Pages

Senin, 08 Agustus 2016

BIOGRAFI ABU AL-HASAN ‘ALI IBN ISMA’IL AL-ASY’ARI DAN PEMIKIRANNYA



TEOLOGI ISLAM
ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI DAN PEMIKIRANNYA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester (UTS)
Dosen Pembimbing : Khusnudin,S.Pi,M.Ei
Disusun Oleh : NUR IZZAH MAULIDINA (13510033)

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN PELAJARAN 2013/2014

1. RIWAYAT HIDUP SINGKAT ABU AL-HASAN ‘ALI IBN ISMA’IL AL-ASY’ARI
            Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il al-Asy’ari lahir di Basrah di tahun 873 M dan wafat di Bagdad pada tahun 935 M. Sejak kecil Abul Hasan telah yatim. Kemudian ibunya menikah dengan seorang tokoh Mu'tazilah bernama Abu 'Ali Al Jubba'i. Beliau (Abul Hasan) seorang yang cerdas, hafal Al Qur'an pada usia belasan tahun dan banyak pula belajar hadits. Selama hampir 40 tahun, beliau menjadi penganut Mu'tazilah yang setia mengikuti gurunya seorang tokoh Mu'tazilah yang juga ayah tirinya. Ia mempelajari aliran ini hingga mencapai tingkatan atas dalam mengkaji ajarannya. Hingga tak jarang ia menggantikan guru-gurunya untuk memberi ceramah dan menghadiri perdebatan-perdebatan ilmiah. Pada masa itu ia banyak mengarang kitab yang membela ajaran Mu‘tazilah. Untuk membekali ilmu agamanya, ia belajar fikh pada Abu Ishaq al-Marwazi. Yang kelak gurunya ini belajar Ilmu Kalam kepadanya.
            Tetapi oleh sebab-sebab yang tidak begitu jelas, al-Asy’ari yang telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah.Sebab yang biasa disebut, yang berasal dari al-Subki dan ibn ‘Asakir, ialah bahwa pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi; dalam mimpi itu nabi Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli hadislah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah. Sebab lain bahwa al-Asy’ari berdebat dengan gurunya al-Jubba’I dan dalam perdebatan itu guru tak menjawab tantangan murid.
            Salah satu perdebatan itu, menurut al-Subki, berlaku sebagai berikut :
Al-Asy’ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: Mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat?
Al-Jubba’I : Yang mukmin mendapat tingkat baik di surga, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy’ari : Kalau yang kecil ingin mendapat tempat yang lebih tinggi di surga, mungkinkah itu?
Al-Jubba’I : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada tuhan.
Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang serupa itu.
Al-Asy’ari : Kalau anak itu mengatakan kepada tuhan: itu bukanlah salahku. Jika sekiranya engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.
Al-Jubba’i : Allah akan menjawab, “aku tahu bahwa jika engkau terus hidup engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab.
Al-asy’ari : Sekiranya yang kafir mengatakan : Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya engkau tidak jaga kepentinganku?
            Di sini al-Jubba’i terpaksa diam.
            Terlepas dari soal sesuai atau tidak sesuainya uraian-uraian al-Subki di atas dengan fakta sejarah, jelas kelihatan bahwa al-Asy’ari sedang dalam keadaan ragu-ragu dan tidak merasa puas lagi dengan aliran Mu’tazilah yang dianutnya selama ini. Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa al-Asy’ari mengasingkan diri dirumah selama lima belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Dengan wajah sayu, lelaki paruh baya itu melangkah gontai ke masjid jamik Basrah untuk menghadiri Salat Jumat. Wajahnya tidak dapat menyembunyikan gejolak batin yang sedang menderanya. Lima belas hari sudah ia menyendiri di rumahnya yang sederhana. Usai pelaksanaan salat, dengan langkah tegap penuh keyakinan, ia menaiki mimbar masjid. Ia pandangi seluruh penjuru masjid, lalu dengan lantang ia berkata:
“Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir tentang keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang diberikan masing-masing golongan. Dalil-dalil yang dimajukan, Dalam penelitian saya, sama kuatnya. Oleh karena itu saya meminta petunjuk dari allah dan atas petunjuk-Nya saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan baru yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini.”
            Spontan seluruh hadirin kaget. Betapa tidak, lelaki yang berdiri di depan mereka itulah yang digadang-gadang menjadi salah satu generasi emas kelompok Mu‘tazilah (Rasionalis) kala itu. keputusan mengejutkan ini menjadi topik hangat setiap pembicaraan di seluruh sudut kota Basrah. Penduduk Basrah pun mulai mencoba mereka-reka alasan lelaki itu hengkang dari kelompok ini. Mereka semua mafhum kalau sejak kecil, ia memang dipersiapkan untuk membentengi kelompok rasionalis ini. Tak ada yang mengira kalau lelaki hebat ini kelak justru menyerang dan membleteti ajaran-ajaran kelompok yang membesarkannya.
            Di sini timbul sial apa sebenarnyayang menimbulkan perasaan syak dalam diri al-Asy’ari yang kemudian mendorongnya untuk meninggalkan pahan Mu’tazilah? Berbagai tafsiran diberikan untuk menjelaskan hal ini.Menurut ahmad Mahmud subhi syak itu timbul karena al-asy’ari menganut mazhab Syafi’i. Al-syafi’i mempunyai pendapat teologi yang berlainan dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah, umpamanya al-syafi’I berpendapat bahwa al-Qur’an tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa tuhan dapat dilihat di akhirat nanti.
            Menurut Hammudah Ghurabah ajaran-ajaran seperti yang diperoleh al-asy’ari dari al-jubba’i, menimbulkan persoalan-persoalan yang tak mendapat penyelesaian yang memuaskan.Umpamanya soal mukmin, kafir dan anak kecil tersebut diatas. Dari kalangan kaum orientalis, Mac Donald berpendapat bahwa darah arab padang pasir yang mengalir dalam tubuh al-asy’ari yang mungkin membawanya kepada perubahan mazhab itu. Arab padang pasir bersifat tradisional dan fatalistis sedang kaum Mu’tazilah bersifat rasional dan percaya pada kebebasan dalam kemauan dan perbuatan. Spitta menganggap bahwa al-asy’ari setelah mempelajari hadits melihat perbedaan yang terdapat antara ajaran-ajaran Mu’tazilah dan “Spirit Islam”. Yang dimaksud Spitta dengan “spirit islam”  kelihatannya ialah islam sebagai digambarkan dalam hadis.
            Bagaimanapun interpretasi-interpretasi seperti yang di majukan diatas tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Pendapat-pendapat itu menimbulkan persoalan lain pula: apa sebabnya sesudah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah baru al-Asy’ari merasa hal-hal tersebut di atas? Dan kemudian menukar mazhab?
            Tetapi bagaimanapun al-asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah seketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah al-mutawakkil membatalakan putusan al-ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab Negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah al-mutawakkil menunjukkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn Hanbal, lawan terbesar di waktu itu, sekarang keadaan menjadi terbalik; Ibn Hanbal dan pengikut-pengikutnya, menjadi golongan yang dekat dengan pemerintah, sedangakan kaum Mu’tazilah menjadi golongan yang jauh dari Dinasti Bani Abbas. Umat islam yang tak setuju dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah selama ini mulai merasa bebas untuk menyerang mereka. Dalam keadaan serupa ini timbul pula perpecahan di dalam golongan Mu’tazilah sendiri.Bahkan sebagian pemuka-pemuka meninggalkan barisan Mu’tazilah seperti Abu ‘Isa al-Warraq dan Abu al-Husain Ahmad Ibn al-Rawandi.
            Dalam suasana demikianlah al-asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadis. Di sini timbul pertanyaan, apakah tidak mugkin bahwa al-asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah, karena melihat bahwa aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima oleh umumnya umat islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran-pemikiran? Dan pada waktu itu tidak ada aliran teologi lain yang teratur sebagai gantinya untuk menjadi pegangan mereka. Dengan kata lain, tidakkah mungkin bahwa al-asy’ari melihat bahayanya bagi umat islam kalau mereka ditinggalkan tidak mempunyai pegangan teologi yang teratur. Rasanya hal inilah, ditambah dengan perasaan syak tersebut di atas yang mendorong al-asy’ari untuk meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan membentuk teologi baru setelah puluhan tahun ia menjadi penganut setia aliran Mu’tazilah.
