Pages

Sabtu, 01 April 2017

Contoh Kasus Manajemen Risiko




 GENERAL MARKET RISK
Studi Kasus: Bank Syariah (Bank Indonesia Membekukan Kegiatan Usaha PT. Bank Global)
SEJAK 14 Desember 2004, Bank Indonesia (BI) membekukan kegiatan usaha (BKU) PT Bank Global Tbk. Sekitar 8.000 nasabah yang tercatat di 13 kantor cabang terpaksa kerepotan mengurus dananya. Bukan hanya itu, ratusan investor publik pemegang saham juga menjadi tidak jelas investasinya. Belum lagi bank dan pihak lain yang memiliki tagihan. Nasib ratusan karyawan pun menjadi tak menentu di tengah sulitnya lapangan kerja. Apa jadinya kalau mereka di-PHK? Jelas, akan menambah deretan panjang pengangguran. Semua itu tentu akan menambah beban pemerintah dalam memulihkan roda perekonomian, terutama sektor real.
Empat alasan ditutupnya Bank Global
Pertama, terus memburuknya kondisi keuangan Bank Global.
Kedua, tidak menyetorkan tambahan modal yang diminta BI sejak bank tersebut masuk pengawasan khusus (special surveillance unit) pada 27 Oktober hingga 13 Desember 2004.
Ketiga, direksi Bank Global tidak menunjukkan iktikad baik untuk patuh pada aturan. Bahkan, dalam pengawasan BI dan kepolisian ada upaya secara sengaja dari pihak bank tersebut untuk memusnahkan dan menghilangkan barang bukti.
Keempat, direksi, pejabat eksekutif, dan beberapa karyawan bank publik itu diduga telah melakukan tindak pidana perbankan dengan merusak dan menghilangkan dokumen-dokumen penting bank.

Solusi :
Pertama, sebagai perusahaan terbuka, semestinya Bank Global transparan dan menerapkan dengan seksama asas good corporate governance.
Kedua, seperti dilansir Investor Daily Online (14/12/2004), bahwa kehancuran Bank Global sangat boleh jadi disebabkan oleh sebuah kolusi antara pengelola Bank Global dengan Prudence Asset Management (PAM).
Ketiga, kasus Bank Global menarik diikuti karena kasus ini mencoreng citra reksadana, sebuah instrumen pasar modal yang mengalami pertumbuhan pesat selama dua tahun terakhir.
Keempat, kasus Bank Global mencerminkan lemahnya pengawasan BI dan Bappepam.
Uraian/ Penjelasan
General market risk merupakan resiko yang disebabkan oleh suatu kebijakan yang dilakukan oleh lembaga terkait yang mana kebijakan tersebut mampu memberi pengaruh bagi seluruh sektor bisnis (Agus Sucipto: Manajemen Risiko). Sehatnya sebuah bank tidak hanya berpatokan pada aset (modal) semata, tetapi juga harus memperhitungkan faktor manajemen risiko yang meliputi delapan faktor, yakni risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko strategi, risiko kepatuhan dan risiko reputasi. Tidak sedikit para bankir yang tidak bisa mengelola manajemen risiko dengan baik, sehingga terjadi pelanggaran prinsip kehati-hatian bank. Yang terpenting dari kasus-kasus pembekuan bank adalah pembelajaran bagi pemilik maupun pengurus bank untuk bercermin diri dalam pengelolaan keuangan dan manajemen perbankan agar tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada, serta diharuskan menerapkan prudent banking. Lebih khusus lagi, bagi para nasabah agar tidak gegabah dan senantiasa berhati-hati jika ingin menempatkan dananya pada lembaga perbankan maupun lembaga keuangan lainnya.






SPECIFIC MARKET RISK
Studi Kasus: PT GUDANG GARAM, Tbk

Salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia yaitu PT Gudang Garam sempat menjadi perusahaan yang juga mendapat dampak dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang melanda Indonesia, seperti berita yang dilansir oleh liputan6.com berikut ini.
Dampak Pelemahan Rupiah Mulai Terasa ke Emiten
Pelemahan mata uang rupiah dalam beberapa hari terakhir mempengaruhi laba-laba perusahaan yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah pada hari ini, Rabu (21/8/2013) sudah menyentuh ke level Rp 10.963 per dolar Amerika Serikat (AS). Pergerakan nilai tukar rupiah yang terjadi hari ini sangat mempengaruhi emiten-emiten yang sudah melantai di bursa.
Kepala Strategi Riset dan Ekuitas Bahana Sekuritas me Harry Su mengatakan, akibat dampak pergerakan pelemahan rupiah, banyak emiten yang terkena dampak dari pelemahan rupiah tersebut."Jelaslah, pelemahan rupiah itu sangat jelek untuk pasar.Tapi emiten yang mempunyai utang berdasarkan mata uang dolar AS," ujar Harry ketika ditemui dalam acara Halal bi Halal Bahana Group dan Market Update di Graha Cimb Niaga, Jakarta, Rabu (21/8/2013).
Menurut Harry, selain faktor pelemahan rupiah yang mempengaruhi laba bersih di setiap emiten, dan juga kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate). Adapun saham yang sangat terpengaruh terhadap pelemahan nilai tukar rupiah adalah, PT Indosat Tbk (ISAT). Saham telekomunikasi tersebut terkena dampak 17,9% dari laba bersih, sedangkan pengaruh BI Rate hampir sebesar 24% dari raihan laba bersih.
Selain ISAT, laba bersih perusahaan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) juga megalami penurunan hingga 0,9%. Laba PT Bakrie Telekomunikasi Tbk (BTEL) juga mengalami penurunan hingga 5,9% dan laba bersih PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) mengalami penurunan 5,9%.
Lanjut Harry, pelemahan rupiah juga menurunkan laba bersih emiten, tapi juga memberikan dampak pada keuntungan emiten. PT Timah Tbk (TINS) mengalami penurunan keuntungan hingga 5,2%, sedangkan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) mengalami penurunan laba bersih hingga 3,4%. "Pelemahan mata uang rupiah juga berdampak pada PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) mengalami penurunan laba bersih hingga sebesar 3,9%," tegasnya. Ditambahkannya, pelemahan rupiah yang semakin tajam, memang mempengaruhi kinerja emiten, khususnya yang berpendapatan mata uang dolar AS. Berdasarkan berita diatas PT Gudang Garam menjadi salah satu perusahaan yang mengalami penurunan laba bersihnya sebesar 0,9%  akibat melemahnya nilai rupiah.
Hal ini dialami oleh PT Gudang Garam karena perusahaan membutuhkan bahan baku utama berupa tembakau dan cengkeh yang berkualitas untuk produk mereka, sementara kualitas panen tembakau dan cengkeh lokal yang menjadi bahan baku utama tersebut sangatlah bergantung pada cuaca, faktor cuaca yang kini sering tidak menentu mengakibatkan penurunan kualitas panen kedua bahan baku tersebut. Sehingga perusahaan terpaksa harus mengimpor persediaan bahan baku mereka dari luar negeri agar kualitas atas produk yang dihasilkan tetap terjaga. Inilah yang menyebabkan menurunnya pendapatan dan laba bersih perusahaan.
Selain itu penurunan pendapatan dan laba bersih Gudang Garam dapat disebabkkan juga oleh aturan pemerintah, karena sebelumnya  industri rokok  diberatkan dengan aturan pemerintah yaitu regulasi mengenai rokok, PP Nomor 109 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa produk Tembakau bagi kesehatan yang dikeluarkan pemerintah tahun 2012 kemarin yang mengacu pada  Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang dicanangkan oleh WHO pada tahun 2003, salah satu aturannya yang berupa kenaikan bea pita cukai yang secara terus menerus dan juga kewajiban menampilkan gambar - gambar seram dari bahayanya rokok pada kemasan dan iklan rokok.
Biaya pita cukai dan PPN Gudang Garam pada tahun 2013 mencapai 29 triliun, atau setara 67% dari total beban biaya pokok penjualan Gudang Garam. Dan jika dibandingkan dengan pendapatan penjualan, biaya pita cukai Gudang Garam tahun 2013 setara dengan 54% hasil pendapatan penjualan perusahaan. Artinya, 54% dari total pendapatan penjualan Gudang Garam tahun 2013 digunakan untuk membayar bea pita cukai dan PPN. Dan jika dilihat dalam beberapa tahun belakang, kontribusi biaya pita cukai dan PPN tersebut nilainya selalu diatas 50% dari total pendapatan penjualan Gudang Garam. Bagaimana pun itu perusahaan harus tetap mengeluarkan dana untuk membayar besarnya biaya pita cukai sesuai aturan.
Serta kewajiban perusahaan menampilkan gambar-gambar dari bahaya dan dampak negatif rokok pada kemasan serta iklan produk secara tidak langsung akan mengurangi minat para konsumen untuk merokok, hal ini tentu saja akan menurunkan penjualan rokok, termasuk rokok Gudang Garam itu sendiri, dan dampak lainnya dari ketatnya aturan pemerintah dalam industri rokok adalah Gudang Garam harus mengurangi dan menghemat biaya perusahaan yang lainnya.

ANALISIS
Specific market risk merupakan risiko yang hanya dialami secara khusus pada sektor atau sebagian bisnis saja tanpa bersifat menyeluruh (Agus Sucipto: Manajemen Risiko).   Kasus ini termasuk dalam kebijakan yang diberlakukan pada sektor Industri, yaitu rokok. Sesuai dengan pembahasan studi kasus diatas, PT Gudang Garam ikut merasakan dampak dari penurunan nilai tukar rupiah yang berakibat menurunnya laba bersih perusahaan yang akan berdampak pada membagian deviden kepada para pemegang saham, serta peraturan pemerintah yang dapat menurunkan penjualan produk serta pendapatan perusahaan. Salah satu cara yang dilakukan oleh PT Gudang Garam untuk menanggulangi risiko tersebut adalah dengan melakukan kebijakan penawaran pensiun dini kepada para karyawannya terutama karyawan borongan sigaret kretek tangan (SKT) dan operasional dengan alasan untuk mengantisipasi dampak buruk yang akan terjadi pada perusahaan dimasa mendatang akibat bertambah ketatnya peraturan industri rokok yang telah ditetapkan oleh pemerintah.


Risiko Perubahan Tingkat Suku Bunga
(Studi Kasus di PT. Astra Honda Motor)

Profil Perusahaan    
Nama Perusahaan        : PT Astra Honda Motor
Status Perusahaan       : Perseroan Terbatas
Status Investasi           : PMA (Penanaman Modal Asing)
Alamat                                    : Kantor Pusat & Plant 1 (Sunter)  Jl. Laksda Yos Sudarso - Sunter I Jakarta 14350 Tel. +6221.6518080, 30418080 (Hunting) Fax. +6221.6521889, 6518814
Tanggal Pendirian       : 11 Juni 1971 sebagai PT Federal Motor 31 Oktober 2000 merger menjadi PT AHM
Kepemilikan                : 50% PT. Astra International Tbk 50% Honda Motor Co., Ltd
Aktivitas                     : Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Manufaktur, Perakitan dan Distributor Sepeda Motor HONDA
Jumlah Karyawan       : 19.630 orang (Desember 2012)

PT Astra Honda Motor (AHM) merupakan pelopor industri sepeda motor di Indonesia. Didirikan pada 11 Juni 1971 dengan nama awal PT Federal Motor, yang sahamnya secara mayoritas dimiliki oleh PT Astra International. Saat itu, PT Federal Motor hanya merakit, sedangkan komponennya diimpor dari Jepang dalam bentuk CKD (completely knock down).
Seiring dengan perkembangan kondisi ekonomi serta tumbuhnya pasar sepeda motor terjadi perubahan komposisi kepemilikan saham di pabrikan sepeda motor Honda ini. Pada tahun 2000 PT Federal Motor dan beberapa anak perusahaan di merger menjadi satu dengan nama PT Astra Honda Motor, yang komposisi kepemilikan sahamnya menjadi 50% milik PT Astra International Tbk dan 50% milik Honda Motor Co. Japan.
Saat ini PT Astra Honda Motor memiliki 3 fasilitas pabrik perakitan, pabrik pertama berlokasi Sunter, Jakarta Utara yang juga berfungsi sebagai kantor pusat. Pabrik ke dua berlokasi di Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, serta pabrik ke 3 yang berlokasi di kawasan MM 2100 Cikarang Barat, Bekasi. Pabrik ke 3 ini merupakan fasilitas pabrik perakitan terbaru yang mulai beroperasi sejak tahun 2005.
Dengan keseluruhan fasilitas ini PT Astra Honda Motor saat ini memiliki kapasitas produksi 4.2 juta unit sepeda motor per-tahunnya, untuk  permintaan pasar sepeda motor di Indonesia yang terus meningkat. Salah satu puncak prestasi yang berhasil diraih PT Astra Honda Motor adalah pencapaian produksi ke 35 juta pada tahun 2012. Prestasi ini merupakan prestasi pertama yang yang berhasil diraih oleh industri sepeda motor di Indonesia bahkan untuk tingkat ASEAN.
Industri sepeda motor saat ini merupakan suatu industri yang besar di Indonesia. Karyawan PT Astra Honda Motor saja saat ini berjumlah sekitar 18.000 orang, ditambah ratusan vendor dan supplier serta ribuan jaringan lainnya, yang kesemuanya ini memberikan dampak ekonomi berantai yang luar biasa. Keseluruhan rantai ekonomi tersebut diperkirakan dapat  memberikan kesempatan kerja kepada sekitar setengah juta orang. PT Astra Honda Motor akan terus berkarya menghasilkan sarana transportasi roda 2 yang menyenangkan, aman dan ekonomis sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat Indonesia.
PT Astra Honda Motor, perusahaan yang menjalankan fungsi produksi, penjualan dan pelayanan purna jual yang lengkap untuk kepuasan pelanggan dan memiliki:
·         Visi
“To take a lead in Indonesian motorcycle market by making customers’ dream come true, creating joy to customers and contribute to Indonesia society”
·         Misi
“Creating mobility solution to society with best products and services”


Studi Kasus
Setiap perusahaan pasti memiliki risiko dalam menjalankan kinerja perusahaanya, salah satu risiko yang akan dihadapi perusahaan adalah risiko kredit. Risiko kredit adalah risiko yang dihadapi sebuah perusahaan karena pendanaan eksternal yang di usahakan oleh perusahaan.
Dalam pengukuran risiko kredit kita membagi ke dalam penilaian risiko kredit secara kualitatif, dan penilaian risiko kredit secara kuantitatif. Penilaian kualitatif pada risiko kredit berkaitan dengan penggunakan kerangka 3R dan 5C. Sedangkan penilaian kuantitatif pada risiko kredit yaitu dengan menggunakan analisis kuantitatif untuk mengukur risiko kredit. Ada beberapa metode penilaian kuantitatif, yaitu model scoring kredit, RAROC, yield income, mortality rate, credit metrics, dan kerangka opsi.
Penilaian Kualitatif
Penggunaan penilaian kualitatif risiko kredit berdasarkan 3R dan 5C adalah sebuah usaha pendekatan untuk mendapatkan nilai pengukuran risiko kredit yang dialami oleh perusahaan.
ü  Return;
ü  Repayment Capacity;
ü  Risk Bearing Ability.
ü  Character;
ü  Capacity;
ü  Capital;
ü  Collateral;
ü  Condition.
Secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa penilaian secara kualitatif ini di dasarkan pada pencintraan terhadap perusahaan di dalam hal ini PT. Astra Honda Motor dalam perspektif 3R ataupun 5C.
Pedoman 3R
  • Return (pendapatan) yaitu menilai apakah PT. Astra Honda Motor mempunyai pendapatan yang memadai dalam mencukupi atau melunasi hutang dan bunganya.
  • Repayment Capacity (kemampuan mengembalikan pinjaman) yaitu menilai apakah PT. Astra Honda Motor mempunyai kapasitas/kemampuan dalam mengembalikan pinjaman dan bunganya pada saat jatuh tempo.
  • Risk-bearing Ability yaitu menilai kemampuan PT. Astra Honda Motor dalam menanggung  risiko kegagalan atau ketidakpastian yang berkaitan dengan penggunaan kredit.
Pedoman 5 C
  • Character yaitu penilaian kualitatif atas kemauan peminjam untuk memenuhi kewajiban hutangnya dan bunganya.
  • Capacity yaitu penilaian kualitatif atas peminjam untuk melunasi kewajiban hutangnya melalu pengelolaan perusahaannya dengan efektif dan efisien.
  • Capital yaitu penilaian kualitatif posisi keuangan perusahaan (peminjam) secara keseluruhan.
  • Collateral yaitu penilaian kualitatif aset yang dijaminkan (dijadikan agunan) untuk suatu pinjaman.
  • Condition yaitu penilaian kualitatif tentang sejauh mana kondisi perekonomian akan mempengaruhi kemampuan mengembalikan pinjaman.

Risiko Perubahan Tingkat Suku Bunga di PT. Astra Honda Motor
Risiko
Dampak
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dapat memengaruhi tingkat suku bunga
Besar
Kebijakan internal perbankan tentang tingkat suku bunga
Besar
Jangka waktu yang lama membuat perubahan tingkat suku bunga semakin sering
Besar
Timbul gap yang cukup besar antara pendapatan bunga dan biaya bunga akibat perubahan tingkat suku bunga
Besar

Risiko tingkat suku bunga ini merupakan risiko terkait dengan kesehatan finansial perusahaan. Adanya risiko Tingkat Suku Bunga merupakan salah satu indikasi bahwa PT. Astra Honda Motor menggunakan pendanaan atas investasi dan operasionalnya dengan modal yang berasal dari luar (external capital). Dengan demikian akan merubah struktur modal dari perusahaan. Indikasi yang dari modal yang didapatkan dari luar berupa hutang merupakan salah satu sebab berubahnya struktur modal perusahaan. Dengan struktur modal yang berubah seiring dengan bertambahnya utang perusahaan maka akan menambah biaya kebangkrutan perusahaan walaupun taxshield nya bertambah. Biaya kebangkrutan merupakan salah satu sebab perusahaan sedang mengalami financial distress.
Sumber :

Solusi:
Risiko Tingkat suku bunga di PT. Astra Honda Motor ini dapat dilihat dengan mengetahui utang perusahaan dan membandingkannya dengan modal sendiri perusahaan yang terhubung dalam struktur modal. Dengan melihat perbandingan antara keduanya, maka kita bisa melihat bagaimana perusahaan tersebut mempunyai risiko perubahan tingkat suku bunga yang besar atau rendah.
Kemudian untuk mengantisipasi terjadinya risiko suku bunga, upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh PT. Astra Honda Motor antara lain: Mengelompokkan aktiva dan pasiva berdasarkan tingkat kepekaannya dan menyusun perkiraan tingkat suku bunga melalui berbagai metode sehingga didapat perkiraan yang lebih baik. Selain itu juga PT. Astra Honda Motor harus tanggap dalam menghadapi perubahan yang potensial akan merugikan perusahaan.


 
OPERATIONAL RISK
KODAK

Penyebab Kodak Bangkrut

Liputan6.com, New York: Setelah Eastman Kodak Corporation dinyatakan pailit, muncul beragam penelitian tentang penyebab kebangkrutan perusahaan pelopor film fotografi tersebut.
Menurut sejumlah pengamat, seperti dikutip laman timesofindia.com, Senin (23/1), perusahaan pelopor fotografi tersebut tak sanggup melawan arus digital yang semakin berkembang setiap tahun.Tidak seperti IBM dan Xerox Corp, yang sukses menciptakan arus pendapatan baru saat bisnis mereka menurun.
Mereka menilai kesalahan Kodak membuang proyek-proyek baru terlalu cepat yang menyebarkan investasi digital terlalu luas, dan puas pada penilaian Rochester, New York, yang membutakan perusahaan untuk berinovasi pada teknologi lain.
"Kodak sangat puas dengan penilaiain Rochester dan tak pernah mengembangkan kehadiran teknologi baru di pusat-pusat dunia," ujar Rosabeth Kanter, Profesor Administrasi Bisnis Arbuckle di Harvard Business School."Ini seperti mereka tinggal di museum," sindirnya.
Sejak 1888, George Eastman menciptakan sebuah mesin yang menangkap gambar pada pelat kaca besar.Tak puas dengan terobosan itu, dia melanjutkan untuk mengembangkan film roll dan kemudian kamera Brownie.Selanjutnya pada 1960, Kodak mulai mempelajari potensi komputer dan membuat terobosan besar di tahun 1975, saat salah satu insinyur, Steve Sasson, menemukan kamera digital.

Namun, Kodak tak segera mencium potensi pasar tersebut dan tak fokus pada high-end kamera bagi pasar niche.Para eksekutif juga takut mengorbankan penjualan film initi mereka.
"Ketika (George Eastman) meninggal, ia menyisakan pengaruh pada perusahaan, yang salah satunya Kodak akan terus terikat dalam nostalgia," kata Nancy Westt, seorang profesor yang menulis sejarah Kodak dari University of Missouri. "Nostalgia memang indah, tapi itu tidak memungkinkan orang untuk bergerak maju." tandasnya.
Selain itu, penyebab kebangkrutan Kodak karena perusahaan tersebut melewatkan peluang bisnis.Di Consumer Electronics Show di Las Vegas tahunan pekan lalu, Perez dan Kodak memperkenalkan dua kamera baru yang diyakini bisa terhubung secara nirkabel dengan printer dan posting foto ke Facebook.Namun beberapa pengulas gadget mengatakan kamera baru tidak bisa terhubung ke web tanpa membonceng pada smartphone atau koneksi Wi-Fi.
"Orang tidak hanya tertarik dengan fitur baru, kecuali sesuatu yang revolusioner, dan ini adalah fitur tambahan,"ujar Suzanne Kantra, Editor Blog Teknologi Techlicious dan matan Editor Teknologi Popular Science.
Analis mengatakan Kodak bisa menjadi sebuah kelompok media sosial jika telah berhasil meyakinkan konsumen untuk menggunakan layanan online untuk menyimpan, berbagi, dan mengedit foto-foto mereka.Sebaliknya, Kodak berfokus terlalu banyak pada perangkat dan kalah dalam pertempuran online untuk jaringan sosial seperti Facebook.

Bangkrutnya Kodak, bangkrutnya pelopor fotografi
Jakarta (ANTARA News) - Eastman Kodak Co, ikon fotografi yang menemukan kamera tenteng (hand-held) telah mengajukan pailit dan berencana mengerutkan postur usahanya. Langkah ini ditempuh demi menghentikan laju terjun bebas dari meruginya salah satu perusahaan terkenal di Amerika Serikat itu.
Pengajuan pailit yang di Amerika terkenal dengan Pasal 11 ini, membuat Kodak menjadi perusahaan terbesar yang menjadi korban krisis di era digital.  Perusahaan ini gagal mengeluarkan teknologi lebih modern seperti kamera digital yang ironisnya justru ditemukannya.Kodak pernah mendominasi industri ini.
Status pailit ini membuat perusahaan yang didirikan pada 1880 itu mampu mendapatkan pembeli untuk sekitar 1.100 paten digitalnya.Kodak kini mempekerjakan 17.000 staf di seluruh dunia, padahal sembilan tahun lalu ada 63.900orang.
"Ini adalah hari yang sangat menyedihkan sekalipun kita telah berusaha mencegahnya," kata Shannon Cross, analis pada Cross Research."Jika perusahaan ini bertahan, maka akan menjadi entitas (bisnis) yang jauh lebih kecil."
Menurut berkas ajuan pailit ke pengadilan pailit AS di Manhattan, Kodak memiliki asset 5,1 miliar dolar AS dan 6,75 miliar dolar AS liabilitas sampai akhir September lalu. Dari berkas itu pula diketahui bahwa Chief Financial Officer Antoinette McCorvey mengungkapkan rencana Kodak untuk menjual asset-asset pentingnya selama pailit itu.
Kodak berharap menuntaskan program restrukturisasi pada 2013. "Ini adalah satu langkah yang memang dibutuhkan dan hal baik yang mesti dilakuan demi masa depan Kodak," kata Chairman dan Chief Executive Antonio Perez. Nilai pasar Kodak telah amblas di bawah 100 juta dolar AS dari 31 miliar dolar AS yang dicapai 15 tahun lalu ketika harga sahamnya bertengger di 94 dolar AS.  Tapi kini harga sahamnya hanya 30 sen.
Kodak akhirnya memenangkan persetujuan resmi hakim kepailitan AS Allan Gropper untuk mendapatkan dana talangan senilai 650 juta dolar AS dari konsorsium pimpinan Citigroup Inc. Jumlah ini kurang 300 juta dolar AS dari yang diminta Kodak.  Tapi itu cukup membantu perusahaan untuk tetap beroperasi dan menghindari dilikuidasi. Dengar pendapat akhir akan dilangsungkan 15 Februari nanti. Proposal paket 18 bulan yang diajukan Kodak ini ditentang para kreditor karena khawatir Kodak tak bisa melunasinya, apalagi jika manajemen membiarkan kerugian terus menggunung dan gagal mereorganisasi perusahaan.
"Tak akan menjadi Pasal 7," kata hakim, merujuk kode pasal kepailitan di AS yang berarti sebuah perusahaan harus dilikuidasi.
Paten digital
Perez, mantan eksekutif Hewlett-Packard Co yang menjadi kepala Kodak pada 2005, beberapa tahun terakhir telah membanting usaha Kodak ke bisnis printer namun gagal memperbaiki profitabiltas perusahaan.  Sejak 2007 Kodak tak bisa lagi untung.Kodak tertinggal untuk waktu lama dari para pesaingnya, kata Ananda Baruah, analis Brean Murray.Kodak berjuang keras memenuhi kewajiban pensiun dan lainnya bagi lebih dari 65.000 pekerja, pensiunan dan lainnya.
McCorvey mengatakan Apple Inc, produsen BlackBerry Research in Motion Ltd dan HTC Corp dari Taiwan mundur dari negosiasi paten karena kondisi keuangan Kodak berdarah-darah. Litigasi paten terpenting Kodak untuk bisa untung kembali.Kodak menggugat Apple, Research in Motion dan HTC karena melanggar paten, namun ketiga perusahaan ini membantah. Menurut McCorvey, Kodak menderita krisis likuiditas yang akut setelah para vendor menghentikan pengapalan dan penyediaan jasa, serta menuntut jangka pembayaran yang lebih pendek. Kodak mengaku memiliki dana tunai 820 juta dolar AS, tapi angka itu anjlok hingga hanya 56,7 juta dolar AS.  Dan ini menekan kantor pusat Kodak di Rochester, New York, di mana jumlah pekerjanya terpangkas menjadi sekitar 7.000 orang dari sebelumnya 60.000 orang.
Andrew Cuomo, Gubernur New York, menyebut status pailit Kodak ini sebagai berita yang sulit dan disesalkan oleh kota tersebut, sementara Bank investasi Lazard membantu Kodak untuk mendapatkan pembeli paten digitalnya.  Mark Zupan, dekan fakultas bisnis Universitas Rochester, mengatakan Kodak masih memiliki banyak sekali nilai sehingga tak perlu dilikuidasi. "Segmen-segmen akan cukup menguntungkan demi mempertahankan status leader ketika perusahaan menjadi lebih ramping," katanya. Perez mengatakan pailit akan membantu Kodak memaksimalisasi nilai paten yang berkaitan dengan pencitraan digital yang digunakan secara virtual dalam setiap kamera digital modern, ponsel pintar dan tablet. Andrew Dietderich, pengacara Kodak, berkata kepada Gropper dalam dengar pendapat Kamis itu bahwa perusahaan itu percaya masih memiliki hak intelektual antara 2,2 - 2,6 miliar dolar AS. Di antara 100.000 kreditor Kodak itu diantaranya adalah Wal-Mart Stores Inc, Target Corp, Sony Corp dan Walt Disney Co.
Trademark

George Eastman yang putus sekolah SMA dari kawasan utara New York, mendirikan perusahaan ini pada 1880 dan mulai membuat piringan-piringan fotografis.  Untuk mengembangkan bisnisnya, dia menggunakan mesin bekas untuk membuat piringan-piringan foto. Dalam delapan tahun, nama Kodak menjadi trademark.  Perusahaan ini lalu mengenalkan kamera tenteng, lalu film roll-up.Eastman juga mengenalkan "Wage Dividend" dalam mana perusahaan memberi bonus kepada karyawan berdasarkan kinerjanya.
Kodak lalu membuat kamera-kamera seperti Brownie yang diluncurkan pada 1900 dan Instamatic pada 1963.Di lamannya, perusahaan ini mengatakan bahwa sebuah kamera Kodak telah digunakan pada misi Apollo 11 tahun 1969.  "Kamera Kodak telah digunakan oleh para astronot untuk memfilmkan pendaratan di bulan hanya dalam jarak beberapa inchi," kata NASA. Film Kodak telah digunakan pada 80 film pemenang Oscar untuk Film Terbaik.
Pada 1975, Kodak menemukan kamera digital seukuran pemanggang roti.  Kamera digital ini terlalu besar untuk saku fotografer amatir yang kantongnya kini bisa dipenuhi kamera-kamera digital buatan Canon, Casio dan Nikon.Namun Kodak malah mencampakkan kamera digital dan bertahun-tahun hanya menyaksikan pesaing-pesaingnya merampas pangsa pasar digital.
Pada 1994, Kodak men-spin off  bisnis kimia-nya, Eastman Chemical Co, yang terbukti berhasil. Kejatuhan Kodak di depan mata ketika September lalu, investor menarik 160 juta kreditnya sehingga membuat keuangan perusahaan menjadi kering. Belum jelas benar bagaimanakah Kodak akan menangani kewajiban pensiunya, yang kebanyakan mengambilnya berdekade-dekade lalu ketika perusahaan-perusahaan AS malah menawarkan paket pensiun dan kesehatan yang lebih menarik.

ANALISIS
1.      Mengapa perusahaan berhutang untuk menjalankan bisnis dan operasionalnya?
Perusahaan Kodak melakukan pinjaman selain untuk memdapatkan modal untuk melakukan produksi, meminjam modal pada investor juga dapat memperluas penggunaan produk dan nilai paten dari produk agar perusahaan bisa berkerjasama dengan beberapa perusahaan yang terkait
2.      Kepada siapa perusahaan berhutang tersebut?
Perusahaan Kodak mendapat pinjaman modal dari  investornya yang berupa beberapa perusahaan terkait dan diantaranya secara langgsung menggunakan produk yang dikeluarkan oleh perusahaan seperti Wal-Mart Stores Inc, Target Corp, Sony Corp dan Walt Disney Co.
3.      Bagaimana perusahaan melakukan pembayaran utang tersebut?
Perusahaan akan melunasi kewajibannya kepada investor jika perusahaan mendapatkan laba dari penjualan produk, karena perusahaan mengalami kerugian dan pailit, sehingga perusahaan harus menjual beberapa assetnya serta melaporkan kepailitannya kepada pemerintah agar mendapat bantuan dalam melunasi utang-utangnya tersebut
4.      Apa saja risiko yang dihadapi oleh perusahaan?
Risiko Operasional
Perusahaan Kodak yang bergerak didunia tekonologi tentu akan banyak mengalami perubahan dan kemajuan zaman, namun perusahaan ini tidak mampu untuk memproduksi produk maupun itu menciptakan produk baru ataupun memperbarui produk lama mereka sesuai dengan kebutuhan dan keinginan para konsumen dan masyarakat luas, sehingga perusahaan harus menghadapi masalah bahwa produk mereka tertinggal serta kalah bersaing dengan produk lain dan menimbulkan kerugian pada perusahaan
Risiko Likuiditas
Perusahaan memiliki risiko tidak dapat melunasi seluruh utang dan kewajibannya kepada sejumlah perusahaan dan investornnya, apalagi perusahaan mengalami pailit karena produk yang dijual tidak bisa menhasilkan keuntungan pada perusahaan
Risiko Reputasi
Perusahaan terancam memiliki reputasi yang buruk karena banyak pengamat bisnis yang meramalkan bahwa perusahaan tidak mampu lagi beroperasi karena harga saham perusahaan yang terus menurun
Risiko Tenaga Kerja
Karena perusahaan secara terus menerus mengalami kerugian maka perusahaan harus mengurangi banyak tenaga kerjanya serta permasalahan untuk membayar gaji dan biaya pensiun bagi para karyawannya yang masih berkerja

Risiko Bisnis
Persaingan bisnis didunia tekonologi sangatlah pesat, pesaing selalu mengeluarkan produk terbaru dan lebih canggih, sehingga lebih digemari oleh konsumen dan laku dipasaran, risiko ini menjadi salah satu risiko yang tidak bisa dilalui oleh perusahaan Kodak.
5.      Bagaimana cara agar perusahaan dapat mengembangkan usahanya tanpa melakukan kredit atau berhutang?
Karena Perusahaan Kodak sebenarnya sudah lama bergelut didunia teknologi dan fotograpi, perusahaan juga sudah punya nilai paten atas beberapa produk yang mereka ciptakan serta sudah mendapat banyak kepercayaan dari beberapa perusahaan yang menggunakan produknya tersebut tentu saja perusahaan seharusnya sudah punya banyak pengalaman tentang sektor ini. Sebaiknya perusahaan membangun kerjasama dengan perusahaan lain masih terkait dengan dunia fotografi dan teknologi jika memang perusahaan sudah tidak mampu untuk memproduksi sendiri produk yang dapat laku dipasaran. Dengan berkerjasama dengan perusahaan lain Kodak masih bisa menggunakan pengalamannya dan berbagai assetnya yang masih dimiliki untuk keperluan operasional, tanpa harus meminjam modal dari pihak lain.
Selain itu perusahaan juga dapat beralih ke bidang media sosial seperti yang telah disarankan oleh analis, selain karena sedang majunya bisnis dalam dunia online, modal yang harus dikeluarkan jumlahnya pun tidak sebanyak untuk memproduksi perangkat keras yang biasanya dilakukan oleh Kodak selama ini.
Sumber:
http://94genia.blogspot.co.id/2016/02/studi-kasus-manajemen-risiko-berserta.html





RISIKO LIKUIDITAS
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
BLBI dan Hukum yang Bungkam                    
Penyimpangan atau korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menunjukkan kepada kita ongkos korupsi masa lalu yang harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia. Rakyat jadi korban karena efek berkepanjangannya dalam bentuk pengembalian utang. Sementara para penjahat diampuni dan tetap dapat 'bertengger' dengan leluasa di atas pundi-pundi uang yang dicuri. Harus diakui penyimpangan dana BLBI merupakan kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Fakta ini bisa dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan berpotensi merugikan negara.
Dana-dana tersebut kurang jelas penggunaannya. Juga terdapat penyimpangan dalam penyaluran maupun penggunaan dana BLBI yang dilakukan pemegang saham, baik secara langsung atau tidak langsung melalui grup bank tersebut. Sedangkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan. Upaya menyeret para pelaku korupsi dana BLBI sampai saat ini masih terbentur kendala penegakan hukum. Seolah hukum bungkam dan tidak bertaring menghadapi para 'konglomerat hitam'. Untuk penanganan kasus ini, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.
Penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dapat dianggap sebagai sebuah lembaran hitam dalam kehidupan perbankan nasional. Sementara penanganan terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI tersebut dapat pula dicatat sebagai sebuah lembaran hitam dalam sejarah kehidupan hukum Indonesia. Catatan tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan bila dikaitkan dengan adanya berbagai implikasi yuridis yang kemudian muncul sebagai akibat berbelit-belitnya proses penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI. Ketidaksamaan persepsi di kalangan hukum sendiri tentang penanganan kasus-kasus BLBI adalah gambaran tentang betapa kehidupan hukum kita semakin menjauh dari kepastian hukum.
Ada dua aspek hukum yang cenderung mendapatkan perhatian dan mengemuka dalam berbagai diskusi terkait dengan masalah BLBI.Pertama, apakah penyimpangan BLBI itu merupakan sesuatu yang berada dalam tataran hukum keperdataan, atau apakah kasusnya kemudian dapat berkembang menjadi sesuatu yang berada dalam lingkup hukum pidana. Kedua, masalah penyelesaian terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI yang telah menimbulkan berbagai kontrovesri. Tulisan ini mencoba memberikan solusibagi keduanya, namun tidaklah dimaksudkan untuk membahasnya secara tuntas, melainkan hanya beberapa bagian yang dianggap relevan.
ANALISIS
A. Kasus BLBI
BLBI telah berjalan kurang lebih selama 10 (sepuluh) tahun sejak krisis moneter tahun 1997/1998. Langkah penegakan hukum telah dilaksanakan yang mengakibatkan pengambil kebijakan pengucuran BLBI telah dijatuhi hukuman sedangkan 2 (dua) direksi lainnya di SP3-kan oleh Kejagung, dan sejumlah kecil penerima BLBI dihukum. Pemerintah telah menetapkan kebijakan hukum menggunakan penyelesaian di luar pengadilan dengan payung hukum UU Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas dan Payung Politik TAP MPR RI kemudian ditindak lanjuti dengan Inpres Nomor 8 tahun 2002 yang mengesahkan perjanjian MSAA, MRNIA, APU, dan SKL. Konsekuensi dari Inpres tersebut adalah dihentikannya penyidikan kasus BLBI (SP3) oleh kejaksaan agung namun tidak merujuk kepada ketentuan KUHAP atau UU Kejaksaan. Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap obligor yang diharapkan kooperatif (melunasi seluruh kewajibannya) tidak memberikan hasil maksimal untuk kepentingan Negara. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 6 Mei 2008 yang telah membatalkan SP3 Kejaksaan Agung yang telah dikeluarkan atas nama Kasus SYN (BDNI) tertanggal 14 Juni tahun 2004 merupakan bukti bahwa payung hukum di atas tidak memenuhi asas kepastian hukum dan belum berpihak kepada kepentingan masyarakat luas. Sedangkan pengembalian atas kerugian Negara tidak mencapai 10 % dari total dana BLBI yang telah disalurkan.
B. Analisis Hukum Kasus BLBI
BLBI pada hakikatnya adalah sebuah fasilitas yang secara khusus diberikan oleh Bank Indonesia kepada pihak perbankan nasional untuk menanggulangi masalah kesulitan likuiditas yang dihadapinya. Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa kebijakan itu ditempuh adalah untuk tujuan menyelamatkan dunia perbankan nasional dari kehancuran yang dipastikan akan berimplikasi terhadap perekonomian nasional. Akan tetapi persoalannya kemudian adalah, tujuan yang baik itu ternyata telah disalahgunakan oleh sebagian penerima fasilitas untuk memperkaya diri. Artinya, bantuan likuiditas itu tidak digunakan sesuai dengan maksud dikeluarkannya kebijakan tersebut. Akibatnya terjadi kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar.
Bantuan likuiditas dalam berbagai bentuk dan jenis yang diberikan kepada bank penerima, pada awalnya adalah sesuatu yang berada dalam lapangan hukum keperdataan, karena para pihak dilandasi oleh adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau kontrak sebagai kreditur dan debitur. Berdasarkan verifikasi terhadap data hasil olahan pengawas bank penerima BLBI, ditemui oleh BPK dan BPKP adanya indikasi penyalahgunaan BLBI oleh bank penerima. Menurut tujuannya, dana BLBI itu hanyalah untuk dana pihak ketiga (masyarakat), namun pada kenyataannya juga digunakan untuk membayar kembali transaksi bank yang tidak layak dibiayai oleh dana BLBI.
Oleh karena adanya penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank penerima, yang kemudian ternyata merugikan keuangan negara, maka persoalannya tentu tidak lagi hanya sekedar kasus yang mesti diselesaikan dengan menggunakan ketentuan hukum keperdataan. Artinya masalah BLBI telah berkembang menjadi perkara pidana. Penyalahgunaan dana BLBI yang menimbulkan kerugian keuangan negara itu, telah cukup memenuhi rumusan hukum pidana berdasarkan UU Nomor 3 tahun 1971 jo UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001, untuk membawa kasus-kasus BLBI itu ke dalam proses peradilan untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Meskipun demikian, kita tentu tidak boleh men-generalisasi semua kasus BLBI sebagai perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum pidana. Tentu ada kasus-kasus yang memang terjadi semata-mata karena sesuatu yang mesti diselesaikan melalui jalur hukum keperdataan. Ada beberapa bentuk perilaku menyimpang dalam kaitannya dengan BLBI yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana, di antaranya:
1.      pemberian BLBI dilakukan kepada pihak yang tidak pantas menerimanya.
2.      konspirasi antara oknum Bank Indonesia dengan bank penerima BLBI.
3.      pemberian BLBI melebihi jumlah yang sepantasnya
4.      penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI
Di samping itu, studi hukum yang dilakukan Satgas BLBI telah mengidentifikasi bentuk-bentuk penyimpangan penggunaan BLBI, antara lain: Penggunaan dana BLBI oleh penerima secara menyimpang, seperti digunakan untuk keperluan pembelian devisa dan memindahkan asset ke luar negeri, membawanya ke pasar uang atau digunakan untuk operasionalisasi bank, serta untuk membayar pinjaman kepada kelompok sendiri (group perusahaan penerima BLBI). Studi hukum
1.      membayar atau melunasi kewajiban kepada pihak terafiliasi.
2.      membayar atau melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan.
3.      membiayai kontrak derivatif baru atau kerugiaan karena kontrak derivative lama jatuh tempo.
4.      membiayai penempatan baru di pasar uang antar bank (PUAB), atau pelunasan kewajiban yang timbul dari transaksi PUAB.
5.      membiayai ekspansi kredit atau merelasasikan kelonggaran tarik dari komitmen kredit yang sudah ada.
6.      bentuk-bentuk penyimpangan lainnya seperti:
a.       pembayaran kepada pihak ketiga yang masih mempunyai kewajiban kepada bank
b.      penarikan dana tunai dari giro bank di BI yang penggunaannya tidak jelas.
c.       pelunasan kewajiban antar bank, dan sebagainya.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut dilakukan dengan berbagai cara dan modus operandi yang pada prinsipnya tidak sesuai dengan penggunaan dana BLBI yang seharusnya dilakukan. Bertolak dari adanya penyimpangan dalam berbagai bentuk dan modus operandi yang merugikan keuangan negara, maka penyelesaian terhadap kasus-kasus BLBI mesti ditanggapi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan hukum pidana.
Dalam soal penanganan terhadap kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI, kalangan hukum cenderung pula memperdebatkan aturan-aturan hukum pidana yang mesti digunakan. Masalahnya terletak pada penerapan ketentuan pidana yang ada dalam UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan atau ketentuan pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, sejauhmana dan dalam hal-hal apa sajakah ketentuan-ketentuan hukum pidana tentang korupsi dapat diimplementasikan terhadap pelanggaran atau penyalahgunaan dana BLBI.
Pembuat UU Perbankan telah merumuskan berbagai kategori perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan. Perbuatan-perbuatan tersebut meliputi:
1.      tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan perizinan.
2.      tindak pidana perbankan di bidang rahasia bank.
3.      tindak pidana perbankan di bidang pengawasan.
4.      tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan kegiatan usaha bank (kolusi managemen).
5.      tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pihak terafiliasi.
Dilihat dari rumusan delik yang ada dalam UU Perbankan, tidak ada satu rumusanpun yang dapat digunakan untuk menjangkau pelaku penyalahgunaan dana BLBI. Oleh karena itu kasus-kasus BLBI yang mengandung indikasi kriminal mesti ditanggapi dengan menggunakan ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KPK : Mencari Celah Tangani Kasus BLBI
Kewenangan KPK dalam menangani kasus BLBI dipertanyakan, bahkan oleh Antasari Azhar selaku mantan Ketua KPK itu sendiri. Menurut hemat penulis, dengan terungkapnya kasus penyuapan jaksa Urip dalam penanganan kasus Sjamsul Nursalim (BDNI) dapat meretas jalan bagi KPK untuk melanjutkan penanganan kasus BLBI. Memang, hal ini merupakan tugas yang tidak ringan buat KPK. Apalagi, terdapat ketentuan dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang tidak memberlakukan azas retroaktif dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh KPK. Akan tetapi, kasus BLBI sudah merusak sendi-sendi keadilan dalam masyarakat sehingga sudah seharusnya jika ada “political will” yang kuat dari KPK, Presiden, Kejaksaan Agung, dan DPR untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
Laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2000 menyebutkan adanya penyimpangan penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 138,4 triliun dari total dana Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya peyelewengan penyalahgunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun. Mantan Gubernur Bank Indonesia, Soedrajad Djiwandono, dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Tersangka dari BI adalah para direkturnya, Hedrobudiyanto, Paul Sutopo dan Heru Soepraptomo dan masing-masing telah divonis tiga tahun, dua setengah tahun, dan tiga tahun. Dari pihak BLBI, ada beberapa debitur yang diproses secara hukum, di antaranya Sjamsul Nursalim (BDNI) yang kasusnya telah dihentikan oleh pihak Kejaksaan Agung dengan alasan tidak cukup bukti adanya perbuatan korupsi.
Meskipun penghentian penyidikan atas kasus Sjamsul Nursalim oleh Kejaksaan Agung tidak serta merta dapat diterima oleh masyarakat dan menyisakan pertanyaan besar yang belum terjawab, kita tiba-tiba dikejutkan oleh kasus jaksa Urip yang tertangkap tangan oleh KPK atas dugaan menerima suap. Hal ini tentu saja semakin memojokkan posisi Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus tersebut yang dianggap tidak tuntas dan tidak bersih.
Penulis mencermati bahwa dari awal, sebenarnya keinginan pihak Kejaksaan Agung untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi yang ditanganinya patut mendapat acungan jempol. Bahkan, mantan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh pun terkesan tidak mau melepaskan penanganan kasus BLBI yang akan diambil alih oleh KPK. Hal ini terungkap dalam pemberitaan di harian Suara Karya, 10 Maret 2006 : ”Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh (Arman) berubah sikap. Dia menyatakan keberatan jika kasus-kasus korupsi yang terkatung-katung di kejaksaan diambil-alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”. Padahal, (Rabu, 8 Maret 2006), dia mengaku tidak bermasalah dengan perintah Presiden Susilo Bambang Yudhono itu. "Kasus-kasus korupsi yang sudah ditangani kejaksaan sebaiknya tidak dialihkan ke KPK," ujar Arman kepada wartawan saat rehat rapat koordinator menteri-menteri di lingkungan Polhukam dengan tim Pemantau Kasus Poso, di Gedung DPR-RI, Jakarta.
Di lain pihak, KPK sendiri juga terlihat tidak terlalu bernafsu untuk mengambil alih penanganan kasus korupsi yang terkatung-katung di Kejaksaan Agung. Padahal, KPK sendiri sudah menegaskan akan mengambil alih kasus-kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung dan Polri bila penanganan itu berlarut-larut. Hal itu disampaikan Ketua KPK yang pada saat itu dijabat oleh Taufiqurahman Ruki seusai menandatangani Keputusan Bersama antara KPK dan Jaksa Agung tentang kerja sama dalam rangka pemberantasan dan tindakan korupsi, di Jakarta. Acara tersebut dihadiri antara lain oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi, Ketua BPK Anwar Nasution, dan Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan. “KPK mempunyai tugas supervisi dan KPK akan ambil alih bila jaksa atau polisi berlarut-larut dalam menangani kasus korupsi. Memang agak susah kalau tindak pidana korupsi dengan bukti lengkap tetapi lama ditangani,” demikian kata Ruki. (Kompas, 7/12/05). Jadi, kalau MOU antara KPK dan Jaksa Agung tidak dapat memberikan dampak apa-apa dalam penanganan kasus-kasus tersebut (termasuk kasus BLBI), tentu saja harus dicari terobosan lain untuk penuntasan kasus BLBI.
 
Sumber:
http://lastiani16.blogspot.co.id/2014/06/masalah-bantuan-likuiditas-bank.html


RISIKO FRAUD
STUDI KASUS PELANGGARARAN PROFESI AKUNTANSI
Skandal Manipulasi Laporan Keuangan PT. Kimia Farma Tbk”

Permasalahan
PT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices) pada tanggal 1 dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.
Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan di harian Kontan yang menyatakan bahwa Kementerian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik Pemerintah di PT KAEF setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan (overstated) dalam laporan keuangan pada semester I tahun 2002. Dimana tindakan ini terbukti melanggar Peraturan Bapepam No.VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan poin 2 – Khusus huruf m – Perubahan Akuntansi dan Kesalahan Mendasar poin 3) Kesalahan Mendasar, sebagai berikut:
“Kesalahan mendasar mungkin timbul dari kesalahan perhitungan matematis, kesalahan dalam penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan interpretasi fakta dan kecurangan atau kelalaian.
Dampak perubahan kebijakan akuntansi atau koreksi atas kesalahan mendasar harus diperlakukan secara retrospektif dengan melakukan penyajian kembali (restatement) untuk periode yang telah disajikan sebelumnya dan melaporkan dampaknya terhadap masa sebelum periode sajian sebagai suatu penyesuaian pada saldo laba awal periode. Pengecualian dilakukan apabila dianggap tidak praktis atau secara khusus diatur lain dalam ketentuan masa transisi penerapan standar akuntansi keuangan baru”.
Sanksi dan Denda
Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan Pasal 102 Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal jo Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 jo Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal maka PT Kimia Farma (Persero) Tbk. dikenakan sanksi administratif berupa denda yaitu sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Sesuai Pasal 5 huruf n Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, maka:
  1. Direksi Lama PT Kimia Farma (Persero) Tbk. periode 1998 – Juni 2002 diwajibkan membayar sejumlah Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan per 31 Desember 2001.
  2. Sdr. Ludovicus Sensi W, Rekan KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa selaku auditor PT Kimia Farma (Persero) Tbk. diwajibkan membayar sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT Kimia Farma (Persero) Tbk. tersebut, meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan. Tetapi, KAP HTM tetap diwajibkan membayar denda karena dianggap telah gagal menerapkan Persyaratan Profesional yang disyaratkan di SPAP SA Seksi 110 – Tanggung Jawab & Fungsi Auditor Independen, paragraf 04 Persyaratan Profesional, dimana disebutkan bahwa persyaratan profesional yang dituntut dari auditor independen adalah orang yang memiliki pendidikan dan pengalaman berpraktik sebagai auditor independen.
Keterkaitan Akuntan Terhadap Skandal PT Kimia Farma Tbk.
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) melakukan pemeriksaan atau penyidikan baik atas manajemen lama direksi PT Kimia Farma Tbk. ataupun terhadap akuntan publik Hans Tuanakotta dan Mustofa (HTM). Dan akuntan publik (Hans Tuanakotta dan Mustofa) harus bertanggung jawab, karena akuntan publik ini juga yang mengaudit Kimia Farma tahun buku 31 Desember 2001 dan dengan yang interim 30 Juni tahun 2002.
Pada saat audit 31 Desember 2001 akuntan belum menemukan kesalahan pencatatan atas laporan keuangan. Tapi setelah audit interim 2002 akuntan publik Hans Tuanakotta Mustofa (HTM) menemukan kesalahan pencatatan alas laporan keuangan. Sehingga Bapepam sebagai lembaga pengawas pasar modal bekerjasama dengan Direktorat Akuntansi dan Jasa Penilai Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi para akuntan publik untuk mencari bukti-bukti atas keterlibatan akuntan publik dalam kesalahan pencatatan laporan keuangan pada PT. Kimia Farma Tbk. untuk tahun buku 2001.
Namun dalam hal ini seharusnya akuntan publik bertindak secara independen karena mereka adalah pihak yang bertugas memeriksa dan melaporkan adanya ketidakwajaran dalam pencatatan laporan keuangan. Dalam UU Pasar Modal 1995 disebutkan apabila di temukan adanya kesalahan, selambat-lambamya dalam tiga hari kerja, akuntan publik harus sudah melaporkannya ke Bapepam. Dan apabila temuannya tersebut tidak dilaporkan maka auditor tersebut dapat dikenai pidana, karena ada ketentuan yang mengatur bahwa setiap profesi akuntan itu wajib melaporkan temuan kalau ada emiten yang melakukan pelanggaran peraturan pasar modal. Sehingga perlu dilakukan penyajian kembali laporan keuangan PT. Kimia Farma Tbk. dikarenakan adanya kesalahan pencatatan yang mendasar, akan tetapi kebanyakan auditor mengatakan bahwa mereka telah mengaudit sesuai dengan standar profesional akuntan publik. Akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa ikut bersalah dalam manipulasi laporan keuangan, karena sebagai auditor independen akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) seharusnya mengetahui laporan-laporan yang diauditnya itu apakah berdasarkan laporan fiktif atau tidak.
Keterkaitan Manajemen Terhadap Skandal PT Kimia Farma Tbk
Mantan direksi PT Kimia Farma Tbk. Telah terbukti melakukan pelanggaran dalam kasus dugaan penggelembungan (mark up) laba bersih di laporan keuangan perusahaan milik negara untuk tahun buku 2001. Kantor Menteri BUMN meminta agar kantor akuntan itu menyatakan kembali (restated) hasil sesungguhnya dari laporan keuangan Kimia Farma tahun buku 2001. Sementara itu, direksi lama yang terlibat akan diminta pertanggungjawabannya. Seperti diketahui, perusahaan farmasi terbesar di Indonesia itu telah mencatatkan laba bersih 2001 sebesar Rp 132,3 miliar. Namun kemudian Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai, pencatatan tersebut mengandung unsur rekayasa dan telah terjadi penggelembungan. Terbukti setelah dilakukan audit ulang, laba bersih 2001 seharusnya hanya sekitar Rp 100 miliar. Sehingga diperlukan lagi audit ulang laporan keuangan per 31 Desember 2001 dan laporan keuangan per 30 Juni 2002 yang nantinya akan dipublikasikan kepada publik.
Setelah hasil audit selesai dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Hans Tuanakotta & Mustafa, akan segera dilaporkan ke Bapepam. Dan Kimia Farma juga siap melakukan revisi dan menyajikan kembali laporan keuangan 2001, jika nanti ternyata ditemukan kesalahan dalam pencatatan. Untuk itu, perlu dilaksanakan rapat umum pemegang saham luar biasa sebagai bentuk pertanggungjawaban manajemen kepada publik. Meskipun nantinya laba bersih Kimia Farma hanya tercantum sebesar Rp 100 miliar, investor akan tetap menilai bagus laporan keuangan. Dalam persoalan Kimia Farma, sudah jelas yang bertanggung jawab atas terjadinya kesalahan pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan laba terlihat di-mark up ini, merupakan kesalahan manajemen lama.
Kesalahan Pencatatan Laporan Keuangan Kimia Farma Tahun 2001
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai kesalahan pencatatan dalam laporan keuangan PT Kimia Farma Tbk. tahun buku 2001 dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di pasar modal. Kesalahan pencatatan itu terkait dengan adanya rekayasa keuangan dan menimbulkan pernyataan yang menyesatkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Bukti-bukti tersebut antara lain adalah kesalahan pencatatan apakah dilakukan secara tidak sengaja atau memang sengaja diniatkan. Tapi bagaimana pun, pelanggarannya tetap ada karena laporan keuangan itu telah dipakai investor untuk bertransaksi. Seperti diketahui, perusahaan farmasi itu sempat melansir laba bersih sebesar Rp 132 miliar dalam laporan keuangan tahun buku 2001. Namun, kementerian Badan Usaha Milik Negara selaku pemegang saham mayoritas mengetahui adanya ketidakberesan laporan keuangan tersebut. Sehingga meminta akuntan publik Kimia Farma, yaitu Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) menyajikan kembali (restated) laporan keuangan Kimia Farma 2001. HTM sendiri telah mengoreksi laba bersih Kimia Farma tahun buku 2001 menjadi Rp 99 milliar. Koreksi ini dalam bentuk penyajian kembali laporan keuangan itu telah disepakati para pemegang saham Kimia Farma dalam rapat umum pemegang saham luar biasa. Dalam rapat tersebut, akhirnya pemegang saham Kimia Farma secara aklamasi menyetujui tidak memakai lagi jasa HTM sebagai akuntan publik.
Dampak Terhadap Profesi Akuntan
Aktivitas manipulasi pencatatan laporan keungan yang dilakukan manajemen tidak terlepas dari bantuan akuntan. Akuntan yang melakukan hal tersebut memberikan informasi yang menyebabkan pemakai laporan keuangan tidak menerima informasi yang fair. Akuntan sudah melanggar etika profesinya. Kejadian manipulasi pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan dampak yang luas terhadap aktivitas bisnis yang tidak fair membuat pemerintah campur tangan untuk membuat aturan yang baru yang mengatur profesi akuntan dengan maksud mencegah adanya praktik-praktik yang akan melanggar etika oleh para akuntan publik.
Sumber:
http://lindapraba.blogspot.co.id/2015/01/tugas-3-fraud-dan-contoh-kasus-fraud.html

ANALISIS
Keterkaitan Manajemen Risiko Etika disini adalah pada pelaksanaan audit oleh KAP HTM selaku badan independen, kesepakatan dan kerjasama dengan klien (PT Kimia Farma Tbk.) dan pemberian opini atas laporan keuangan klien.
Dalam kasus ini, jika dipandang dari sisi KAP HTM, maka urutan stakeholder mana ditinjau dari segi kepentingan stakeholder adalah:
1. Klien atau PT Kimia Farma Tbk.
2. Pemegang saham
3. Masyarakat luas
Dalam kasus ini, KAP HTM menghadapi sanksi yang cukup berat dengan dihentikannya jasa audit mereka. Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP HTM semata yang tidak mampu melakukanreview menyeluruh atas semua elemen laporan keuangan, tetapi lebih karena kesalahan manajemen Kimia Farma yang melakukan aksi manipulasi dengan penggelembungan nilai persediaan.
Kasus yang menimpa KAP HTM ini adalah risiko inheren dari dijalankannya suatu tugas audit. Sedari awal, KAP HTM seharusnya menyadari bahwa kemungkinan besar akan ada risiko manipulasi seperti yang dilakukan PT. Kimia Farma, mengingat KAP HTM adalah KAP yang telah berdiri cukup lama. Risiko ini berdampak pada reputasi HTM dimata pemerintah ataupun publik, dan pada akhirnya HTM harus menghadapi konsekuensi risiko seperti hilangnya kepercayaan publik dan pemerintah akan kemampuan HTM, penurunan pendapatan jasa audit, hingga yang terburuk adalah kemungkinan di tutupnya Kantor Akuntan Publik tersebut.
Diluar risiko bisnis, risiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada kemungkinan dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam manipulasi laporan keuangan. Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak terlibat dalam kasus manipulasi tersebut, namun hal ini bisa saja terjadi.
Sesuai dengan teori yang telah di paparkan diatas, manajemen risiko yang dapat diterapkan oleh KAP HTM antara lain adalah dengan mengidentifikasi dan menilai risiko etika, serta menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stakeholder.
1. Mengidentifikasi dan menilai risiko etika
Dalam kasus antara KAP HTM dan Kimia Farma ini, pengidentifikasian dan penilaian risiko etika dapat diaplikasikan pada tindakan sebagai berikut:
a)      Melakukan penilaian dan identifikasi para stakeholder HTM
HTM selayaknya membuat daftar mengenai siapa dan apa saja parastakeholder yang berkepentingan beserta harapan mereka. Dengan mengetahui siapa saja para stakeholder dan apa kepentingannya serta harapan mereka, maka KAP HTM dapat melakukan penilaian dalam pemenuhan harapan stakeholder melalui pembekalan kepada para auditor senior dan junior sebelum melakukan audit pada Kimia Farma.
b)      Mempertimbangkan kemampuan SDM HTM dengan ekspektasi para stakeholder, dan menilai risiko ketidak sanggupan SDM HTM dalam menjalankan tugas audit.
c)      Mengutamakan reputasi KAP HTM
Yaitu dengan berpegang pada nilai-nilai hypernorm, seperti kejujuran, kredibilitas, reliabilitas, dan tanggung jawab. Faktor-faktor tersebut bisa menjadi kerangka kerja dalam melakukan perbandingan.
Tiga tahapan ini akan menghasilkan data yang memungkinkan pimpinan KAP HTM dapat mengawasi adanya peluang dan risiko etika, sehingga dapat ditemukan cara untuk menghindari dan mengatasi risiko tersebut, serta agar dapat secara strategis mengambil keuntungan dari kesempatan tersebut.
2. Menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stakeholder
KAP HTM dapat melakukan pengelompokan stakeholder dan meratingnya dari segi kepentingan, dan kemudian menyusun rencana untuk berkolaborasi dengan stakeholder yang dapat memberikan dukungan dalam penciptaan strategi, yang dapat memenuhi harapan para stakeholder HTM.


KASUS RISIKO FRAUD
PT KERETA API INDONESIA (PT KAI) terdeteksi adanya kecurangan dalam penyajian laporan keuangan. Ini merupakan suatu bentuk penipuan yang dapat menyesatkan investor dan stakeholder lainnya. Kasus ini juga berkaitan dengan masalah pelanggaran kode etik profesi akuntansi. Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp6,9 Miliar. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan justru menderita kerugian sebesar Rp 63 Miliar.
Komisaris PT KAI Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan, laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit terhadap laporan keuangan PT KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), sedangkan untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan akuntan publik.
Hasil audit tersebut kemudian diserahkan Direksi PT KAI untuk disetujui sebelum disampaikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham, dan Komisaris PT KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik. Setelah hasil audit diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT KAI tahun 2005 sebagai berikut:
1.      Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005. Kewajiban PT KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standar Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai aset. Di PT KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
2.      Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp24 Miliar yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui     manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pad    akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
3.      Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai kumulatif sebesar Rp674,5 Miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp70 Miliar oleh manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang.
4.      Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.
Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara Komisaris dan auditor akuntan publik terjadi karena PT KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik. Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT KAI baru bisa mengakses laporan keuangan setelah diaudit akuntan publik. Akuntan publik yang telah mengaudit laporan keuangan PT KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu diberi sanksi teguran atau pencabutan izin praktik.
Kasus PT KAI berawal dari pembukuan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sebagai akuntan sudah selayaknya menguasai prinsip akuntansi berterima umum sebagai salah satu penerapan etika profesi. Kesalahan karena tidak menguasai prinsip akuntansi berterima umum bisa menyebabkan masalah yang sangat menyesatkan.
Laporan Keuangan PT KAI tahun 2005 disinyalir telah dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu. Banyak terdapat kejanggalan dalam laporan keuangannya. Beberapa data disajikan tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Hal ini mungkin sudah biasa terjadi dan masih bisa diperbaiki. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pihak auditor menyatakan Laporan Keuangan itu Wajar Tanpa Pengecualian. Tidak ada penyimpangan dari standar akuntansi keuangan. Hal ini lah yang patut dipertanyakan.
Dari informasi yang didapat, sejak tahun 2004 laporan PT KAI diaudit oleh Kantor Akuntan Publik. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang melibatkan BPK sebagai auditor perusahaan kereta api tersebut. Hal itu menimbulkan dugaan kalau Kantor Akuntan Publik yang mengaudit Laporan Keuangan PT KAI melakukan kesalahan.
Profesi Akuntan menuntut profesionalisme, netralitas, dan kejujuran. Kepercayaan masyarakat terhadap kinerjanya tentu harus diapresiasi dengan baik oleh para akuntan. Etika profesi yang disepakati harus dijunjung tinggi. Hal itu penting karena ada keterkaitan kinerja akuntan dengan kepentingan dari berbagai pihak. Banyak pihak membutuhkan jasa akuntan. Pemerintah, kreditor, masyarakat perlu mengetahui kinerja suatu entitas guna mengetahui prospek ke depan. Yang Jelas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh akuntan harus mendapat perhatian khusus. Tindakan tegas perlu dilakukan.

PEMBAHASAN KASUS
A.    Kasus di atas merupakan Kasus Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI  yang dilakukan oleh Manajemen PT KAI dan Ketidakmampuan KAP dalam mengindikasi terjadinya manipulasi.
B.     Analisis 5 Question Approach:
·         Profitable
1.      Pihak yang diuntungkan adalah Manajemen PT KAI karena kinerja keuangan perusahaan seolah-olah baik (laba Rp 6.9 M), meskipun pada kenyataannya menderita kerugian Rp 63 M. Tidak tertutup kemungkinan, pihak manajemen memperoleh bonus dari “laba semu” tersebut.
2.      Pihak lain yang diuntungkan adalah KAP S. Manan & Rekan, dimana dimungkinkan memperoleh Fee khusus karena memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian.
·         Legal
1.      PT KAI melanggar Pasal 90 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar  Modal “Dalam kegiatan perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung maupun tidak langsung:
a)      Menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana   dan atau cara apa pun;
b)      Turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan
c)      Membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek.”


PT KAI dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 107 UU No.8 Tahun 1995 yang menyatakan:
“Setiap Pihak yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan Pihak lain atau menyesatkan Bapepam, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran termasuk Emiten dan Perusahaan Publik diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”
2.      KAP S. Manan & Rekan melanggar Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP)
·         Fair
Perbuatan manajemen PT.KAI merugikan publik/masyarakat dan pemerintah.
1)      Publik (investor); dirugikan karena memperoleh informasi yang menyesatkan, sehingga keputusan yang diambil berdasarkan informasi keuagan PT. KAI menjadi tidak akurat/salah
2)      Pemerintah; dirugikan karena dengan rekayasa keuangan tersebut maka pajak yang diterima pemerintah lebih kecil.
·         Right
1)      Hak-hak Publik; dirugikan karena investor memperoleh informasi yang menyesatkan, sehingga keputusan yang diambil menjadi salah/tidak akurat.
2)      Pemerintah; dirugikan karena pajak yang diterima pemerintah menjadi lebih kecil.
·         Suistainable Development
1)      Rekayasa yang dilakukan manajemen PT KAI bersifat jangka pendek dan bukan jangka panjang, karena hanya menginginkan keuntungan/laba untuk kepentingan pribadi/manajemen (motivasi bonus).
C.    Prinsip Etika Yang Dilanggar:
Selain akuntan eksternal dan komite audit yang melakukan kesalahan dalam hal pencatatan laporan keuangan, akuntan internal di PT. KAI juga belum sepenuhnya menerapkan 8 prisip etika akuntan. Dari kedelapan prinsip akuntan yaitu tanggung jawab profesi, kepentingan publik, integritas, objektifitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis, prinsip-prinsip etika akuntan yang dilanggar antara lain :

1.      Tanggung jawab profesi ;                                                                        
Dimana seorang akuntan harus bertanggung jawab secara professional terhadap semua kegiatan yang dilakukannya. Akuntan Internal PT. KAI kurang bertanggung jawab karena dia tidak menelusuri kekeliruan dalam pencatatan dan memperbaiki kesalahan tersebut sehingga laporan keuangan yang dilaporkan merupakan keadaan dari posisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.
2.      Kepentingan Publik ;                                                                
Dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan publik atau mereka yang berhubungan dengan perusahaan seperti kreditur, investor, dan lain-lain. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak bekerja demi kepentingan publik karena diduga sengaja memanipulasi laporan keuangan sehingga PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun karena manipulasi tersebut PT. KAI terlihat mengalami keuntungan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya, termasuk bagi PT. KAI. Karena, apabila kerugian tersebut semakin besar namun tidak dilaporkan, maka PT. KAI bisa tidak sanggup menanggulangi kerugian tersebut.
3.      Integritas ;                                                                                      
Dimana akuntan harus bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI tidak menjaga integritasnya, karena diduga telah melakukan manipulasi laporan keuangan.
4.      Objektifitas ;                                                                                                          Dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau tidak memihak siapapun. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak obyektif karena diduga telah memanipulasi laporan keuangan sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang berada di PT. KAI.
5.      Kompetensi dan kehati-hatian  professional ;                            
Akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini, akuntan PT. KAI tidak melaksanakan kehati-hatian profesional sehingga terjadi kesalahan pencatatan yang mengakibatkan PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun dalam laporan keuangan mengalami keuntungan.


6.      Perilaku profesional ;                                                                   
Akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak berperilaku profesional yang menyebabkan kekeliruan dalam melakukan pencatatanlaporan keuangan, dan hal ini dapat mendiskreditkan (mencoreng nama baik) profesinya.
7.      Standar teknis  ;                                                                                                    Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Dalam kasus ini akuntan tidak melaksanakan prinsip standar teknis karena tidak malaporkan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset.
D.    Sikap Yang Diambil :
1.      Manajemen PT KAI
a)      Melakukan koreksi atas salah saji atas: pajak pihak ketiga yang dimasukkan sebagai asset; penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan yang belum dibebankan; bantuan pemerintah yang seharusnya disajikan sebagai bagian modal perseroan.
b)      Meminta maaf kepada stakeholders melalui konferensi pers dan berjanji tidak mengulangi kembali di masa datang.
2.      KAP S. Manan & Rekan & Rekan
a)      Melakukan jasa profesional sesuai SPAP, dimana tiap anggota harus berperilaku konsisten dengan reputasi profesionalnya dengan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesioreksi
b)      Melakukan koreksi atas opini yang telah dibuat
c)      Melakukan konferensi pers dengan mengungkapkan bahwa oknum yang melakukan kesalahan sehingga menyebabkan opini atas Laporan Keuangan menjadi tidak seharusnya telah diberikan sanksi dari pihak otorisasi, dan berjanji tidak mengulang kembali kejadian yang sama di masa yang akan datang.
E.     Rekomendasi Agar Kasus Serupa Tidak Terulang
1)      Membangun kultur perusahaan yang baik; dengan mengutamakan integritas, etika profesi dan kepatuhan pada seluruh aturan, baik internal maupun eksternal, khususnya tentang otorisasi.
2)      Mendahulukan kepentingan publik daripada kepentingan publik.
3)      Merekrut manajemen baru yang memiliki integritas dan moral yang baik, serta memberikan siraman rohani kepada karyawan akan pentingnya integritas yang baik bagi kelangsungan usaha perusahaan.
4)      Memperbaiki sistem pengendalian internal perusahaan.
5)      Corporate Governance dilakukan oleh manajemen yang dirancang dalam rangka mengeliminasi atau setidaknya menekan kemungkinan terjadinya fraud. Corporate governance meliputi budaya perusahaan, kebijakan-kebijakan, dan pendelegasian wewenang.
6)      Transaction Level Control Process yang dilakukan oleh auditor internal, pada dasarnya adalah proses yang lebih bersifat preventif dan pengendalian yang bertujuan untuk memastikan bahwa hanya transaksi yang sah, mendapat otorisasi yang memadai yang dicatat dan melindungi perusahaan dari kerugian.
7)      Retrospective Examination yang dilakukan oleh Auditor Eksternal diarahkan untuk mendeteksi fraud sebelum menjadi besar dan membahayakan perusahaan.
8)      Investigation and Remediation yang dilakukan forensik auditor. Peran auditor forensik adalah menentukan tindakan yang harus diambil terkait dengan ukuran dan tingkat kefatalan fraud, tanpa memandang apakah fraud itu hanya berupa pelanggaran kecil terhdaap kebijakan perusahaan ataukah pelanggaran besar yang berbentuk kecurangna dalam laporan keuangan atau  penyalahgunaan asset.
9)      Penyusunan Standar yang jelas mengenai siapa saja yang pantas menjadi apa baik untuk jabatan fungsional maupun struktural ataupun untuk posisi tertentu yang dianggap strategis dan kritis. Hal ini harus diiringi dengan sosialisasi dan implementasi (enforcement) tanpa ada pengecualian yang tidak masuk akal
10)  Diadakan tes kompetensi dan kemampuan untuk mencapai suatu jabatan tertentu dengan adil dan terbuka. Siapapun yang telah memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama dan adil untuk “terpilih”. Terpilih artinya walaupun pejabat lain diatasnya tidak “berkenan” dengan orang tersebut, tetapi karena ia yang terbaik maka tidak ada alasan logis untuk menolaknya ataupun memilih yang orang lain. Disinilah peran profesionalisme dikedepankan
11)  Akuntabilitas dan Transparansi setiap “proses bisnis” dalam organisasi agar memungkinkan monitoring dari setiap pihak sehingga penyimpangan yang dilakukan oknum-oknum dapat diketahui dan diberikan sangsi tanpa kompromi.

ANALISIS:
            Dari kasus studi diatas tentang pelanggaran Etika dalam berbisnis itu merupakan suatu pelanggaran etika profesi perbankan pada PT KAI pada tahun tersebut yang terjadi karena kesalahan manipulasi dan terdapat penyimpangan pada laporan keuangan PT KAI tersebut. pada kasus ini juga terjadi penipuan yang menyesatkan banyak pihak seperti investor tersebut. seharusnya PT KAI harus bertindak profesional dan jujur sesuai pada asas-asas etika profesi akuntansi.

Sumber:
http://praatiwii.blogspot.co.id/2014/11/kasus-manipulasi-laporan-keuangan-pt-kai.html


RISIKO KREDIT
PT KIANI KERTAS
Prabowo dan 'Kebocoran' di PT.Kiani Kertas
Kembali, lebih dari 1000 orang karyawan PT. Kiani Kertas (Kertas Nusantara) dijadwalkan akan demo di depan kantor pemkab Berau Kalimantan Timur karena tunggakan gaji yang tidak diterima karyawan selama lebih dari 5 bulan. Pembayaran ini sudah ditunggak sejak bulan Agustus tahun lalu, karena kondisi keuangan perusahaan kertas terbesar di Asia tersebut dalam kondisi kritis. Ada apa dengan PT. Kiani Kertas? Bukankah dulu perusahaan ini berkibar dan sangat menguntungkan?Mengapa kini dalam kondisi terengah-engah? Salah kelola seperti apa? Apa ada yang bocor? Menurut Suyadi, Ketua DPC SBSI Berau Kaltim, sebelum diambil alih oleh Prabowo, kondisi PT. Kiani sangat sehat. Pabrik berjalan dengan baik, karyawan sejahtera, penduduk sekitar yang memiliki pohon diuntungkan juga dengan menyuplai ke PT. Kiani Kertas.Sebelum diambil alih oleh Prabowo, perusahaan itu sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar dan berhasil meningkatkan taraf perekonomian di Berau.Tetapi sekarang, walupun mesin-mesin masih baik, suplai kayu sudah ada (dari masyarakat sekitar yang menanam pohon kayu di HTI), tetapi mengapa justru produksi dihentikan?Pengambil Alihan PT. Kiani Kertas dari Bob Hassan ke Prabowo Dulu perusahaan ini merupakan perusahaan milik Bob Hassan. Perusahaan ini diambil alih oleh BPPN terkait penyelesaian hutang Bank Umum Nasional milik Bob Hassan senilai Rp 8,9 Trilyun. Berarti dalam hitungannya ketika itu tentu nilai PT. Kiani Kertas senilai Rp 8,9 Trilyun. Tahun 2002, BPPN menawarkan kepada perusahaan milik Prabowo Subianto, PT. Voyala, yang kemudian membeli semua saham PT. Kiani senilai Rp 7,1 Trilyun. Dari nilai tersebut, US$ 230 juta (sekitar Rp 2,3 Trilyun) merupakan kredit dari Bank Mandiri. Tetapi kemudian PT. Kiani terjerat dalam kredit macet tidak mampu membayar hutangnya ke Bank Mandiri.
Pada tahun 2005, Prabowo dipanggil oleh Kejagung sebagai saksi penyaluran kredit dari Bank Mandiri ke PT. Kiani Kertas, karena ada temuan dari Kejagung dan BPK terdapat perbuatan melawan hukum dalam penyaluran kredit Rp 1,89 Trilyun yang berpotensi menimbulkan kerugian negara. Tetapi tahun 2011, kasus ini di SP3kan oleh Kejagung. Penyelamat Prabowo dalam masalah kredit macet PT. Kiani Kertas adalah Hasyim Joyohadikusumo, yang pada tahun 2007 menyetorkan uang ke Bank Mandiri senilai US$ 50 juta, sehingga PT. Kiani bisa melakukan restrukturisasi hutang. Pada tahun 2011, PT. Kiani digugat pailit ke PN Jakpus karena tidak mampu membayar hutang dengan no register perkara 31/Pailit/2011/PN Niaga Jakpus.
PT.Kiani lolos dari gugatan pailit setelah 89% atau 120 kreditur dari 143 setuju memberikan perpanjangan masa pembayaran hutang. Keputusan ini diambil dari rapat pemungutan suara yang diadakan untuk memutuskan atau menolak proposal perpanjangan hutang oleh perusahaan milik Prabowo tersebut. Perpanjangan masa pembayaran terhitung mulai 2013, selama 15 tahun untuk kreditur separatis dan 20 tahun untuk kreditur konkuren Data kurator kepailitan menunjukkan bahwa hutang perusahaan terdiri dari :
1. Rp 7,94 Trilyun kepada kreditur separatis (kreditur utama atau pemegang jaminan kebendaan atau asset, prioritas mendapatkan pembayaran penjualatan kepailitan)
2. Rp 5,6 Trilyun kepada kreditur konkuren yang diakui
3. Rp 734 milyar kepada kreditur konkuren yang diakui sementara
Yang mengherankan, ternyata Prabowo meminjam kepada asing. Jadi kreditur separatis senilai Rp 7,94 Trilyun itu adalah JP Morgan Europe Ltd, Credit Suisse International, Boshendal Investment Ltd, Langass Offshore Inc. Lah, ini sami mawon donk, dimana letak nasionalismenya? Tidak semua kreditur menyetujui proposal perpanjangan hutang tersebut. Salah satunya adalah Allied Ever Investmen Ltd, yang menyatakan bahwa proposal dibuat sederhana. Padahal hutang yang dibuat oleh PT. Kiani Kertas ini dulu Rp 14,3 Trilyun. Kuasa hukumnya menyatakan: 'Banyak hal yang seharusnya diperiksa dan dipelajari. Apalagi laporan keuangan mereka juga tidak diaudit.Yang diaudit baru disampaikan kemarin.'Dana yang dipinjam memang sangat besar sekali.Nilainya trilyunan rupiah.Jika perusahaan tetap sekarat, cashflow perusahaan untuk bergerak tidak ada, bukankah penzaliman namanya terhadap karyawan yang ada beserta masyarakat sekitar yang menumpukan hidupnya dengan keberadaan perusahaan ini?Kemana larinya hasil produksi dulu yang sempat sangat baik?Dan kini, perusahaan itu masih berdarah-darah.Apakah Prabowo tidak berminat menutup kebocoran disini dengan serius pembenahan manajemen di PT. Kiani Kertas alias Kertas Nusantara ini?
ANALISIS
1.      Mengapa perusahaan berhutang untuk menjalankan bisnis dan operasionalnya?
Perusahaan terlibat utang untuk keperluan bisnis karena ada pemindah alihan kepemilikan perusahaan dari Bob Hasan ke PT. Voyala, perusahaan milik Prabowo Subianto yang membeli seluruh saham PT. Kiani yang senilai Rp 7,1 Trilyun namun dari nilai tersebut, US$ 230 juta (sekitar Rp 2,3 Trilyun) merupakan kredit dari Bank Mandiri
2.      Kepada siapa perusahaan berhutang tersebut?
PT. Kiani menjadi terlibat utang kepada Bank Mandiri, dan kepada beberapa pihak kreditur lainnya yang berupa kreditur separatis, kreditur konkuren yang diakui, kreditur konkuren yang diakui sementara, serta kreditur asing seperti JP Morgan Europe Ltd, Credit Suisse International, Boshendal Investment Ltd, Langass Offshore Inc.
3.      Bagaimana perusahaan melakukan pembayaran utang tersebut?
Karena perusahaan tidak mampu untuk membayar kewajibannya kepada para kreditur unuk saat ini, maka perusahaan sempat digugat pailit oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun perusahaan berhasil lolos dari gugatan tersebut dan mendapat perpanjangan waktu untuk melunasi kewajibannya dari para kreditur
4.      Apa saja risiko yang dihadapi oleh perusahaan?
Risiko Likuiditas
Perusahaan memiliki risiko tidak dapat melunasi seluruh utang dan kewajibannya kepada bank dan sejumlah pihak yang menjadi krediturnya meskipun sudah mendapat perpanjangan waktu karena perusahaan tidak beroperasi dengan baik.
Risiko Operasional
Perusahaan memiliki risiko operasional karena ada perubahan kepemilikan perusahaan yang secara langsung merubah dan mengganggu sistem operasional serta manajemen internal perusahaan menjadi tidak berfungsi dengan baik dan menimbulkan masalah
Risiko Tenaga Kerja
Perusahaan yang tidak produktif dengan baik seperti sebelumnya menghasilkan risiko kepada perusahaan tidak bisa membayar gaji para tenaga kerjanya dengan sesuai.
5.      Bagaimana cara agar perusahaan dapat mengembangkan usahanya tanpa melakukan kredit atau berhutang?
Karena sebelum pemindah alihan kepemilikan perusahaan, PT Kiani Kertas sudah dapat beroperasi dengan baik tanpa terlilit oleh utang, maka dari itu perusahaan seharusnya bisa tetap mempertahankan sistem manajemen dan operasional mereka dengan baik agar perusahaan tetap berproduksi dengan lancar dan perusahaan bisa mendapatkan keuntungan.
Sistem manajemen internal yang baik, mengurangi pengeluarkan perusahaan yang tidak penting, memaksimalkan penggunaan asset yang dimiliki perusahaan serta memanfaatkan sumber daya dari lingkungan sekitar perusahaan untuk kebutuhan produksi dapat menghemat biaya perusahaan daripada perusahaan harus meminjam dana kepada kreditur untuk kebutuhan produksi.