BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam merupakan agama yang kaaffah,
yang mengatur segala perilaku kehidupan manusia. Bukan hanya menyangkut urusan
peribadahan saja, urusan sosial dan ekonomi juga diatur dalam Islam. Oleh
karenanya setiap orang muslim, Islam merupakan sistem hidup (way of life) yang
harus diimplementasikan secara komprehensif dalam seluruh aspek kehidupannya
tanpa terkecuali.
Sudah cukup lama umat manusia
mencari sistem untuk meningkatkan kesejahteraannya khususnya di bidang ekonomi.
Selama ini memang sudah ada beberapa sistem, diantaranya dua aliran besar
sistem perekonomian yang dikenal di dunia, yaitu sistem ekonomi kapitalisme,
dan sistem ekonomi sosialisme. Tetapi sistem-sistem itu tidak ada yang berhasil
penuh dalam menawarkan solusi optimal. Konsekuensinya orang-orang mulai
berpikir mencari alternatif. Dan alternatif yang oleh banyak kalangan diyakini
lebih menjanjikan adalah sistem ekonomi Islam. Karena sistem ini berpijak pada
asas keadilan dan kemanusiaan. Oleh karenanya, sistem ini bersifat universal,
tanpa melihat batas-batas etnis, ras, geografis, bahkan agama.
Pada bulan Oktober tahun 2008
Al-Jazeera TV, sebuah stasiun TV terkenal di dunia yang berkedudukan di Qatar,
melakukan polling tentang sistem ekonomi yang dipercaya paling baik untuk
diterapkan di dunia. Respondennya sebanyak 29.486. Polling itu berisikan
pertanyaan,“Setelah krisis keuangan global melanda, sistem keuangan apa yang
anda percaya paling baik untuk diterapkan di dunia?” Hasilnya adalah 88,5% dari
29.486 responden menjawab sistem ekonomi Islam. Sedangkan responden yang
memilih sistem ekonomi kapitalis hanya 5,0% saja, dan yang memilih sistem ekonomi
keuangan komunis sebanyak 6,5%.
Sistem ekonomi Islam
merupakan sistem ekonomi yang sangat baik. Sistem ekonomi ini tidak hanya di
perbankan, namun mencakup semua sistem keuangan. Mulai dari perbankan, pasar
modal, asuransi, hingga dana pension. Pangsa pasar ekonomi Islam di Indonesia
sangat luas, hal ini disebabkan karena Indonesia yang mayoritas penduduknya
muslim, sehingga tidak diragukan penerapan sistem ini.
Perkembangan ekonomi Islam di
Indonesia dalam beberapa tahun terkahir ini, baik pada tataran
teoritis-konseptual (sebagai wacana akademik) maupun pada tataran praktis
(khususnya di lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non-bank), sangat
pesat. Perkembangan ini tentu saja sangat menggembirakan, karena ini merupakan
cerminan dari semakin meningkatnya kesadaran umat Islam dalam menjalankan
syariat Islam. Hal ini refleksi dari pemahaman bahwa ekonomi Islam bukan hanya
sekedar konsepsi. Ia merupakan hasil suatu proses transformasi nilai-nilai
Islam yang membentuk kerangka serta perangkat kelembagaan dan pranata ekonomi
yang hidup dan berproses dalam kehidupan masyarakat. Adanya konsep pemikiran
dan organisasi-organisasi yang dibentuk atas nama sistem ini sudah tentu bisa
dinilai sebagai model dan awal pertumbuhannya.
Kendati perkembangan ekonomi Islam
saat ini sangat prospek namun dalam pelaksanaannya masih menemukan berbagai
kendala sekaligus tantangan, baik pada tataran teoritis maupun pada tataran
praktis, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Pada
tataran teoritis misalnya belum terumusnya secara utuh berbagai konsep ekonomi
dalam ekonomi Islam. Sedangkan pada tataran praktis belum tersedianya sejumlah
institusi dan kelembagaan yang lebih luas dalam pelaksanaan Ekonomi Islam.
Adapun dari aspek internal adalah
sikap umat Islam sendiri yang belum maksimal dalam menerapkan ekonomi Islam.
Sedangkan dari aspek eksternal adalah praktik-praktik kehidupan ekonomi yang
sudah terbiasa dengan konsep-konsep ekonomi konvensional.