            Al-asy’ari adalah orang yang mendirikan aliran (al-asy’ariyah). Aliran ini ia dirikan berlandaskan asas perpaduan antara kaum salaf dengan Mu’tazilah. Sebagai bukti, porsi problematika sifat-sifat tuhan dengan perpaduan ini nampak begitu jelas. Di satu pihak, sependapat dengan kaum salaf, al-asy’ari meneguhkan sifat-sifat tuhan. Sedangkan pada posisi lain, sependapat dengan kaum Mu’tazilah, al-asy’ari mengatakan bahwa sifat-sifat itu ada pada dzat. Akan tetapi al-asy’ari mengulang kembali apa yang telah dikatakan oleh Ibn kilab bahwa “Tidak boleh dikatakan bahwa dzat itu adalah sifat-sifat”. Ini merupakan pernyataan yang tidak terlepas dari kontradiksi, dan bagaimanapun juga ia tidak mengemukakan banyak hal. Al-asy’ari tidak bisa mengingkari apa yang disebut di dalam kitab allah dan al-sunnah bahwa allah punya singgasana, wajah dan tangan, tetapi ia menerima, sejalan dengan pandangan kaum salaf, apa adanya dengan tanpa bagaimana (cara) dan tasybih (mengantropomorfiskan), atau terkadang ia takwilkan sejalan dengan kaum Mu’tazilah. Al-asy’ari berusaha keras untuk menggunakan dalil-dalil naqliyah dan aqliyah yang kokoh untuk memungkinkan melihat allah dengan cara menberikan kesan kepada kita seakan ia berbeda pendapat dari kaum mu’tazilah, kemudian segera menetapkanbahwa peristiwa melihat allah tidak mengkosekuensikan arah dan ruang, tetapi hanya sekedar merupakan jenis pengetahuan dan persepsi, yang jalannya adalah mata dengan cara yang tidak biasa seperti di dunia. Al-asy’ari juga mengmbil sikap tengan dalam maslah sikap kalam (allah maha berfirman). Untuk itu ia menggunakan istilah kalam dalam dua pengertian:”yang dimaksud dengan kalam adalah al-ma’na al-nafsi al-qo’im bi al-zat (pengertian kalam yang ada pada dzat). Sifat ini dikaitkan kepada allah, adalah eternal dan azali. Sifat kalam ini juga dipergunakan pada suara-suara dan huruf-huruf yang menyampaikan pengertian ini. Secara tidak diragukan lagi adalah temporal (hadisah). Dengan teori ini problematika “apakah al-Qur’an itu makhluk” bisa dipecahkan dengan penyelesaian yang ringan dan mudah. Sependapat dengan mu’tazilah, al-asy’ari menetapkan bahwa allah maha adil. Namun, sependapat dengan kaum salaf, al-asy’ari menolak pandanagn yang mengharuskan allah untuk melakukan sesuatu, walaupun itu teori al-salah wa la-aslah (pandangan yang mengatakan bahwa allah harus melakukan yang baik dan yang terbaik), karena alaah bebas melakukan apa yang ia kehendaki. Akhirnya, al-asy’ari menerima teori yang dikemukakan oleh mu’tazilah bahwa akal bisa mengetahui kebaikan dan kejelekan yang ada didalam benda-benda, tetapi ini tidak diharuskan kecuali berdasarkan dalil naqli, karena setiap orang walaupun dengan akalnya bisa mengetahui allah tetapi pengetahuan ini diwajibkan kepadanya hanya atas perintah syara’.
            Itu merupakan perpaduan yang mahir, walaupun tidak terlepas dari kecaman-kecaman tertentu. Ia menjaga kesucian teks-teks agama, dengan tanpa melalaikan aspek akal yang mendukung dan memperkuat aqidah. Ia menghadapi titik perbedaan yang meragukan antara kaum salaf dan mu’tazilah mengenai topik ketuhanan, yang untuk ini ia mengajukan pemecahan yang bisa diterima oleh jiwa awam dan memuaskan tidak sedikit kalangan khusus, yang kemudian mulai mengakar seiring dengan perjalanan waktu bahkan menjadi aqidah yang dominan. Masalah ini dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang datang silih berganti. Mereka memperkuat dan membela. Secara umum mereka keluara dari garis itu hanya dalam maslah yang begitu terbatas, sehingga mereka terhindar dari perpecahan seperti yang pernah melanda mu’tazilah pertama. Dan secara sia-sia, kaum mu’tazilah belakangan berusaha untuk menyelamatkan diri dari perpecahan itu setelah waktu tidak mendukung.
            Setelah mengubah jalur akidahnya, ia mulai mengajar di masjid jamik Basrah. Tak hanya mengajar, ia juga menjawab semua permasalahan akidah yang datang dari berbagai pelosok daerah. Ia juga kembali menulis beberapa kitab. Sebanyak 55 judul kitab yang sudah ia karang. Semua karangannya ia kupas tuntas dalam kitabnya, al-Amd. Ia juga membantah teori-teori Aristoteles dalam kitabnya al-Samâ’ wa al-‘Âlam.
Lewat beberapa kitabnya, ia menentang tokoh-tokoh Mu‘tazilah seperti al-Jubba’i, al-Balkhi, al-Iskafi, Abi al-Hazil, Abi Hasyim, Wara’, dan lainnya. Bahkan ia mengarang kitab yang mengkritik dirinya sendiri ketika masih beraliran Mu‘tazilah.
Selain itu, Ia juga dikenal sebagai seorang sejarawan tentang perkembangan akidah Islam. Kemampuannya dalam mengurai sejarah bisa dilihat dalam kitabnya, Maqâlât al-Islâmîyîn. Yang cukup mengagumkan, ia juga seorang yang punya kemampuan di bidang fikih. Karya fikihnya antara lain, al-Qiyâs dan al-Ijtihâd. Ia juga meluangkan waktunya untuk mengarang tafsir yang konon ia karang ketika masih beraliran Mu‘tazilah. Dia sering berdebat melawan ulama-ulama Mu‘tazilah mengenai teori-teori Mu‘tazilah. Dalam berdebat, ia menggunakan senjata yang digunakan Mu‘tazilah, yaitu akal (rasio). Satu pendekatan ilmiah yang tidak disukai madzhab Hanbali. Jika melihat arah pemikirannya, sejatinya ia mengambil jalan moderat antara dua sisi ekstrem; Mu‘tazilah dan pengikut Ahmad bin Hanbal.
Bahkan dalam satu kesempatan, ia mengaku sebagai pengikut setia Ibnu Hanbal. Dalam salah satu tulisannya, ia berkata, “Ucapan kami yang terucapkan dan agama yang kami anut berpegang teguh pada Kitabullah, sunnah Nabi-Nya, riwayat Sahabat, Tabi’in, dan ahli Hadis. Kami sangat memegang teguh hal-hal tersebut, serta apa yang disampaikan Ibnu Hanbal. Orang-orang yang menentang pendapatnya menjauh, karena dia adalah imam yang memiliki kelebihan, kesempurnaan, dan diberi kebenaran oleh Allah ketika muncul kesesatan”
.
            Pemikiran-pemikiran al-Asy‘ari banyak diterima oleh semua lapisan umat Islam, karena sederhana dan tidak terpengaruh filsafat. Perkembangan alirannya sangat pesat. Hal itu disebabkan dukungan dari pemerintah dinasti Abbasyiah. Terutama pada masa kekuasaan al-Mutawakkil. Kemampuan al-Asy‘ari dalam mempertahankan pendapatnya dari serangan lawan juga membantu penyebaran ajarannya.
Pengikut al-Asy‘ari (lebih dikenal dengan sebutan al-Asyâ‘irah) mengalami tekanan keras pada zaman Buwayhi yang menganut Mu‘tazilah dan Syi‘ah. Namun, dengan kedatangan Bani Saljuk, komunitas ini kembali mendapat dukungan kuat dari pemerintah. Salah satunya dukungan dari menteri yang terkenal kala itu, Nizham al-Mulk (1063-1092). Pendapat-pendapat al-Asy‘ari banyak mendapat dukungan dari tokoh-tokoh besar Islam semisal, al-Ghazali, Abu Bakar Muhammad al-Baqillani, al-Isfirayaini, al-Qusyairi, al-Juwaini, dan as-Sanusi. Bahkan, dalam Ihya’, al-Ghazali menulis, “Jika anda mendapati kata ahlussunnah wal Jamaah, maka yang dimaksud adalah pengikut al-Asy‘ari dan al-Maturidi.”
2. Faktor-Faktor Penyebab Keluarnya Al Asy’ari Dari Mu’tazilah
            Ada beberapa faktor yang menyebabkan al Asy’ari keluar dari Mu’tazilah, diantaranya:
1.Al Asy’ari mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Mu’tazilah.
2.Al Asy’ari melakukan diskusi dengan gurunya al Jubba’i dan berakhir dengan ketidakmampuan al Jubba’i menjawab pertanyaan beliau.
Ditambah dengan kekejaman kaum penguasa yang bekerjasama dengan kelompok Mu’tazilah.
3.Al Asy’ari pada bulan Ramadhan bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan.
3. Pokok-Pokok Pemikiran Al-Asy‘ari
1.Membenarkan teori Mu‘tazilah tentang berbagai istilah dalam al-Quran seperti Yadul-lâh dan Wajhul-lâh yang menurutnya tidak harus digambarkan bahwa Allah memiliki tangan dan wajah.
2.Menentang Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa al-Quran adalah makhluk. Al-Asy‘ari sendiri dengan lantang menegaskan kalau kalamullah itu qadîm. Dengan menyodorkan dalil naqlî dan ‘aqlî dalam kitabnya, al-Luma‘ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Ziyâgh wa al-bida‘ dan al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah.
3.Menentang Mu‘tazilah yang berpandangan bahwa manusia bebas melakukan perbuatan yang diinginkannya (Jabariah/Fatalisme). Sedangkan menurutnya, semua perbuatan baik dan buruk bergantung kepada kehendak Allah yang menciptakan semua perbuatan hamba-Nya.
4.Menentang Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar tidak lagi mukmin dan juga bukan orang kafir. Menurut al-Asy‘ari, ia berada di tengah-tengah antara keduanya. Artinya, Ia tetap muslim tapi diancam dengan siksa neraka.
5.Dalam pandangan al-Asy‘ari, akal tidak memiliki kedudukan seperti yang diyakini Mu‘tazilah. Kelompok ini berpendapat bahwa kekuatan akal sanggup membedakan antara hal yang baik dan yang buruk. Sedangkan menurutnya, wahyu adalah satu-satunya perangkat untuk mengetahui Allah dan syariat-Nya. Akal hanya berguna untuk mengetahui saja, tidak lebih.
a. Pemikiran Al-Asy’ari Mengenai Ketuhanan
Ajaran-ajaran al-asy’ari dapat diketahui dari buku-buku yang ditulisnya, terutama dari Kitab al-Luma’ Fi al-Rad ‘ala ahlal-Ziagh wa al-Bida’ dan al-ibanah‘an Usul al-Dianah di samping buku-buku yang ditulis oleh para pengikutnya. Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah tentu ia berpendapat bahwa Tuhan mengetahui dengan Dzat-Nya, karena dengan demikian dzatnya adalah pengetahuan dan tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm) tetapiYang Mengetahui (‘Alim).Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya bukanlah dzatnya.Demikian pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
Al-Qur’an berlainan pula dengan pendapat al-Mu’tazilah, bagi al-Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, maka sesuai dengan ayat :
أانما قولنا لشيء ادا اردناه ان نكول له كن فيكون
Untuk penciptaan itu perlu kata kun. Dan untuk terciptanya kun ini perlu kata kun yang lain; begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang tak berkesudahan. Dan ini tak mungkin. oleh karena itu al-Qur’an tak mungkin diciptakan.
            Tuhan dapat dilihat di akhirat, demikian pendapat al-Asy’ari. Di antara alasan-alasan yang dikemukakannya, ialah bahwa sifat-sifat yang tak dapat diberikan kepada tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya tuhan. Sifat dapatnya tuhan dilihat tidak membawa pada hal ini; karena apa yang dapat diambil tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan. Dengan demikian kalau dikatakan tuhan dapat dilihat, itu tidak mesti berarti bahwa tuhan harus bersifat diciptakan.
            Perbuatan-perbuatan manusia, bagi al-Asy’ari, bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri, sebagai pendapat Mu’tazilah, tetapi diciptakan oleh tuhan. Perbuatan kufr adalah buruk, tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufr itu sebenarnya bersifat baik. Apa yang dikehendaki orang kafir ini tak dapat diwujudkannya. Perbuatan iman bersifat baik, tetapi berat dan sulit. Orang mukmin ingin supaya perbuatan iman itu janganlah berat dan sulit, tetapi apa yang dikehendakinya itu tak dapat diwujudkannya. Dengan demikian yang mewujudkan perbuatan kufr itu bukanlah orang kafir yang tak sanggup membuat kufr bersifat baik, tetapi tuhanlah yang mewujudkannya dan tuhan memang berkehendak supaya kufr bersifat buruk.
Demikian pula, yang menciptakan pekerjaan iman bukanlah orang mukmin yang tak sanggup membuat iman bersifat tidak berat dan sulit, tetapi tuhanlah yang menciptakannya dan tuhan memang menghendaki supaya iman bersifat berat dan sulit. Istilah yang dipakai al-Asy’ari untuk perbuatan manusia yang diciptakan tuhan ialah al-kasb. Dan dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu, daya yang ada dalam diri manusia tak mempunyai efek.
            Mengenai anthropomorphisme, al-asy’ari berpendapat bahwa tuhan mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya. Dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kaifa) yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la yuhad). Al-asy’ari seterusnya menentang paham keadilan Tuhan yang dibawa kaum Mu’tazilah. Menurut pendapatnya tuhan berkuasa mutlak dan tak ada suatu pun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga kalau ia memasukkan seluruh manusia kedalam surga bukanlah ia bersifat tidak adil dan jika ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka tidaklah ia bersifat lazim. Dengan demikian ia juga tidak setuju dengan ajaran Mu’tazilah tentang al-wa’d wa al-wa’id.
            Juga ajaran tentang posisi menengah ditolak. Bagi al-Asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Sekiranya orang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak didapati kufr atau iman; dengan demikian bukanlah ia atheisdan bukanlah pula monotheis, tidak teman dan tidak pula musuh. Hal serupa ini tidak mungkin. Oleh karena itu tidak pula mungkin bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan pula tidak kafir.
b. Pemikiran Al-Asy’ari Mengenai Aqidah
            Pemikiran al Asy’ari berkaitan masalah aqidah selama masa hidupnya dapat dibedakan menjadi tiga periode. Sesuai dengan perjalanan dan ijtihadnya dalam masalah aqidah ini. Adapun periode-periode tersebut adalah:
1.Periode pertama
            Pada periode ini al Asy’ari sebagai penganut kuat aqidah Mu’tazilah. Pengaruh gurunya sekaligus ayah tirinya ini menjadikan al Asy’ari hidup dalam keyakinan Mu’tazilah selama kurang lebih 40 tahun.
Periode ini menjadikan al Asy’ari mengetahui seluk beluk Mu’tazilah sampai kelebihan dan kelemahannya.
2.Periode kedua
            Pada periode ini al Asy’ari berbalik arah dari penganut Mu’tazilah menjadi berseberangan dengan Mu’tazilah. Di antara pemikiran beliau pada periode ini adalah menetapkan 7 sifat Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
            Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
3.Periode ketiga
            Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif. Beliau pada periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
• takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
• ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
• tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
• tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.
            Pada periode ini beliau menulis kitab "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus .
Inilah perjalan pencarian aqidah yang shahih Imam Abu Hasan al Asy’ari. Dari perjalanan inilah menumbuhkan kekaguman umat atas beliau. Pemikiran-pemikiran beliau tertuang dalam kitab-kitab beliau dan dibangun dari pendapat para shahabat dengan penerimaan atas berbagai sifat Allah apa adanya, tanpa penakwilan macam-macam. Pemikiran al Asy’ari telah menyelamatkan aqidah umat dari kerusakan pemikiran yang dilahirkan oleh Mu’tazila
h.
4. Ajaran-Ajaran Asy’ariyah
            Adapun ajaran Asy’ariyah dalam perkembanganya meliputi banyak hal. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.Tauhid
            Abu Hasan al Asy’ari pada periode pertama dalam masalah aqidah membuat takwil dan berkata bahwa al yadd berarti “kekuatan” dan barangsiapa yang mengatakan bahwa al yadd berarti tangan adalah kafir (non muslim). Alasannya karena manusia memiliki tangan maka Allah tidak memiliki tangan. Namun pendapat ini akhirnya dihentikan Beliau dan berganti pada pendapat ulama salaf. Dan ternyata, dalam perkembanganya setelah Abu Hasan al Asy’ari kelompok Asy’ariyah membuat at ta’wil dan at tanzih. At ta’wil adalah intepretasi sedang At tanzih adalah meninggikan dan mensucikan Allah swt dari makhluknya.
2.al Iman
            Asy’ariyah menyatakan iman itu berada dalam hati, ucapan dan perbuatan adalah kondisi pelengkapnya. Iman tidak akan bertambah dan tidak akan berkurang. Namun dalam kitab Imam Muhammad Abu Zahrah dikatakan bahwa kelompok Asy’ariyah mendefinisikan iman adalah perkataan dan perbuatan yang dapat bertambah dan berkurang. Dari dua perbedaan ini maka menurut penulis yang shahih adalah pendapat yang kedua. Karena dalam pidatonya al Asy’ari bapak Madzab Asy’ariyyah menyampaikan bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. Wallahua’lam bila dalam perkembanganya ada pengikut al Asy’ari yang menyimpang dari ajaran beliau.
3.at Takfir
            Dalam masalah at takfir atau menyatakan seseorang murtad Asy’ariyah berpandangan untuk tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin karena suatu dosa yang dikerjakannya, seperti berzina, mencuri, dan minum-minuman keras. Orang yang bermaksiat masih muslim tetapi ‘āshi yaitu muslim yang berdosa. Dan seseorang yang melakukan salah satu dosa besar dan menganggapnya sebagai perbuatan yang halal serta tidak mempercayai keharamannya, maka barulah ia dikatakan kafir. Demikianlah pandangan kelompok Asy’ariyah dalam masalah takfir.
4.Qada’ dan Qadar
            Kelompok Asy’ariyah mengimani qadha’ dan qadar Allah swt, yang baik maupun yang buruk. Dalam memandang perbuatan manusia kelompok Asy’ariyah berpendapat bahwa ada dua wilayah bagi perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam kontrol manusia dan perbuatan yang diluar kontrol manusia (di bawah kontrol Allah swt).
5.al Masādarud Din (Dasar Agama)
            Dalam kaitanya dengan dasar atau sumber hukum Agama yang dijadikan sebagai hujjah maka kelompok Asy’ariyah menjadikan akal (rasio) sebagai sumber hukum agama dan kemudian al Qur’an dan As Sunnah. Namun Imam Abu Zahro dalam Ahmad al Qashah menyebutkan bahwa Imam al Asy’ari berkaitan dalam masalah aqidah menempuh dua jalan, yaitu jalan riwayat (an naql) dan jalan rasio (al aql). Beliau menetapkan apa yang ada dalam al Quran dan Hadist syarif berupa sifat-sifat Allah, para rasul, hari akhir, maliakat, siksa dan pahala baru kemudian mengarah pada dalil rasional dan bukti-bukti logis.
Dalam sumber lain juga disebutkan dalam masalah aqidah Imam al Asy’ari mempergunakan dalil naqli dan dalil aqli. Beliau menggunakan dalil rasional dan logika dalam membuktikan kebenaran kandungan al Qur’an dan Sunnah. Namun tidak menjadikan akal sebagai pemutus terhadap nash dalam mengintrepetasikannya tetapi berpegang teguh kepada pengertian literalnya (teksnya). Meskipun demikian beliau menjadikan akal sebagai pembantu untuk mendukung dzahirnya suatu nash.
Dari sini dapatlah penulis simpulkan bahwa Asy’ari menjadikan al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber hukum pertama dan tidak menjadikan akal sebagai perkara yang menghakimi atas berbagai macam teks untuk ditakwilkan atau dibiarkan apa adanya. Namun, menjadikan akal sebagai instrumen untuk semakin mengokohkan zhahirnya berbagai macam teks. Namun, perkembangan berikutnya ada pengikut Asy’ari yang menyimpang dari ajaran beliau.
6.al Quran
            Kelompok Asy’ariyah berpendapat bahwa al Qur’an tidak dapat didengar dan tidak dapat dibaca, karena al Qur’an itu kalamullah dalam maknanya dan kata-katanya berasal dari malaikat Jibril a.s. Sedangkan Imam Abu Zahro menyebutkan bahwa al Asy’ari berpendapat dengan mengambil jalan tengah yaitu mengatakan bahwa al Qur’an sebagai firman (kalam) Allah swt dan tidak berubah, tidak diciptakan, tidak baru dan tidak dibuta-buat. Adapun potongan-potongan huruf, warna, bahan dan suaranya adalah makhluk.
7.Sahabat
            Sebagian orang dari Asy’ariyah mengizinkan menyerang sahabat, terutama terhadap Ummul Mukminin Aisyah, Mu’awiyyah, Khalid bin Walid, Ustman r.a dan menuduh mereka melakukan kesalahan besar serta salah dalam berijtihad.
8.Khilafah
            Dalam masalah Khilafah, Asy’ariyah maupun Ahlu Sunnah berpendapat bahwa Khilafah adalah hal yang fardhu (wajib) bagi orang-orang beriman.
9.Tanda-tanda kerasulan
            Asy’ariyah berpendapat bahwa satu-satunya tanda kerasulan adalah keajaiban al Qur’an. Sedangkan Ahlu Sunnah berpendapat bahwa ada banyak tanda-tanda kerasulan selain al Qur’an.
            Aliran Asy’ariyah setelah kepergian Imam Asy’ari mengalami perkembangan dan perubahan yang cukup cepat. Pemahaman awal yang dibangun Asy’ari bahwa akal sebagai instrumen pengokoh dzahirnya berbagai macam teks, berubah menjadi lebih condong untuk memberi ruang yang lebih luas daripada nash-nash itu sendiri. Dari perubahan ini sampai mereka berani mengatakan bahwa akal fikiran menjadi dasar nash, karena dengan akallah kita menetapkan adanya Tuhan. Hal inilah yang kemudian menjadikan ahlu sunnah tidak menerima golongan Asy‘ariyah bahkan memusuhinya dan menggaggapnya sesat.
Sampai datanglah masa perdana menteri Saljuk di Iran yang bernama Nizhamul Mulk yang mendirikan dua sekolah terkenal di Bagdad dan Naizabur. Disekolah tersebut hanya paham Asy’ariyah yang boleh di ajarkan. Asy’ariyah menjadi madzab negara dan golongan Asy’ariyah menjadi golongan Ahlu Sunnah Wal jama’ah. Maka berkembang pesatlah Asy’ariyah terutama setelah pengikutnya ada di setiap negeri.










DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun.1986.Teologi islam.Jakarta:UIP.

Madkour, Ibrahim.1995.Aliran dan Teori Filsafat Islam.Jakarta:Bumi Aksara.

Hasyim, Umar.1978. Apakah Anda Golongan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?.Jakarta: Bina Ilmu.

Muhammad, Omar Bakri.2005. Ahlu Sunnah Wal Jama’ah Keimanan, Sifat, dan Kualitasnya.Jakarta: Gema Insani.

al Qashash, Ahmad.2009.Nasyu al Hadharah al Islamiyah, ter. Ustman Zahid as Sidany, Peradaban Islam VS Peradaban Asing.Bogor: Pust
aka Thariqul Izzah.

Zahrah, Imam Muhammad Abu
.1996. Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam.Jakarta: Logos Publishing House.

http://kalamstai.blogspot.com/2009/03/aliran-asyariyah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar