedaan dalam hal bacaan (qiraah) Al-Qur’an. Pengumpulan
yang dilakukan pada masa Abu Bakar dilaksanakan dengan cara mengumpulkan
berbagai tulisan dan lembaran Al-Qur’an yang ditulis oleh para penulis wahyu
dihadapan Nabi SAW. Pada satu tempat. Sedang
pengumpulkan pada masa Utsman dilakukan dengan cara menyalin kembali apa
yang telah terkumpul pada masa Abu Bakar menjadi beberapa salinan, lalu
dikirimkan ke seluruh wilayah pemerintahan Islam.
D. Tertib Ayat-ayat dan Surat Dalam Al-Qur'an
A.
Pengertian
Tertib susunan ayat Al-Qur’an menurut jumhur adalah taufiqi (ketentuan
dari Allah) bukan ijtihadi Rasulullah atau para penyusun Mushaf Al-Qur’an.
As-Suyuthi berkata : “Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah
dan menunjukkan kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam
surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan
kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau
mengatakan kepada mereka : “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang
didalamnya disebutkan begini dan begini,” .
Mengenai
susunan surat ini berbeda-beda pendapat ulama’
a)
Ada yang mengatakan bahwa susunan
surat ini adalah taufiqi, terserah pada nabi SAW menurut apa yang di
beritahukan oleh jibril tentang perintah tuhannya.
b)
Adapula yang mengatakan bahwa
susunan surat itu berasalkan ijtihad sahabat. Alasannya ialah karena susunan
mushaf itu berbeda-beda.
c)
Ada yang mengatakan bagian surat
itu susunannya taufiqiyah dan sebagian
lagi adalah hasil ijtihad sahabat.(Mana’ul:1993)[18]
Al-Kirmani dalam kitab Al-Burhan mengatakan
: “Tertib surah seperti yang kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah
pada Lauhful Mahfud, Al-Qur’an sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini
pula Nabi membacakan dihadapan Malaikat Jibril setiap tahun di bulan Ramadhan
apa yang telah dikumpulkannya dari Jibril itu. Pada tahun ke wafatannya Nabi
membacakannya dihadapan Jibril dua kali.
B.
SURAH-SURAH DAN AYAT-AYAT
AL-QUR’AN
Dalam skema pembagian lain,
Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal
dengan nama الجزٔ (Juz). Pembagian
ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30
hari (satu bulan).
Pembagian lain yakni Manzil memecah Al-Qur'an menjadi
7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua
jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan
tertentu.
Dari segi panjang-pendeknya
surat, 114 surat dalam 30 juz tersebut dibagi dalam 4 (empat) bagian, yaitu:
·
Ath-Thiwaal (as-sab’uth thiwaal) : adalah
tujuh surat awal yang panjang-panjang yaitu : Al-Baqarah [2] Ali
‘Imran [3] An-Nisaa’ [4] Al-Maa'idah [5] Al-An’am
[6] Al-A’raaf [7]Al-Anfal [8] dan At-Taubah [9] sekaligus. Sebagian ada yang mengatakan yang
ke-tujuh surah Yunus.
Surat-surat yang panjang,
terbagi atas sub-sub bagian lagi yang disebut Ruku' yang
membahas tema atau topik tertentu.
·
Al-Mi’un : yaitu surah-surah yang
ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
Contoh: Surat Huud [11], Yusuf [12], An-Nahl [16], Al-Mu'min [40], dll.
Contoh: Surat Huud [11], Yusuf [12], An-Nahl [16], Al-Mu'min [40], dll.
·
Al-Masani : yaitu surah-surah yang
jumlah ayatnya dibawah Al-Mi’un. Dinamakan Masani, karena surah itu
diulang-ulang bacaannya lebih banyak dari Ath-Thiwaal dan Al Mi’un.
Contoh: Al-Hijr [15], Maryam [19], An-Naml [27], dll.
Contoh: Al-Hijr [15], Maryam [19], An-Naml [27], dll.
·
Al-Mufassal :
yaitu surah yang dimulai dari surah Qaaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari
surah Al-Hujuraat. Dinamai Mufassal karena banyaknya pemisahan fasl (pemisahan)
diantara surah-surah tersebut dengan basmallah. (Manna:2013)[19]
Mengenai
susunan surat ini berbeda-beda pendapat ulama’
a.
Ada yang mengatakan bahwa susunan
surat ini adalah taufiqi, terserah pada nabi SAW menurut apa yang di
beritahukan oleh jibril tentang perintah tuhannya.
b.
Adapula yang mengatakan bahwa
susunan surat itu berasalkan ijtihad sahabat. Alasannya ialah karena susunan
mushaf itu berbeda-beda.
c.
Ada yang mengatakan bagian surat
itu susunannya taufiqiyah dan sebagian
lagi adalah hasil ijtihad sahabat
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengumpulan
Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW. Terdiri dari dua kategori, pertama:
Pengumpulan Hadits dalam dada, maksudnya dengan cara menghafal. Rasulullah SAW. adalah
orang yang pertama kali menghafal Al Qur’an dan para sahabat mencontoh suri
tauladannya, sebagai usaha menjaga dan melestarikan Al Qur’an. Upaya
pelestarian Al Qur’an pada masa nabi Muhammad SAW. dilakukan oleh Rasulullah
sendiri setiap kali beliau menerima wahyu dari Allah. Setelah itu, beliau
langsung mengingat dan menghafal serta menyampaikannya kepada para
sahabat. Lalu sahabat langsung menghafalnya dan menyampaikannya kepada keluarga
dan para sahabat lainnya. Tidak hanya itu, mereka para sahabat langsung
mempraktekkan perintah yang datang dari Allah melalui Rasul-Nya. Kedua: Pengumpulan
Al-Qur’an dalam bentuk tulisan. Rasulullah SAW. Mempunyai beberapa orang
sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Al-Qur’an, beliau memerintahkan kepada
mereka untuk menulisnya dalam rangka memperkuat catatan dan dokumentasi dalam
kehati-hatian beliau terhadap kitab Allah Azza
Wa Jalla, sehingga penulisan tersebut dapat memudahkan penghafalan dan
memperkuat daya ingat.
Pengumpulan Al-Qur’an pada
masa Abu Bakar Ash-Shiddiq ditandai dengan penyusunan Al-Qur’an dalam suatu
naskah secara rapi dan berurutan; di mana suatu surah dapat dibaca secara
sempurna dalam satu naskah karena ia tidak tersebar dalam lembaran-lembaran
yang berbeda. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Umar bin Khattab, Dari peristiwa
yang mengakibatkan banyak penghafal yang gugur itulah Umar bin Khattab meminta kepada Khalifah Abu
Bakar Ash Shiddiq agar Al Qur’an segera di kumpulkan dan di tulis dalam sebuah
kitab yang nantinya dinamakan dengan mushaf. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Utsman adalah
menyalinnya dalam satu huruf di antara ke tujuh huruf itu untuk mempersatukan
kaum muslimin dalam satu mushaf dan dan satu huruf yang mereka baca tanpa
keenam huruf lainnya.
Perbedaan pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar dengan Utsman yaitu: Pengumpulan pada masa Abu Bakar
dilatarbelakangi oleh banyaknya huffazh yang gugur. Sedangkan pengumpulan pada masa Utsman dipicu oleh
adanya perbedaan dalam hal bacaan (qiraah) Al-Qur’an. Pengumpulan yang
dilakukan pada masa Abu Bakar dilaksanakan dengan cara mengumpulkan berbagai
tulisan dan lembaran Al-Qur’an yang ditulis oleh para penulis wahyu dihadapan
Nabi SAW. Pada satu tempat. Sedang
pengumpulkan pada masa Utsman dilakukan dengan cara menyalin kembali apa
yang telah terkumpul pada masa Abu Bakar menjadi beberapa salinan, lalu
dikirimkan ke seluruh wilayah pemerintahan Islam.
Mengenai
susunan surat ini berbeda-beda pendapat ulama:
Ø Ada yang mengatakan bahwa susunan surat ini adalah taufiqi, terserah pada
nabi SAW menurut apa yang di beritahukan oleh jibril tentang perintah tuhannya.
Ø Adapula yang mengatakan bahwa susunan surat itu berasalkan ijtihad sahabat.
Alasannya ialah karena susunan mushaf itu berbeda-beda.
Ø Ada yang mengatakan bagian surat itu susunannya taufiqiyah dan sebagian lagi adalah hasil
ijtihad sahabat.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Rosihon.2013.Ulum Al-Qur’an.Bandung:Pustaka
Setia.
Ali, Muhammad Ash-Shaabuuniy.1998.Studi
Ilmu Al-Qur’an.Bandung:Pustaka Setia.
Khalil, Manna al-Qattan.2013.Studi
Ilmu-ilmu Qur’an.Bogor:Pustaka Litera AntarNusa.
M. Yusuf, Kadar.2012.Studi Al-Qur’an.Jakarta:Bumi
Aksara.
Ismail, Muhammad Yusanto.2002.Prinsip-prinsip
Pemahaman Al-Qur’an dan Al-Hadits.Jakarta:Khairul
Bayan.
Esack, Farid.2002.Samudera Al-Qur’an.Jogjakarta:Diva
Press.
Quthan, Mana’ul.1993.pembahasan ilmu Al-quran.Jakarta:PT
Rineka Cipta.
[1] Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy,1998,Studi Ilmu Al-Qur’an(Bandung:Pustaka Setia)hal.94
[2] Manna Khalil al-Qattan,2013,Studi Ilmu-ilmu Qur’an(Bogor:Pustaka
Litera AntarNusa)hal.179
[3]Muhammad Ismail Yusanto,2002,Prinsip-prinsip Pemahaman Al-Qur’an
dan Al-Hadits(Jakarta:Khairul Bayan)hal.46-47
[4] Farid Esack,2002,Samudera Al-Qur’an(Jogjakarta:Diva
Press)hal.151
[5] Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy,1998,Studi Ilmu Al-Qur’an(Bandung:Pustaka Setia)hal.98
[6] Manna Khalil al-Qattan,2013,Studi Ilmu-ilmu Qur’an(Bogor:Pustaka
Litera AntarNusa)hal.186-188
[7] Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy,1998,Studi Ilmu Al-Qur’an(Bandung:Pustaka Setia).hal.99
[8] Manna Khalil al-Qattan,2013,Studi Ilmu-ilmu Qur’an(Bogor:Pustaka
Litera AntarNusa)hal.186
[9] Kadar M. Yusuf,2012,Studi Al-Qur’an(Jakarta:Bumi
Aksara)hal.37
[10] Manna Khalil al-Qattan,2013,Studi Ilmu-ilmu Qur’an(Bogor:Pustaka
Litera AntarNusa)hal.189
[11] Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy,1998,Studi Ilmu Al-Qur’an(Bandung:Pustaka Setia)hal.100
[12] Manna Khalil al-Qattan,2013,Studi Ilmu-ilmu Qur’an(Bogor:Pustaka
Litera AntarNusa)hal.189
[13]Muhammad Ismail Yusanto,2002,Prinsip-prinsip Pemahaman Al-Qur’an
dan Al-Hadits(Jakarta:Khairul Bayan)hal.52-53
[14] Rosihon Anwar,2013,Ulum
Al-Qur’an(Bandung:Pustaka Setia)hal.44
[15] Manna Khalil al-Qattan,2013,Studi Ilmu-ilmu Qur’an(Bogor:Pustaka
Litera AntarNusa)hal.195-196
[16]Muhammad Ismail Yusanto,2002,Prinsip-prinsip Pemahaman Al-Qur’an
dan Al-Hadits(Jakarta:Khairul Bayan)hal.54
[17] Manna Khalil al-Qattan,2013,Studi Ilmu-ilmu Qur’an(Bogor:Pustaka
Litera AntarNusa)hal.198-199
[18] Mana’ul Quthan,1993,pembahasan ilmu Al-quran(Jakarta:PT
Rineka Cipta)hal.157-158
[19] Manna Khalil al-Qattan,2013,Studi Ilmu-ilmu Qur’an(Bogor:Pustaka
Litera AntarNusa)hal.213
Tidak ada komentar:
Posting Komentar