Kebangkitan ekonomi dan
bisnis dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam telah menjadi fenomena yang
menarik dalam dua dekade terakhir ini. Kesadaran untuk menghidupkan kembali
sistem ekonomi Islam merupakan jawaban atas berbagai persoalan dan dampak
negatif yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi ribawi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Produksi Menurut Islam?
2. Apa saja Ruang Lingkup Produksi Menurut Islam?
3. Apa Prinsip dan Tujuan Produksi Menurut Islam?
4. Apa saja Faktor-faktor
Produksi dan bagaimana
Pengelolaannya dalam Islam?
5. Apa Motivasi
Produsen dalam Berproduksi?
6. Apa
saja Nilai-nilai Islam dalam Berproduksi?
1.3. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui:
1. Pengertian Produksi Menurut Islam
2. Ruang Lingkup Produksi Menurut Islam
3. Prinsip dan Tujuan Produksi Menurut Islam
4. Faktor-faktor Produksi dan Pengelolaannya
dalam Islam
5. Motivasi
Produsen dalam Berproduksi
6. Nilai-nilai
Islam dalam Berproduksi
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Produksi Menurut Islam
Produksi
adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang kemudian di
manfaatkan oleh konsumen. Kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi islam pada
akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya, yaitu mengutamakan harkat
kemuliaan manusia.
Kegiatan produksi dan konsumsi merupakan satu kesatuan yang saling berkait satu
dengan lainnya. Kegiatan produksi harus sepenuhnya sejalan dengan kegiatan
konsumsi. Tujuan kegiatan produksi adalah menyediakan barang dan jasa yang
memberikan mashlahah bagi konsumen yang di wujudkan dalam pemenuhan kebutuhan
manusia.
Berikut ini
beberapa pengertian produksi menurut para ekonom muslim kontemporer :
1. Kahf (1992)
mendefenisikan kegitan produksi dalam perspektif islam sebagai usaha manusia
untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas,
sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana di gariskan dalam agama
islam, yaitu kebahagiaan dunia akhirat.
2. Rahman (1995) menekankan
pentingnya keadilan dan kemerataan produksi (distribusi secara merata
3. UI Haq
(1996) menyatakan bahwa tujuan dari produksi adalah memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang
merupakan fardu kifayah, yaitu kebutuhan
yang bagi banyak orang pemenuhannya bersifat wajib.
4. Siddiqi
(1992) mendefenisikan kegiatan produksi sebagai penyediaan barang dan jasa
dengan memerhatikan nilai keadilan dan kebajikan/kemanfaatan (mashlahah)
bagi masyarakt. Dalam pandangannya, sepanjang
produsen telah berindak adil dan membawa kebajikan bagi masyarakat maka ia
telah bertindak islami.
Hadits
tentang produksi:
مَنْ كَانَتْ
لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى
فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ
Ibnu
Majah mengatakan, Nabi bersabda: “Barang siapa yang mempunyai tanah maka
tanamilah, jika tidak mampu maka supaya ditanami oleh saudaranya”
2.2 Ruang Lingkup Ekonomi Islam
Beberapa ekonom memberikan penegasan
bahwa ruang lingkup dari ekonomi islam
adalah masyarakat muslim dan negara muslim itu sendiri. Ruang lingkup ekonomi islam yang tampaknya menjadi
administrasi kekurangan sumber-sumber daya manusia
dipandang dari konsepsi etik kesejahteraan dalam islam. Oleh
karena itu, ekonomi islam tidak hanya mengenai sebab-sebab material kesejahteraan, tetapi juga
mengenai hal-hal non material yang tunduk kepada larangan islam tentangkonsumsi dan produksi.
2.3 Prinsip dan Tujuan Produksi Menurut Islam
v Prinsip produksi dalam islam
terdiri dari:
Pertama: Seluruh
kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai moral dan tehnikal yang
Islami, seperti halnya dalam kegiatan konsumsi. Artinya bahwa seluruh kegiatan
produksi mulai dari kegiatan mengorganisir faktor-faktor produksi, proses
produksi hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen harus mengikuti
aturan-aturan dalam Islam.
Seperti larangan memproduksi barang-barang dan jasa
yang dapat merusak nilai-nilai moralitas sehingga menjauhkan manusia dari
nilai-nilai religius, walaupun secara ekonomi menguntungkan.
Kedua: Kegiatan
produksi harus memperhatikan aspek sosial kemasyarakatan. Artinya
kegiatan produksi harus menjaga nilai-nilai keseimbangan dan harmoni lingkungan
sosial dan lingkungan hidup masyarakat. Jadi, produksi bukan hanya untuk
kepentingan produsen semata, tetapi masyarakat secara keseluruhan harus dapat
menikmati hasil produksi secara memadai dan berkualitas.
Ketiga:
Permasalahan ekonomi muncul bukan saja karena faktor kelangkaan faktor – faktor
produksi tetapi lebih kompleks. Yaitu karena faktor kemalasan dan pengabaian
optimalisasi segala karunia Allah SWT, baik dalam bentuk sumber daya manusia
maupun sumber daya alam. Artinya bahwa prinsip produksi dalam pandangan Islam
bukan sekedar efisiensi, tetapi secara luas adalah bagaimana mengoptimalkan
sumber daya ekonomi dalam upaya pengabdian manusia kepada Tuhannya.
v
Tujuan Produksi dalam islam
Tujuan kegiatan produksi
adalah menyediakan barang dan jasa yang memberikan mashlahah bagi
konsumen. Secara lebih spesifik, tujuan kegiatan produksi adalah meningkatkat
kemashlahatan yang bisa di wujudkan dalam berbagai bentuk di antaranya :
1. Pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkatan moderat,
2. Menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhanya,
3. Menyiapkan
persediaan barang/jasa di masa depan,
4. Pemenuhan
sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah
2.4
Faktor-Faktor Produksi dalam Islam
Dalam menghasilkan barang-barang dan
jasa dalam proses produksi kita membutuhkan beberapa faktor-faktor produksi,
yaitu alat atau sarana untuk melakukan proses produksi.
Beberapa pandangan ekonomi
konvensional dan Islami terhadap faktor
produksi:
1. Hubungan antara
tujuan produksi dengan penggunaan faktor produksi.
Jika dalam ekonomi konvensional
tujuan produksi adalah menghasilkan alat pemuas kebutuhan manusia melalui
proses produksi dengan harapan memberikan keuntungan paling maksimal, maka
dengan demikian seluruh faktor produksi akan dialokasikan berdasarkan tujuan
tersebut. Hal ini berakibat pada eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber
daya ekonomi atau faktor-faktor produksi. Contohnya, dalam rangka mendapatkan
keuntungan yang maksimal, produsen akan memeras dan menindas para
pekerjanya.
Dalam pandangan ekonomi Islam,
prinsip dan tujuan produksi ekonomi yang Islami alokasi sumber daya ekonomi
akan berorientasi pada hal-hal berikut :
a) Berbagai
barang dan jasa yang dilarang oleh agama Islam tidak akan diproduksi sehingga
tidak ada sumber daya ekonomi atau faktor produksi yang dialokasikan untuk itu.
b) Produksi
barang-barang mewah akan dikurangi sedemikian rupa sehingga semakin sedikit
sumber daya untuk memproduksinya
c) Akan ada
perluasan industri untuk menghasilkan barang dan jasa yang merupakan kebutuhan
pokok masyarakat sehingga sumber daya ekonomi lebih banyak dialokasikan untuk
itu.
2. Penentuan harga faktor produksi.
Penentuan
harga faktor produksi dalam ekonomi konvensional menggunakan pendekatan produktivitas
marginal yaitu nilai marginal dari faktor produksi yang merupakan nilai
tambah dari satu unit output yang dihasilkan dengan asumsi faktor produksi
lainnya dianggap tetap. Misalnya produk marginal tenaga kerja adalah tambahan
output yang dihasilkan akibat satu unit tenaga kerja dengan menggunakan faktor
produksi lainnya tetap. Produktivitas marginal ini mengikuti hukum the law of
the diminishing marginal product atau tambahan hasil yang semakin menurun.
Namun demikian, penentuan harga faktor produksi dengan pendekatan ini mendapat
kritikan dari ekonom muslim dengan berbagai alasan.
Pertama, konsep ini
hanya dapat diterapkan pada fungsi produksi yang memiliki fungsi homogenitas
berderajat pertama. Padahal fungsi ini jarang terjadi pada dunia nyata.
Kedua, konsep ini
mengasumsikan adanya persaingan sempurna dalam pasar faktor produksi dimana
semua kekuatan ekonomi terfragmentasi.
Ketiga, konsep ini
juga mengasumsikan adanya wirausahawan yang profit maximizer. Sementara
dalam kenyataan mungkin memiliki beberapa tujuan.
Sementara, dalam pandangan Islam ada
dua prinsip dasar yang harus dijadikan pedoman dalam menentukan faktor
produksi, yaitu nilai keadilan (justice) dan pertimbangan
kelangkaan (scarcity). Implikasi dari adanya nilai dasar ini adalah:
1. Kekuatan
pasar tidak dapat digunakan begitu saja bagi penentuan upah.
Penentuan
upah dilakukan berdasarkan pertimbangan objektif yaitu tingkat upah pasar dan
pertimbangan subjektif yaitu implementasi nilai-nilai kemanusiaan.
2. Implementasi
bunga sebagai harga dari modal tidak dapat dilakukan Karena ajaran Islam
menganggap sebagai riba nasyiah yang haram hukumnya. Penentuan harga modal akan
dilakukan secara integratif dengan kontribusi dari kewirausahaan
berdasarkan sistem bagi hasil (profit lost sharing).
3. Penggunaan
sewa (rent) sebagai harga dari faktor produksi tanah tidak dapat diterima
begitu saja. Terdapat kontroversi pendapat dikalangan pemikir Islam tentang
legalitas sistem sewa dalam legalitas sistem persewaan. Dalam sistem ini harga
tanah tidak ditetapkan di awal dan bersifat tetap seperti bunga tetapi
ditentukan secara bersama dengan kontribusi kewirausahaan.
Klasifikasi
Faktor-faktor Produksi
Terdapat perbedaan tentang
klasifikasi faktor produksi baik dari kalangan ekonom konvensional
maupun Islam. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor diantaranya ketidaksamaan
definisi, karakteristik, maupun peran dari masing-masing faktor produksi dalam
menghasilkan output.
Faktor produksi pada umumnya diklasifikasikan dalam 4
jenis :
a. Alam (tanah)
Tanah merupakan faktor produksi yang
sering disebut faktor produksi asal atau asli. Tanah juga merupakan
faktor produksi yang relatif unik, sebab tidak diciptakan oleh manusia
melainkan manusia tinggal memanfaatkannya. Keunikan tanah yang lain karena ketersediaannya
yang relatif amat terbatas (seringkali digambarkan memiliki kurva penawaran
in-elastis sempurna). Keunikan ini membawa kerumitan dalam penentuan harga dari
tanah sebagai faktor produksi. Apakah pemilik tanah berhak menentukan harga
sebagaimana seorang tenaga kerja menawarkan jasa tenaganya atau seorang pemilik
mobil menyewakan mobilnya apakah penentuan harga tanah sama dengan penentuan
harga barang dan jasa pada umumnya?. Salah satu penentuan harga tanah adalah
dengan sistem sewa (diserahkan pada pihak lain untuk dikelola, tetapi
tidak untuk dimiliki). Adapun bentuk sewa tanah yang diperbolehkan dalam Islam
harus mencerminkan nilai-nilai keadilan, persaudaraan dan kemurahan hati.
Keadilan mengandung arti bahwa sewa harus memberikan keuntungan bagi pemilik
maupun penyewa, adapun jika terdapat kerugian kedua pihak harus memikulnya agar
tidak terjadi kedzaliman, penindasan atau eksploitasi antara pihak yang satu ke
pihak lainnya. Dalam pandangan Islam persaudaraan artinya yang kuat harus
menolong yang lemah. Nilai-nilai dasar ini
menyebabkan penggunaan mekanisme tidak dapat sepenuhnya
diberlakukan, disamping karena terdapat sifat unik dari tanah.
b. Tenaga kerja
Tenaga kerja merupakan faktor
produksi kedua yang dianggap paling penting karena kekayaan alam dapat berubah
menjadi hasil produksi yang bernilai karena jasa tenaga kerja.
Keunikan tenaga kerja jika dibandingkan faktor produksi lainnya karena mereka
manusia. Sehingga mereka harus diperhatikan. Bagaimana memberi harga atas
tenaga kerja serta bagaimana menghargai unsur-unsur kejiwaan, moralitas dan
unsur-unsur kemanusiaan yang lainnya. Tenaga kerja di sini mencakup
segala kerja manusia yang diarahkan untuk menghasilkan produksi baik berupa
jasa, fisik maupun mental. Hal ini mencakup buruh maupun managerial.
Hadist tentang tenaga kerja:
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ
عَرَقُهُ
“Berikan kepada seorang
pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).
Upah merupakan harga dari orang yang
telah bekerja serta kewajiban bagi orang yang mempekerjakannya. Dalam
penentuan upah, Islam menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan
pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. Terminologi adil dalam pengupahan harus
memperhatikan kondisi pekerja (ajir) maupun majikan (mustajir) bukan
hanya salah satunya saja. Sehingga tidak dibenarkan pemerintah menetapkan
suatu upah hanya semata-mata ingin meningkatkan kesejahteraan para buruh tetapi
di sisi lain menimbulkan kezaliman. Beberapa prinsip pemberian upah menurut
pandangan Islam yang menjamin diperlakukannya tenaga kerja secara manusiawi:
- Hubungan antara pekerja dan majikan harus memperlihatkan nilai kemanusiaan.
- Tingkat upah minimum hendaklah mencukupi bagi pemenuhan kebutuhan dasar para pekerja.
- Memperhatikan waktu kerja pekerja dengan berdasarkan kekuatan fisik dan alokasi waktu bagi tertunaikannya hak Allah (beribadah) oleh si pekerja dengan tidak mengurangi upah pekerja.
c. Modal
Modal adalah segala kekayaan baik
yang berwujud uang maupun bukan uang (gedung, mesin, perabotan dan kekayaan
fisik lainnya) yang dapat digunakan dalam menghasilkan output. Isu terpenting
tentang modal ini adalah bagaimana menentukan harganya. Dimana dalam ekonomi
konvensional, bunga merupakan harga dari modal (uang), hal ini bertolak
belakang dengan pandangan Islam yang mengharamkan bunga karena dikategorikan
riba sehingga harus dihapus secara mutlak. Sebagai gantinya ajaran Islam
menawarkan konsep profi-loss sharing yang dipandang lebih mencerminkan
nilai-nilai keadilan bagi pelaku ekonomi. Secara umum konsep ini
diimplementasikan dalam konsep mudharabah dan musyarakah. Berbeda dengan bunga
dalam sistem ini harga modal dan entrepreneur ditentukan bersama berdasarkan
persentase keuntungan/kerugian yang akan diterima.
d.
Wirausaha
Wirausaha (entrepreneur) pada
dasarnya adalah motor penggerak kegiatan produksi. Kegiatan produksi berjalan
karena adanya gagasan, upaya, dan motivasi untuk mendapatkan manfaat sekaligus
bersedia menanggung resiko dari para wirausaha ini. Meskipun sama-sama
manusia, wirausaha tentu berbeda dengan tenaga kerja. Tenaga kerja pada
dasarnya hanyalah alat produksi yang hanya menjalankan produksi sebagaimana
fungsinya. Dalam pengertian fungsional tenaga kerja mungkin dapat diganti
dengan mesin, tetapi hal ini tidak dapat dilakukan terhadap seorang
wirausahawan.
2.5 Motivasi Produsen dalam Berproduksi
Dalam
pandangan ekonomi islam, motivasi produsen semestinya sejalan dengan tujuan
produksi dan tujuan kehidupan produsen itu sendiri. Jika tujuan produksi itu
adalah menyediakan kebutuhan material dan spiritual untuk menciptakan mashlahah,
maka motivasi produsen tentu saja juga mencari mashlahah, di mana hal
ini juga sejalan dengan tujuan kehidupan seorang muslim.
Mencari
keuntungan melalui produksi dan kegiatan bisnis lain memang tidak di larang,
sepanjang berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Mashlahah bagi produsen
terdiri dari dua komponen, yaitu keuntungan dan berkah. Kebsahan
keuntungan bagi kegiatan produksi dalam ekonomi islam tidak perlu disanksikan
lagi. Ajaran islam bersifat proaktif terhadap upaya manusia untuk mencari
keuntungan, sepanjang cara yang dilakukan tidak melanggar syari’ah.
Dalam
pandangan islam kerja bukanlah sekedar aktivitas yang bersifat duniawi, tetapi
memiliki nilai transendensi. Kerja merupakan sarana untuk mencari kehidupan
serta untuk mencari nikmat Allah yang diberikan kepada makhluknya. Kerja
merupakan salah satu cara yang halalan thoyyibah untuk memperoleh harta.
Umar Bin Khatab pernah menjumpai suatu kaum yang
menganggur, kemudian beliau bertanya: “ Apa apan ini? Mereka menjawab,
Kami adalah orang orang yang bertawakkal “. Umar kemudian menjawab,
Kalian bohong! Orang bertawakkal adalah orang yang menebar biji bijian di
lading, kemudian berserah diri kepada Allah.”
Ketawakkalan kepada Allah
seharusnya diwujudkan dalam kerja keras, sebab Allah tidak menurunkan rejekiny
begitu saja dari langit. Keadaan seseorang tidak akan berubah jika manusia
tidak berusaha untuk merubahnya sendiri.
Hadist tentang tawakkal dalam Berproduksi:
اللهِ رَسُولَ سَمِعْتُ :قَالَ عَنْهُ اللهُ
ضِيَ رَ عُمَرَ عَنْ
بِطَانًا وَتَرُوحُ خِمَاصًا تَغْدُو ,الطَّيْرَ يَرْزُقُ كَمَا
لَرَزَقَكُمْ تَوَكُّلِهِ حَقَّ اللهِ عَلَى تَتَوَكَّلُونَ اَنَّكُمْ لَوْ :يَقُولُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللهُ
صَلَّى
Dari Umar Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Kalau kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, maka niscaya Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung; ia pergi pagi hari dalam keadaan perutnya kosong, lalu pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang”. [HR Tirmidzi, no. 2344; Ahmad (I/30); Ibnu Majah, no. 4164]
2.6 Nilai-nilai
Produksi dalam Islam
Upaya
produsen untuk memperoleh mashlahah yang maksimum dapat terwujud apabila
produsen mengaplikasikan nilai-nilai islam. Dengan kata lain, seluruh kegiatan
produksi terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal yang islami.sebagaimana
juga dalam kegiatan konsumsi.
Nilai-nilai
islam yang relevan dengan produksi di kembangkan dari tiga nilai utama dalam
ekonomi islam, yaitu khilafah, adil dan takaful. Secara lebih
rinci nilai-nilai islam dalam produksi meliputi :
1. Berwawasan jangka panjang,
yaitu berorientasi kepada tujuan
2. Menepati janji dan kontrak;
3. Memmenuhi takaran, ketepatan,
kelugasan, dan kebenaran;
4. Berpegang teguh kepada
kedisiplin dan dinamis;
5. Memuliakan
prestasi/produktivitas;
6. Mendorong ukhuwah antar sesama pelaku ekonomi;
7. Menghormati hak milik
individu;
8. Adil dalam bertransaksi;
9. Mengikuti syarat dan rukun sah
akad/transaksi;
10. Memiliki wawasan sosial;
11. Pembayaran upah tepat waktu
dan layak;
12. Menghindari jenis dan proses
produksi yang di haramkan dalam islam.
Penerapan
nilai-nilai diatas dalam produsi tidak saja akan mendatangkan keuntungan bagi produsen,
tetapi sekaligus mendatangkan berkah. Kombinasi keuntungan dan berkah yang di
peroleh oleh produsen merupakan satu mashlahah yang akan memberi
konstribusi bagi tercapainya falah. Dengan cara inilah, maka produsen
akan memperoleh kebahagiaan hakiki, yaitu kemuliaan tidak saja di dunia akan
tetapi juga di akhirat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Produksi
adalah menciptakan manfaat dan bukan menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa
manusia mengolah materi itu untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga
materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam
“memproduksi” tidak sampai pada merubah substansi benda. Yang dapat dilakukan
manusia berkisar pada misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan mengeluarkan
atau mengeksploitasi (ekstraktif).
Dalam konsep ekonomi konvensional
(kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya,
berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi
dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen.
Walaupun dalam ekonomi islam tujuan
utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang
selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah
dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.
Sistem ekonomi Islam sangat prospek,
tidak hanya untuk saat ini tetapi untuk jangka panjang, namun ini sekaligus
merupakan tantangan bagi umat Islam untuk terus-menerus melakukan kajian,
evaluasi dan mencari solusi terhadap teori, konsep dan implementasi ekonomi
Islam dalam berbagai model dan bentuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar