GENERAL MARKET RISK
Studi Kasus: Bank Syariah (Bank
Indonesia Membekukan Kegiatan Usaha PT. Bank Global)
SEJAK 14 Desember 2004, Bank Indonesia (BI) membekukan kegiatan usaha (BKU)
PT Bank Global Tbk. Sekitar 8.000 nasabah yang tercatat di 13 kantor cabang
terpaksa kerepotan mengurus dananya. Bukan hanya itu, ratusan investor publik
pemegang saham juga menjadi tidak jelas investasinya. Belum lagi bank dan pihak
lain yang memiliki tagihan. Nasib ratusan karyawan pun menjadi tak menentu di
tengah sulitnya lapangan kerja. Apa jadinya kalau mereka di-PHK? Jelas, akan
menambah deretan panjang pengangguran. Semua itu tentu akan menambah beban
pemerintah dalam memulihkan roda perekonomian, terutama sektor real.
Empat alasan ditutupnya Bank Global
Pertama, terus memburuknya kondisi keuangan Bank
Global.
Kedua, tidak menyetorkan tambahan modal yang diminta
BI sejak bank tersebut masuk pengawasan khusus (special surveillance unit)
pada 27 Oktober hingga 13 Desember 2004.
Ketiga, direksi Bank Global tidak menunjukkan iktikad
baik untuk patuh pada aturan. Bahkan, dalam pengawasan BI dan kepolisian ada
upaya secara sengaja dari pihak bank tersebut untuk memusnahkan dan
menghilangkan barang bukti.
Keempat, direksi, pejabat eksekutif, dan beberapa
karyawan bank publik itu diduga telah melakukan tindak pidana perbankan dengan
merusak dan menghilangkan dokumen-dokumen penting bank.
Solusi :
Pertama, sebagai perusahaan terbuka, semestinya Bank
Global transparan dan menerapkan dengan seksama asas good corporate governance.
Kedua, seperti dilansir Investor Daily Online
(14/12/2004), bahwa kehancuran Bank Global sangat boleh jadi disebabkan oleh sebuah
kolusi antara pengelola Bank Global dengan Prudence Asset Management (PAM).
Ketiga, kasus Bank Global menarik diikuti karena kasus
ini mencoreng citra reksadana, sebuah instrumen pasar modal yang mengalami
pertumbuhan pesat selama dua tahun terakhir.
Keempat, kasus Bank Global mencerminkan lemahnya
pengawasan BI dan Bappepam.
Uraian/ Penjelasan
General market
risk merupakan resiko yang disebabkan oleh suatu kebijakan yang
dilakukan oleh lembaga terkait yang mana kebijakan tersebut mampu memberi pengaruh
bagi seluruh sektor bisnis (Agus Sucipto: Manajemen Risiko). Sehatnya
sebuah bank tidak hanya berpatokan pada aset (modal) semata, tetapi juga harus
memperhitungkan faktor manajemen risiko yang meliputi delapan faktor, yakni
risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko
hukum, risiko strategi, risiko kepatuhan dan risiko reputasi. Tidak sedikit
para bankir yang tidak bisa mengelola manajemen risiko dengan baik, sehingga
terjadi pelanggaran prinsip kehati-hatian bank. Yang terpenting dari
kasus-kasus pembekuan bank adalah pembelajaran bagi pemilik maupun pengurus
bank untuk bercermin diri dalam pengelolaan keuangan dan manajemen perbankan
agar tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada, serta diharuskan
menerapkan prudent banking. Lebih khusus lagi, bagi para nasabah agar
tidak gegabah dan senantiasa berhati-hati jika ingin menempatkan dananya pada
lembaga perbankan maupun lembaga keuangan lainnya.
SPECIFIC MARKET RISK
Studi Kasus: PT GUDANG GARAM, Tbk
Salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia yaitu
PT Gudang Garam sempat menjadi perusahaan yang juga mendapat dampak dari
pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang melanda
Indonesia, seperti berita yang dilansir oleh liputan6.com berikut ini.
Dampak Pelemahan Rupiah Mulai Terasa ke Emiten
Pelemahan mata uang rupiah dalam beberapa hari terakhir
mempengaruhi laba-laba perusahaan yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia
(BEI). Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah pada hari ini,
Rabu (21/8/2013) sudah menyentuh ke level Rp 10.963 per dolar Amerika Serikat
(AS). Pergerakan nilai tukar rupiah yang terjadi hari ini sangat mempengaruhi
emiten-emiten yang sudah melantai di bursa.
Kepala Strategi Riset dan Ekuitas Bahana
Sekuritas me Harry Su mengatakan, akibat dampak pergerakan pelemahan rupiah,
banyak emiten yang terkena dampak dari pelemahan rupiah
tersebut."Jelaslah, pelemahan rupiah itu sangat jelek untuk pasar.Tapi
emiten yang mempunyai utang berdasarkan mata uang dolar AS," ujar Harry
ketika ditemui dalam acara Halal bi Halal Bahana Group dan Market Update di
Graha Cimb Niaga, Jakarta, Rabu (21/8/2013).
Menurut Harry, selain faktor pelemahan rupiah yang mempengaruhi
laba bersih di setiap emiten, dan juga kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia
(BI Rate). Adapun saham yang sangat terpengaruh terhadap pelemahan nilai tukar
rupiah adalah, PT Indosat Tbk (ISAT). Saham telekomunikasi tersebut terkena
dampak 17,9% dari laba bersih, sedangkan pengaruh BI Rate hampir sebesar 24%
dari raihan laba bersih.
Selain ISAT, laba bersih perusahaan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) juga
megalami penurunan hingga 0,9%. Laba PT Bakrie Telekomunikasi Tbk (BTEL) juga
mengalami penurunan hingga 5,9% dan laba bersih PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL)
mengalami penurunan 5,9%.
Lanjut Harry, pelemahan rupiah juga menurunkan laba bersih emiten,
tapi juga memberikan dampak pada keuntungan emiten. PT Timah Tbk (TINS)
mengalami penurunan keuntungan hingga 5,2%, sedangkan PT Astra Agro Lestari Tbk
(AALI) mengalami penurunan laba bersih hingga 3,4%. "Pelemahan mata uang rupiah
juga berdampak pada PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) mengalami penurunan
laba bersih hingga sebesar 3,9%," tegasnya. Ditambahkannya, pelemahan
rupiah yang semakin tajam, memang mempengaruhi kinerja emiten, khususnya yang
berpendapatan mata uang dolar AS. Berdasarkan berita diatas PT Gudang Garam
menjadi salah satu perusahaan yang mengalami penurunan laba bersihnya sebesar
0,9% akibat melemahnya nilai rupiah.
Hal
ini dialami oleh PT Gudang Garam karena perusahaan membutuhkan bahan baku utama
berupa tembakau dan cengkeh yang berkualitas untuk produk mereka, sementara
kualitas panen tembakau dan cengkeh lokal yang menjadi bahan baku utama
tersebut sangatlah bergantung pada cuaca, faktor cuaca yang kini sering tidak
menentu mengakibatkan penurunan kualitas panen kedua bahan baku tersebut.
Sehingga perusahaan terpaksa harus mengimpor persediaan bahan baku mereka dari
luar negeri agar kualitas atas produk yang dihasilkan tetap terjaga. Inilah
yang menyebabkan menurunnya pendapatan dan laba bersih perusahaan.
Selain
itu penurunan pendapatan dan laba bersih Gudang Garam dapat disebabkkan juga
oleh aturan pemerintah, karena sebelumnya
industri rokok diberatkan dengan
aturan pemerintah yaitu regulasi mengenai rokok, PP Nomor 109 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa
produk Tembakau bagi kesehatan yang dikeluarkan pemerintah tahun 2012 kemarin
yang mengacu pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)
yang dicanangkan oleh WHO
pada tahun 2003, salah satu
aturannya yang berupa kenaikan bea pita cukai yang secara terus menerus dan
juga kewajiban menampilkan gambar - gambar seram dari bahayanya rokok pada
kemasan dan iklan rokok.
Biaya
pita cukai dan PPN Gudang Garam pada tahun 2013 mencapai 29 triliun, atau
setara 67% dari total beban biaya pokok penjualan Gudang Garam. Dan jika
dibandingkan dengan pendapatan penjualan, biaya pita cukai Gudang Garam tahun
2013 setara dengan 54% hasil pendapatan penjualan perusahaan. Artinya, 54% dari
total pendapatan penjualan Gudang Garam tahun 2013 digunakan untuk membayar bea
pita cukai dan PPN. Dan jika dilihat dalam beberapa tahun belakang, kontribusi
biaya pita cukai dan PPN tersebut nilainya selalu diatas 50% dari total
pendapatan penjualan Gudang Garam. Bagaimana pun itu perusahaan harus tetap mengeluarkan
dana untuk membayar besarnya biaya pita cukai sesuai aturan.
Serta
kewajiban perusahaan menampilkan gambar-gambar dari bahaya dan dampak negatif
rokok pada kemasan serta iklan produk secara tidak langsung akan mengurangi
minat para konsumen untuk merokok, hal ini tentu saja akan menurunkan penjualan
rokok, termasuk rokok Gudang Garam itu sendiri, dan dampak lainnya dari
ketatnya aturan pemerintah dalam industri rokok adalah Gudang Garam harus
mengurangi dan menghemat biaya perusahaan yang lainnya.
ANALISIS
Specific market risk merupakan risiko yang hanya dialami secara khusus pada
sektor atau sebagian bisnis saja tanpa bersifat menyeluruh (Agus Sucipto:
Manajemen Risiko). Kasus ini termasuk dalam kebijakan yang
diberlakukan pada sektor Industri, yaitu rokok. Sesuai dengan pembahasan studi
kasus diatas, PT Gudang Garam ikut merasakan dampak dari penurunan nilai tukar
rupiah yang berakibat menurunnya laba bersih perusahaan yang akan berdampak
pada membagian deviden kepada para pemegang saham, serta peraturan pemerintah
yang dapat menurunkan penjualan produk serta pendapatan perusahaan. Salah satu
cara yang dilakukan oleh PT Gudang Garam untuk menanggulangi risiko tersebut
adalah dengan melakukan kebijakan penawaran pensiun dini kepada para karyawannya
terutama karyawan borongan sigaret kretek tangan (SKT) dan operasional dengan
alasan untuk mengantisipasi dampak buruk yang akan terjadi pada perusahaan
dimasa mendatang akibat bertambah ketatnya peraturan industri rokok yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Risiko Perubahan Tingkat Suku Bunga
(Studi Kasus di PT. Astra Honda Motor)
Profil Perusahaan
Nama Perusahaan : PT Astra Honda Motor
Status Perusahaan : Perseroan Terbatas
Status Investasi : PMA (Penanaman Modal Asing)
Alamat : Kantor Pusat & Plant 1 (Sunter) Jl. Laksda Yos Sudarso - Sunter I Jakarta
14350 Tel. +6221.6518080, 30418080 (Hunting) Fax. +6221.6521889, 6518814
Tanggal Pendirian : 11 Juni 1971 sebagai PT Federal Motor
31 Oktober 2000 merger menjadi PT AHM
Kepemilikan : 50% PT. Astra International
Tbk 50% Honda Motor Co., Ltd
Aktivitas : Agen Tunggal Pemegang
Merek (ATPM), Manufaktur, Perakitan dan Distributor Sepeda Motor HONDA
Jumlah Karyawan : 19.630 orang (Desember 2012)
PT Astra Honda Motor (AHM) merupakan pelopor industri
sepeda motor di Indonesia. Didirikan pada 11 Juni 1971 dengan nama awal PT
Federal Motor, yang sahamnya secara mayoritas dimiliki oleh PT Astra
International. Saat itu, PT Federal Motor hanya merakit, sedangkan komponennya
diimpor dari Jepang dalam bentuk CKD (completely knock down).
Seiring dengan perkembangan kondisi ekonomi serta
tumbuhnya pasar sepeda motor terjadi perubahan komposisi kepemilikan saham di
pabrikan sepeda motor Honda ini. Pada tahun 2000 PT Federal Motor dan beberapa
anak perusahaan di merger menjadi satu dengan nama PT Astra Honda Motor, yang
komposisi kepemilikan sahamnya menjadi 50% milik PT Astra International Tbk dan
50% milik Honda Motor Co. Japan.
Saat ini PT Astra Honda Motor memiliki 3 fasilitas
pabrik perakitan, pabrik pertama berlokasi Sunter, Jakarta Utara yang juga
berfungsi sebagai kantor pusat. Pabrik ke dua berlokasi di Pegangsaan Dua,
Kelapa Gading, serta pabrik ke 3 yang berlokasi di kawasan MM 2100 Cikarang
Barat, Bekasi. Pabrik ke 3 ini merupakan fasilitas pabrik perakitan terbaru
yang mulai beroperasi sejak tahun 2005.
Dengan keseluruhan fasilitas ini PT Astra Honda Motor
saat ini memiliki kapasitas produksi 4.2 juta unit sepeda motor per-tahunnya,
untuk permintaan pasar sepeda motor di Indonesia yang terus meningkat.
Salah satu puncak prestasi yang berhasil diraih PT Astra Honda Motor adalah
pencapaian produksi ke 35 juta pada tahun 2012. Prestasi ini merupakan
prestasi pertama yang yang berhasil diraih oleh industri sepeda motor di
Indonesia bahkan untuk tingkat ASEAN.
Industri sepeda motor saat ini merupakan suatu
industri yang besar di Indonesia. Karyawan PT Astra Honda Motor saja saat ini
berjumlah sekitar 18.000 orang, ditambah ratusan vendor dan supplier serta
ribuan jaringan lainnya, yang kesemuanya ini memberikan dampak ekonomi berantai
yang luar biasa. Keseluruhan rantai ekonomi tersebut diperkirakan dapat
memberikan kesempatan kerja kepada sekitar setengah juta orang. PT Astra Honda
Motor akan terus berkarya menghasilkan sarana transportasi roda 2 yang
menyenangkan, aman dan ekonomis sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat
Indonesia.
PT Astra Honda Motor, perusahaan yang menjalankan
fungsi produksi, penjualan dan pelayanan purna jual yang lengkap untuk kepuasan
pelanggan dan memiliki:
·
Visi
“To take a lead in Indonesian motorcycle market by making customers’ dream come true, creating joy to customers and contribute to Indonesia society”
“To take a lead in Indonesian motorcycle market by making customers’ dream come true, creating joy to customers and contribute to Indonesia society”
·
Misi
“Creating mobility solution to society with best products and services”
“Creating mobility solution to society with best products and services”
Studi Kasus
Setiap perusahaan pasti memiliki risiko dalam
menjalankan kinerja perusahaanya, salah satu risiko yang akan dihadapi
perusahaan adalah risiko kredit. Risiko kredit adalah risiko yang dihadapi
sebuah perusahaan karena pendanaan eksternal yang di usahakan oleh perusahaan.
Dalam pengukuran risiko kredit kita membagi ke dalam
penilaian risiko kredit secara kualitatif, dan penilaian risiko kredit secara
kuantitatif. Penilaian kualitatif pada risiko kredit berkaitan dengan
penggunakan kerangka 3R dan 5C. Sedangkan penilaian kuantitatif pada risiko
kredit yaitu dengan menggunakan analisis kuantitatif untuk mengukur risiko
kredit. Ada beberapa metode penilaian kuantitatif, yaitu model scoring
kredit, RAROC, yield income, mortality rate, credit metrics,
dan kerangka opsi.
Penilaian Kualitatif
Penggunaan penilaian kualitatif risiko kredit
berdasarkan 3R dan 5C adalah sebuah usaha pendekatan untuk mendapatkan nilai
pengukuran risiko kredit yang dialami oleh perusahaan.
ü Return;
ü Repayment Capacity;
ü Risk Bearing Ability.
ü Character;
ü Capacity;
ü Capital;
ü Collateral;
ü Condition.
Secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa penilaian
secara kualitatif ini di dasarkan pada pencintraan terhadap perusahaan di dalam
hal ini PT. Astra Honda Motor dalam perspektif 3R ataupun 5C.
Pedoman 3R
- Return (pendapatan) yaitu menilai apakah PT. Astra Honda Motor mempunyai pendapatan yang memadai dalam mencukupi atau melunasi hutang dan bunganya.
- Repayment Capacity (kemampuan mengembalikan pinjaman) yaitu menilai apakah PT. Astra Honda Motor mempunyai kapasitas/kemampuan dalam mengembalikan pinjaman dan bunganya pada saat jatuh tempo.
- Risk-bearing Ability yaitu menilai kemampuan PT. Astra Honda Motor dalam menanggung risiko kegagalan atau ketidakpastian yang berkaitan dengan penggunaan kredit.
Pedoman 5 C
- Character yaitu penilaian kualitatif atas kemauan peminjam untuk memenuhi kewajiban hutangnya dan bunganya.
- Capacity yaitu penilaian kualitatif atas peminjam untuk melunasi kewajiban hutangnya melalu pengelolaan perusahaannya dengan efektif dan efisien.
- Capital yaitu penilaian kualitatif posisi keuangan perusahaan (peminjam) secara keseluruhan.
- Collateral yaitu penilaian kualitatif aset yang dijaminkan (dijadikan agunan) untuk suatu pinjaman.
- Condition yaitu penilaian kualitatif tentang sejauh mana kondisi perekonomian akan mempengaruhi kemampuan mengembalikan pinjaman.
Risiko Perubahan Tingkat Suku Bunga di PT. Astra Honda
Motor
Risiko
|
Dampak
|
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dapat memengaruhi
tingkat suku bunga
|
Besar
|
Kebijakan internal perbankan tentang tingkat suku
bunga
|
Besar
|
Jangka waktu yang lama membuat perubahan tingkat
suku bunga semakin sering
|
Besar
|
Timbul gap yang cukup besar antara pendapatan bunga
dan biaya bunga akibat perubahan tingkat suku bunga
|
Besar
|
Risiko tingkat suku bunga ini merupakan risiko terkait
dengan kesehatan finansial perusahaan. Adanya risiko Tingkat Suku Bunga
merupakan salah satu indikasi bahwa PT. Astra Honda Motor menggunakan pendanaan
atas investasi dan operasionalnya dengan modal yang berasal dari luar (external
capital). Dengan demikian akan merubah struktur modal dari perusahaan.
Indikasi yang dari modal yang didapatkan dari luar berupa hutang merupakan
salah satu sebab berubahnya struktur modal perusahaan. Dengan struktur modal
yang berubah seiring dengan bertambahnya utang perusahaan maka akan menambah
biaya kebangkrutan perusahaan walaupun taxshield nya bertambah. Biaya
kebangkrutan merupakan salah satu sebab perusahaan sedang mengalami financial
distress.
Sumber :
Arianti, sherly . 2013. http://sherlyarianti.blogspot.co.id/2013/06/contoh-kasus-manajemen-risiko-pt-astra.html. Diakses pada 28 September 2016.
Solusi:
Risiko Tingkat suku bunga di PT. Astra Honda Motor ini
dapat dilihat dengan mengetahui utang perusahaan dan membandingkannya dengan
modal sendiri perusahaan yang terhubung dalam struktur modal. Dengan melihat
perbandingan antara keduanya, maka kita bisa melihat bagaimana perusahaan
tersebut mempunyai risiko perubahan tingkat suku bunga yang besar atau rendah.
Kemudian untuk mengantisipasi terjadinya risiko
suku bunga, upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh PT. Astra Honda Motor antara
lain: Mengelompokkan aktiva dan pasiva berdasarkan tingkat kepekaannya dan
menyusun perkiraan tingkat suku bunga melalui berbagai metode sehingga didapat
perkiraan yang lebih baik. Selain itu juga PT. Astra Honda Motor harus tanggap dalam menghadapi perubahan yang
potensial akan merugikan perusahaan.
OPERATIONAL
RISK
KODAK
Penyebab Kodak Bangkrut
Liputan6.com,
New York: Setelah Eastman Kodak Corporation dinyatakan pailit, muncul beragam
penelitian tentang penyebab kebangkrutan perusahaan pelopor film fotografi
tersebut.
Menurut sejumlah pengamat, seperti dikutip laman timesofindia.com, Senin (23/1), perusahaan pelopor fotografi tersebut tak sanggup melawan arus digital yang semakin berkembang setiap tahun.Tidak seperti IBM dan Xerox Corp, yang sukses menciptakan arus pendapatan baru saat bisnis mereka menurun.
Menurut sejumlah pengamat, seperti dikutip laman timesofindia.com, Senin (23/1), perusahaan pelopor fotografi tersebut tak sanggup melawan arus digital yang semakin berkembang setiap tahun.Tidak seperti IBM dan Xerox Corp, yang sukses menciptakan arus pendapatan baru saat bisnis mereka menurun.
Mereka menilai
kesalahan Kodak membuang proyek-proyek baru terlalu cepat yang menyebarkan
investasi digital terlalu luas, dan puas pada penilaian Rochester, New York,
yang membutakan perusahaan untuk berinovasi pada teknologi lain.
"Kodak
sangat puas dengan penilaiain Rochester dan tak pernah mengembangkan kehadiran
teknologi baru di pusat-pusat dunia," ujar Rosabeth Kanter, Profesor
Administrasi Bisnis Arbuckle di Harvard Business School."Ini seperti
mereka tinggal di museum," sindirnya.
Sejak 1888,
George Eastman menciptakan sebuah mesin yang menangkap gambar pada pelat kaca
besar.Tak puas dengan terobosan itu, dia melanjutkan untuk mengembangkan film
roll dan kemudian kamera Brownie.Selanjutnya pada 1960, Kodak mulai mempelajari
potensi komputer dan membuat terobosan besar di tahun 1975, saat salah satu
insinyur, Steve Sasson, menemukan kamera digital.
Namun, Kodak tak segera mencium potensi pasar tersebut dan tak fokus pada high-end kamera bagi pasar niche.Para eksekutif juga takut mengorbankan penjualan film initi mereka.
Namun, Kodak tak segera mencium potensi pasar tersebut dan tak fokus pada high-end kamera bagi pasar niche.Para eksekutif juga takut mengorbankan penjualan film initi mereka.
"Ketika
(George Eastman) meninggal, ia menyisakan pengaruh pada perusahaan, yang salah
satunya Kodak akan terus terikat dalam nostalgia," kata Nancy Westt,
seorang profesor yang menulis sejarah Kodak dari University of Missouri.
"Nostalgia memang indah, tapi itu tidak memungkinkan orang untuk bergerak
maju." tandasnya.
Selain itu,
penyebab kebangkrutan Kodak karena perusahaan tersebut melewatkan peluang
bisnis.Di Consumer Electronics Show di Las Vegas tahunan pekan lalu, Perez dan
Kodak memperkenalkan dua kamera baru yang diyakini bisa terhubung secara
nirkabel dengan printer dan posting foto ke Facebook.Namun beberapa pengulas
gadget mengatakan kamera baru tidak bisa terhubung ke web tanpa membonceng pada
smartphone atau koneksi Wi-Fi.
"Orang
tidak hanya tertarik dengan fitur baru, kecuali sesuatu yang revolusioner, dan
ini adalah fitur tambahan,"ujar Suzanne Kantra, Editor Blog Teknologi
Techlicious dan matan Editor Teknologi Popular Science.
Analis
mengatakan Kodak bisa menjadi sebuah kelompok media sosial jika telah berhasil
meyakinkan konsumen untuk menggunakan layanan online untuk menyimpan, berbagi,
dan mengedit foto-foto mereka.Sebaliknya, Kodak berfokus terlalu banyak pada
perangkat dan kalah dalam pertempuran online untuk jaringan sosial seperti
Facebook.
Bangkrutnya Kodak, bangkrutnya pelopor fotografi
Jakarta
(ANTARA News) - Eastman Kodak Co, ikon fotografi yang menemukan kamera tenteng
(hand-held) telah mengajukan pailit dan berencana mengerutkan postur usahanya.
Langkah ini ditempuh demi menghentikan laju terjun bebas dari meruginya salah
satu perusahaan terkenal di Amerika Serikat itu.
Pengajuan
pailit yang di Amerika terkenal dengan Pasal 11 ini, membuat Kodak menjadi
perusahaan terbesar yang menjadi korban krisis di era digital. Perusahaan
ini gagal mengeluarkan teknologi lebih modern seperti kamera digital yang
ironisnya justru ditemukannya.Kodak pernah mendominasi industri ini.
Status
pailit ini membuat perusahaan yang didirikan pada 1880 itu mampu mendapatkan
pembeli untuk sekitar 1.100 paten digitalnya.Kodak kini mempekerjakan 17.000
staf di seluruh dunia, padahal sembilan tahun lalu ada 63.900orang.
"Ini
adalah hari yang sangat menyedihkan sekalipun kita telah berusaha
mencegahnya," kata Shannon Cross, analis pada Cross Research."Jika
perusahaan ini bertahan, maka akan menjadi entitas (bisnis) yang jauh lebih
kecil."
Menurut
berkas ajuan pailit ke pengadilan pailit AS di Manhattan, Kodak memiliki asset
5,1 miliar dolar AS dan 6,75 miliar dolar AS liabilitas sampai akhir September
lalu. Dari berkas itu pula diketahui bahwa Chief Financial Officer Antoinette
McCorvey mengungkapkan rencana Kodak untuk menjual asset-asset pentingnya
selama pailit itu.
Kodak
berharap menuntaskan program restrukturisasi pada 2013. "Ini adalah satu
langkah yang memang dibutuhkan dan hal baik yang mesti dilakuan demi masa depan
Kodak," kata Chairman dan Chief Executive Antonio Perez. Nilai pasar Kodak
telah amblas di bawah 100 juta dolar AS dari 31 miliar dolar AS yang dicapai 15
tahun lalu ketika harga sahamnya bertengger di 94 dolar AS. Tapi kini
harga sahamnya hanya 30 sen.
Kodak
akhirnya memenangkan persetujuan resmi hakim kepailitan AS Allan Gropper untuk
mendapatkan dana talangan senilai 650 juta dolar AS dari konsorsium pimpinan
Citigroup Inc. Jumlah ini kurang 300 juta dolar AS dari yang diminta
Kodak. Tapi itu cukup membantu perusahaan untuk tetap beroperasi dan
menghindari dilikuidasi. Dengar pendapat akhir akan dilangsungkan 15 Februari
nanti. Proposal paket 18 bulan yang diajukan Kodak ini ditentang para kreditor
karena khawatir Kodak tak bisa melunasinya, apalagi jika manajemen membiarkan
kerugian terus menggunung dan gagal mereorganisasi perusahaan.
"Tak
akan menjadi Pasal 7," kata hakim, merujuk kode pasal kepailitan di AS
yang berarti sebuah perusahaan harus dilikuidasi.
Paten
digital
Perez,
mantan eksekutif Hewlett-Packard Co yang menjadi kepala Kodak pada 2005,
beberapa tahun terakhir telah membanting usaha Kodak ke bisnis printer namun
gagal memperbaiki profitabiltas perusahaan. Sejak 2007 Kodak tak bisa
lagi untung.Kodak tertinggal untuk waktu lama dari para pesaingnya, kata Ananda
Baruah, analis Brean Murray.Kodak berjuang keras memenuhi kewajiban pensiun dan
lainnya bagi lebih dari 65.000 pekerja, pensiunan dan lainnya.
McCorvey
mengatakan Apple Inc, produsen BlackBerry Research in Motion Ltd dan HTC Corp
dari Taiwan mundur dari negosiasi paten karena kondisi keuangan Kodak
berdarah-darah. Litigasi paten terpenting Kodak untuk bisa untung kembali.Kodak
menggugat Apple, Research in Motion dan HTC karena melanggar paten, namun
ketiga perusahaan ini membantah. Menurut McCorvey, Kodak menderita krisis
likuiditas yang akut setelah para vendor menghentikan pengapalan dan penyediaan
jasa, serta menuntut jangka pembayaran yang lebih pendek. Kodak mengaku
memiliki dana tunai 820 juta dolar AS, tapi angka itu anjlok hingga hanya 56,7
juta dolar AS. Dan ini menekan kantor pusat Kodak di Rochester, New York,
di mana jumlah pekerjanya terpangkas menjadi sekitar 7.000 orang dari
sebelumnya 60.000 orang.
Andrew
Cuomo, Gubernur New York, menyebut status pailit Kodak ini sebagai berita yang
sulit dan disesalkan oleh kota tersebut, sementara Bank investasi Lazard
membantu Kodak untuk mendapatkan pembeli paten digitalnya. Mark Zupan, dekan fakultas bisnis Universitas
Rochester, mengatakan Kodak masih memiliki banyak sekali nilai sehingga tak
perlu dilikuidasi. "Segmen-segmen akan cukup menguntungkan demi
mempertahankan status leader ketika perusahaan menjadi lebih ramping," katanya.
Perez mengatakan pailit akan membantu Kodak memaksimalisasi nilai paten yang
berkaitan dengan pencitraan digital yang digunakan secara virtual dalam setiap
kamera digital modern, ponsel pintar dan tablet. Andrew Dietderich, pengacara
Kodak, berkata kepada Gropper dalam dengar pendapat Kamis itu bahwa perusahaan
itu percaya masih memiliki hak intelektual antara 2,2 - 2,6 miliar dolar AS. Di
antara 100.000 kreditor Kodak itu diantaranya adalah Wal-Mart Stores Inc,
Target Corp, Sony Corp dan Walt Disney Co.
Trademark
George Eastman yang putus sekolah SMA dari kawasan utara New York, mendirikan perusahaan ini pada 1880 dan mulai membuat piringan-piringan fotografis. Untuk mengembangkan bisnisnya, dia menggunakan mesin bekas untuk membuat piringan-piringan foto. Dalam delapan tahun, nama Kodak menjadi trademark. Perusahaan ini lalu mengenalkan kamera tenteng, lalu film roll-up.Eastman juga mengenalkan "Wage Dividend" dalam mana perusahaan memberi bonus kepada karyawan berdasarkan kinerjanya.
George Eastman yang putus sekolah SMA dari kawasan utara New York, mendirikan perusahaan ini pada 1880 dan mulai membuat piringan-piringan fotografis. Untuk mengembangkan bisnisnya, dia menggunakan mesin bekas untuk membuat piringan-piringan foto. Dalam delapan tahun, nama Kodak menjadi trademark. Perusahaan ini lalu mengenalkan kamera tenteng, lalu film roll-up.Eastman juga mengenalkan "Wage Dividend" dalam mana perusahaan memberi bonus kepada karyawan berdasarkan kinerjanya.
Kodak
lalu membuat kamera-kamera seperti Brownie yang diluncurkan pada 1900 dan
Instamatic pada 1963.Di lamannya, perusahaan ini mengatakan bahwa sebuah kamera
Kodak telah digunakan pada misi Apollo 11 tahun 1969. "Kamera Kodak
telah digunakan oleh para astronot untuk memfilmkan pendaratan di bulan hanya
dalam jarak beberapa inchi," kata NASA. Film Kodak telah digunakan pada 80
film pemenang Oscar untuk Film Terbaik.
Pada
1975, Kodak menemukan kamera digital seukuran pemanggang roti. Kamera
digital ini terlalu besar untuk saku fotografer amatir yang kantongnya kini
bisa dipenuhi kamera-kamera digital buatan Canon, Casio dan Nikon.Namun Kodak
malah mencampakkan kamera digital dan bertahun-tahun hanya menyaksikan
pesaing-pesaingnya merampas pangsa pasar digital.
Pada
1994, Kodak men-spin off bisnis kimia-nya, Eastman Chemical Co,
yang terbukti berhasil. Kejatuhan Kodak di depan mata ketika September lalu,
investor menarik 160 juta kreditnya sehingga membuat keuangan perusahaan
menjadi kering. Belum jelas benar bagaimanakah Kodak akan menangani kewajiban
pensiunya, yang kebanyakan mengambilnya berdekade-dekade lalu ketika
perusahaan-perusahaan AS malah menawarkan paket pensiun dan kesehatan yang
lebih menarik.
ANALISIS
1.
Mengapa perusahaan berhutang untuk menjalankan bisnis
dan operasionalnya?
Perusahaan Kodak melakukan pinjaman selain untuk memdapatkan modal untuk
melakukan produksi, meminjam modal pada investor juga dapat memperluas
penggunaan produk dan nilai paten dari produk agar perusahaan bisa berkerjasama
dengan beberapa perusahaan yang terkait
2.
Kepada siapa perusahaan berhutang tersebut?
Perusahaan Kodak
mendapat pinjaman modal dari investornya
yang berupa beberapa perusahaan terkait dan diantaranya secara langgsung
menggunakan produk yang dikeluarkan oleh perusahaan seperti Wal-Mart
Stores Inc, Target Corp, Sony Corp dan Walt Disney Co.
3.
Bagaimana perusahaan melakukan pembayaran utang
tersebut?
Perusahaan akan
melunasi kewajibannya kepada investor jika perusahaan mendapatkan laba dari
penjualan produk, karena perusahaan mengalami kerugian dan pailit, sehingga
perusahaan harus menjual beberapa assetnya serta melaporkan kepailitannya
kepada pemerintah agar mendapat bantuan dalam melunasi utang-utangnya tersebut
4.
Apa saja risiko yang dihadapi oleh perusahaan?
Risiko
Operasional
Perusahaan Kodak
yang bergerak didunia tekonologi tentu akan banyak mengalami perubahan dan
kemajuan zaman, namun perusahaan ini tidak mampu untuk memproduksi produk
maupun itu menciptakan produk baru ataupun memperbarui produk lama mereka
sesuai dengan kebutuhan dan keinginan para konsumen dan masyarakat luas,
sehingga perusahaan harus menghadapi masalah bahwa produk mereka tertinggal
serta kalah bersaing dengan produk lain dan menimbulkan kerugian pada
perusahaan
Risiko
Likuiditas
Perusahaan
memiliki risiko tidak dapat melunasi seluruh utang dan kewajibannya kepada
sejumlah perusahaan dan investornnya, apalagi perusahaan mengalami pailit
karena produk yang dijual tidak bisa menhasilkan keuntungan pada perusahaan
Risiko Reputasi
Perusahaan
terancam memiliki reputasi yang buruk karena banyak pengamat bisnis yang
meramalkan bahwa perusahaan tidak mampu lagi beroperasi karena harga saham
perusahaan yang terus menurun
Risiko Tenaga
Kerja
Karena
perusahaan secara terus menerus mengalami kerugian maka perusahaan harus
mengurangi banyak tenaga kerjanya serta permasalahan untuk membayar gaji dan
biaya pensiun bagi para karyawannya yang masih berkerja
Risiko Bisnis
Persaingan
bisnis didunia tekonologi sangatlah pesat, pesaing selalu mengeluarkan produk
terbaru dan lebih canggih, sehingga lebih digemari oleh konsumen dan laku
dipasaran, risiko ini menjadi salah satu risiko yang tidak bisa dilalui oleh
perusahaan Kodak.
5.
Bagaimana cara agar perusahaan dapat mengembangkan
usahanya tanpa melakukan kredit atau berhutang?
Karena
Perusahaan Kodak sebenarnya sudah lama bergelut didunia teknologi dan
fotograpi, perusahaan juga sudah punya nilai paten atas beberapa produk yang
mereka ciptakan serta sudah mendapat banyak kepercayaan dari beberapa
perusahaan yang menggunakan produknya tersebut tentu saja perusahaan seharusnya
sudah punya banyak pengalaman tentang sektor ini. Sebaiknya perusahaan
membangun kerjasama dengan perusahaan lain masih terkait dengan dunia fotografi
dan teknologi jika memang perusahaan sudah tidak mampu untuk memproduksi
sendiri produk yang dapat laku dipasaran. Dengan berkerjasama dengan perusahaan
lain Kodak masih bisa menggunakan pengalamannya dan berbagai assetnya yang
masih dimiliki untuk keperluan operasional, tanpa harus meminjam modal dari
pihak lain.
Selain itu
perusahaan juga dapat beralih ke bidang media sosial seperti yang telah
disarankan oleh analis, selain karena sedang majunya bisnis dalam dunia online,
modal yang harus dikeluarkan jumlahnya pun tidak sebanyak untuk memproduksi
perangkat keras yang biasanya dilakukan oleh Kodak selama ini.
Sumber:
http://94genia.blogspot.co.id/2016/02/studi-kasus-manajemen-risiko-berserta.html
RISIKO LIKUIDITAS
Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas
pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia.
Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember
1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
Penyimpangan atau
korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menunjukkan kepada
kita ongkos korupsi masa lalu yang harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia.
Rakyat jadi korban karena efek berkepanjangannya dalam bentuk pengembalian
utang. Sementara para penjahat diampuni dan tetap dapat 'bertengger' dengan
leluasa di atas pundi-pundi uang yang dicuri. Harus diakui penyimpangan dana
BLBI merupakan kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Fakta
ini bisa dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari Rp 144,5
triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4
triliun dinyatakan berpotensi merugikan negara.
Dana-dana tersebut
kurang jelas penggunaannya. Juga terdapat penyimpangan dalam penyaluran maupun
penggunaan dana BLBI yang dilakukan pemegang saham, baik secara langsung atau
tidak langsung melalui grup bank tersebut. Sedangkan hasil audit Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI
menemukan penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun
merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan. Upaya
menyeret para pelaku korupsi dana BLBI sampai saat ini masih terbentur kendala
penegakan hukum. Seolah hukum bungkam dan tidak bertaring menghadapi para
'konglomerat hitam'. Untuk penanganan kasus ini, Kejaksaan Agung tidak
menunjukkan kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.
Penyimpangan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dapat dianggap sebagai sebuah lembaran hitam
dalam kehidupan perbankan nasional. Sementara penanganan terhadap kasus-kasus
penyimpangan BLBI tersebut dapat pula dicatat sebagai sebuah lembaran hitam
dalam sejarah kehidupan hukum Indonesia. Catatan tersebut bukanlah sesuatu yang
berlebihan bila dikaitkan dengan adanya berbagai implikasi yuridis yang
kemudian muncul sebagai akibat berbelit-belitnya proses penanganan kasus
penyalahgunaan dana BLBI. Ketidaksamaan persepsi di kalangan hukum sendiri
tentang penanganan kasus-kasus BLBI adalah gambaran tentang betapa kehidupan
hukum kita semakin menjauh dari kepastian hukum.
Ada dua aspek hukum
yang cenderung mendapatkan perhatian dan mengemuka dalam berbagai diskusi
terkait dengan masalah BLBI.Pertama, apakah penyimpangan BLBI itu
merupakan sesuatu yang berada dalam tataran hukum keperdataan, atau apakah
kasusnya kemudian dapat berkembang menjadi sesuatu yang berada dalam lingkup
hukum pidana. Kedua, masalah penyelesaian terhadap kasus-kasus
penyimpangan BLBI yang telah menimbulkan berbagai kontrovesri. Tulisan ini
mencoba memberikan solusibagi keduanya, namun tidaklah dimaksudkan untuk
membahasnya secara tuntas, melainkan hanya beberapa bagian yang dianggap
relevan.
ANALISIS
A. Kasus BLBI
BLBI telah berjalan
kurang lebih selama 10 (sepuluh) tahun sejak krisis moneter tahun 1997/1998.
Langkah penegakan hukum telah dilaksanakan yang mengakibatkan pengambil
kebijakan pengucuran BLBI telah dijatuhi hukuman sedangkan 2 (dua) direksi
lainnya di SP3-kan oleh Kejagung, dan sejumlah kecil penerima BLBI dihukum.
Pemerintah telah menetapkan kebijakan hukum menggunakan penyelesaian di luar
pengadilan dengan payung hukum UU Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas dan
Payung Politik TAP MPR RI kemudian ditindak lanjuti dengan Inpres Nomor 8 tahun
2002 yang mengesahkan perjanjian MSAA, MRNIA, APU, dan SKL. Konsekuensi dari
Inpres tersebut adalah dihentikannya penyidikan kasus BLBI (SP3) oleh kejaksaan
agung namun tidak merujuk kepada ketentuan KUHAP atau UU Kejaksaan. Surat
Keterangan Lunas (SKL) terhadap obligor yang diharapkan kooperatif (melunasi
seluruh kewajibannya) tidak memberikan hasil maksimal untuk kepentingan Negara.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 6 Mei 2008 yang telah
membatalkan SP3 Kejaksaan Agung yang telah dikeluarkan atas nama Kasus SYN
(BDNI) tertanggal 14 Juni tahun 2004 merupakan bukti bahwa payung hukum di atas
tidak memenuhi asas kepastian hukum dan belum berpihak kepada kepentingan
masyarakat luas. Sedangkan pengembalian atas kerugian Negara tidak mencapai 10
% dari total dana BLBI yang telah disalurkan.
B. Analisis Hukum
Kasus BLBI
BLBI pada hakikatnya
adalah sebuah fasilitas yang secara khusus diberikan oleh Bank Indonesia kepada
pihak perbankan nasional untuk menanggulangi masalah kesulitan likuiditas yang
dihadapinya. Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa kebijakan itu ditempuh
adalah untuk tujuan menyelamatkan dunia perbankan nasional dari kehancuran yang
dipastikan akan berimplikasi terhadap perekonomian nasional. Akan tetapi
persoalannya kemudian adalah, tujuan yang baik itu ternyata telah
disalahgunakan oleh sebagian penerima fasilitas untuk memperkaya diri. Artinya,
bantuan likuiditas itu tidak digunakan sesuai dengan maksud dikeluarkannya
kebijakan tersebut. Akibatnya terjadi kerugian negara dalam jumlah yang sangat
besar.
Bantuan likuiditas
dalam berbagai bentuk dan jenis yang diberikan kepada bank penerima, pada
awalnya adalah sesuatu yang berada dalam lapangan hukum keperdataan, karena
para pihak dilandasi oleh adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau
kontrak sebagai kreditur dan debitur. Berdasarkan verifikasi terhadap data
hasil olahan pengawas bank penerima BLBI, ditemui oleh BPK dan BPKP adanya
indikasi penyalahgunaan BLBI oleh bank penerima. Menurut tujuannya, dana BLBI
itu hanyalah untuk dana pihak ketiga (masyarakat), namun pada kenyataannya juga
digunakan untuk membayar kembali transaksi bank yang tidak layak dibiayai oleh
dana BLBI.
Oleh karena adanya
penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank penerima, yang
kemudian ternyata merugikan keuangan negara, maka persoalannya tentu tidak lagi
hanya sekedar kasus yang mesti diselesaikan dengan menggunakan ketentuan hukum
keperdataan. Artinya masalah BLBI telah berkembang menjadi perkara pidana.
Penyalahgunaan dana BLBI yang menimbulkan kerugian keuangan negara itu, telah
cukup memenuhi rumusan hukum pidana berdasarkan UU Nomor 3 tahun 1971 jo UU
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana
diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001, untuk membawa kasus-kasus BLBI itu ke
dalam proses peradilan untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Meskipun demikian, kita
tentu tidak boleh men-generalisasi semua kasus BLBI sebagai perbuatan melawan
hukum dalam konteks hukum pidana. Tentu
ada kasus-kasus yang memang terjadi semata-mata karena sesuatu yang mesti
diselesaikan melalui jalur hukum keperdataan. Ada beberapa bentuk perilaku
menyimpang dalam kaitannya dengan BLBI yang dapat diklasifikasikan sebagai
tindak pidana, di antaranya:
1.
pemberian BLBI dilakukan kepada
pihak yang tidak pantas menerimanya.
2.
konspirasi antara oknum
Bank Indonesia dengan bank penerima BLBI.
3.
pemberian BLBI melebihi
jumlah yang sepantasnya
4.
penyimpangan dalam
penyaluran dana BLBI
Di samping itu, studi
hukum yang dilakukan Satgas BLBI telah mengidentifikasi bentuk-bentuk
penyimpangan penggunaan BLBI, antara lain: Penggunaan dana BLBI oleh penerima
secara menyimpang, seperti digunakan untuk keperluan pembelian devisa dan
memindahkan asset ke luar negeri, membawanya ke pasar uang atau digunakan untuk
operasionalisasi bank, serta untuk membayar pinjaman kepada kelompok sendiri
(group perusahaan penerima BLBI). Studi hukum
1.
membayar atau melunasi kewajiban
kepada pihak terafiliasi.
2.
membayar atau melunasi dana pihak
ketiga yang melanggar ketentuan.
3.
membiayai kontrak derivatif baru
atau kerugiaan karena kontrak derivative lama jatuh tempo.
4.
membiayai penempatan baru di
pasar uang antar bank (PUAB), atau pelunasan kewajiban yang timbul dari
transaksi PUAB.
5.
membiayai ekspansi kredit atau
merelasasikan kelonggaran tarik dari komitmen kredit yang sudah ada.
6.
bentuk-bentuk penyimpangan
lainnya seperti:
a.
pembayaran kepada pihak ketiga
yang masih mempunyai kewajiban kepada bank
b.
penarikan dana tunai dari giro
bank di BI yang penggunaannya tidak jelas.
c.
pelunasan kewajiban antar bank,
dan sebagainya.
Penyimpangan-penyimpangan
tersebut dilakukan dengan berbagai cara dan modus operandi yang pada prinsipnya
tidak sesuai dengan penggunaan dana BLBI yang seharusnya dilakukan. Bertolak
dari adanya penyimpangan dalam berbagai bentuk dan modus operandi yang
merugikan keuangan negara, maka penyelesaian terhadap kasus-kasus BLBI mesti
ditanggapi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan hukum pidana.
Dalam
soal penanganan terhadap kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI, kalangan hukum
cenderung pula memperdebatkan aturan-aturan hukum pidana yang mesti digunakan.
Masalahnya terletak pada penerapan ketentuan pidana yang ada dalam UU Nomor 10
tahun 1998 tentang Perubahan UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan atau
ketentuan pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya,
sejauhmana dan dalam hal-hal apa sajakah ketentuan-ketentuan hukum pidana
tentang korupsi dapat diimplementasikan terhadap pelanggaran atau
penyalahgunaan dana BLBI.
Pembuat
UU Perbankan telah merumuskan berbagai kategori perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan. Perbuatan-perbuatan tersebut meliputi:
1.
tindak pidana perbankan
yang berkaitan dengan perizinan.
2.
tindak pidana perbankan
di bidang rahasia bank.
3.
tindak pidana perbankan
di bidang pengawasan.
4.
tindak pidana perbankan
yang berkaitan dengan kegiatan usaha bank (kolusi managemen).
5.
tindak pidana perbankan
yang berkaitan dengan pihak terafiliasi.
Dilihat dari rumusan
delik yang ada dalam UU Perbankan, tidak ada satu rumusanpun yang dapat
digunakan untuk menjangkau pelaku penyalahgunaan dana BLBI. Oleh karena itu
kasus-kasus BLBI yang mengandung indikasi kriminal mesti ditanggapi dengan
menggunakan ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KPK : Mencari Celah
Tangani Kasus BLBI
Kewenangan KPK dalam
menangani kasus BLBI dipertanyakan, bahkan oleh Antasari Azhar selaku
mantan Ketua KPK itu sendiri. Menurut hemat penulis, dengan terungkapnya kasus
penyuapan jaksa Urip dalam penanganan kasus Sjamsul Nursalim (BDNI) dapat
meretas jalan bagi KPK untuk melanjutkan penanganan kasus BLBI. Memang, hal ini
merupakan tugas yang tidak ringan buat KPK. Apalagi, terdapat ketentuan dalam
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang tidak memberlakukan azas retroaktif dalam
penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh KPK. Akan tetapi, kasus BLBI sudah
merusak sendi-sendi keadilan dalam masyarakat sehingga sudah seharusnya jika
ada “political will” yang kuat dari KPK, Presiden, Kejaksaan Agung,
dan DPR untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
Laporan hasil audit
Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2000 menyebutkan adanya penyimpangan
penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 138,4
triliun dari total dana Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya
peyelewengan penyalahgunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4
triliun. Mantan Gubernur Bank Indonesia, Soedrajad Djiwandono, dianggap
bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Tersangka dari BI adalah para
direkturnya, Hedrobudiyanto, Paul Sutopo dan Heru Soepraptomo dan masing-masing
telah divonis tiga tahun, dua setengah tahun, dan tiga tahun. Dari pihak BLBI,
ada beberapa debitur yang diproses secara hukum, di antaranya Sjamsul Nursalim
(BDNI) yang kasusnya telah dihentikan oleh pihak Kejaksaan Agung dengan alasan
tidak cukup bukti adanya perbuatan korupsi.
Meskipun penghentian
penyidikan atas kasus Sjamsul Nursalim oleh Kejaksaan Agung tidak serta merta
dapat diterima oleh masyarakat dan menyisakan pertanyaan besar yang belum
terjawab, kita tiba-tiba dikejutkan oleh kasus jaksa Urip yang tertangkap
tangan oleh KPK atas dugaan menerima suap. Hal ini tentu saja semakin
memojokkan posisi Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus tersebut yang dianggap
tidak tuntas dan tidak bersih.
Penulis mencermati
bahwa dari awal, sebenarnya keinginan pihak Kejaksaan Agung untuk menuntaskan
kasus-kasus korupsi yang ditanganinya patut mendapat acungan jempol. Bahkan,
mantan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh pun terkesan tidak mau melepaskan
penanganan kasus BLBI yang akan diambil alih oleh KPK. Hal ini terungkap dalam
pemberitaan di harian Suara Karya, 10 Maret 2006 : ”Jaksa Agung Abdul
Rahman Saleh (Arman) berubah sikap. Dia menyatakan keberatan jika kasus-kasus
korupsi yang terkatung-katung di kejaksaan diambil-alih oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)”. Padahal, (Rabu, 8 Maret 2006), dia mengaku tidak
bermasalah dengan perintah Presiden Susilo Bambang Yudhono itu.
"Kasus-kasus korupsi yang sudah ditangani kejaksaan sebaiknya tidak
dialihkan ke KPK," ujar Arman kepada wartawan saat rehat rapat koordinator
menteri-menteri di lingkungan Polhukam dengan tim Pemantau Kasus Poso, di
Gedung DPR-RI, Jakarta.
Di lain pihak, KPK
sendiri juga terlihat tidak terlalu bernafsu untuk mengambil alih penanganan
kasus korupsi yang terkatung-katung di Kejaksaan Agung. Padahal, KPK sendiri
sudah menegaskan akan mengambil alih kasus-kasus korupsi yang ditangani
Kejaksaan Agung dan Polri bila penanganan itu berlarut-larut. Hal itu
disampaikan Ketua KPK yang pada saat itu dijabat oleh Taufiqurahman Ruki seusai
menandatangani Keputusan Bersama antara KPK dan Jaksa Agung tentang kerja sama
dalam rangka pemberantasan dan tindakan korupsi, di Jakarta. Acara tersebut
dihadiri antara lain oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi,
Ketua BPK Anwar Nasution, dan Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan. “KPK
mempunyai tugas supervisi dan KPK akan ambil alih bila jaksa atau polisi
berlarut-larut dalam menangani kasus korupsi. Memang agak susah kalau tindak
pidana korupsi dengan bukti lengkap tetapi lama ditangani,” demikian kata Ruki.
(Kompas, 7/12/05). Jadi, kalau MOU antara KPK dan Jaksa Agung tidak
dapat memberikan dampak apa-apa dalam penanganan kasus-kasus tersebut (termasuk
kasus BLBI), tentu saja harus dicari terobosan lain untuk penuntasan kasus
BLBI.
Sumber:
http://lastiani16.blogspot.co.id/2014/06/masalah-bantuan-likuiditas-bank.html
RISIKO FRAUD
STUDI KASUS
PELANGGARARAN PROFESI AKUNTANSI
“Skandal
Manipulasi Laporan Keuangan PT. Kimia Farma Tbk”
Permasalahan
PT Kimia Farma
adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Pada
audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba
bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans
Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam
menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa.
Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma
2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang
cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan
hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau
24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri
Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar
Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan
barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated
persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan
sebesar Rp 10,7 miliar.
Kesalahan
penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam
daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur
produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices)
pada tanggal 1 dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah
digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit
distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan kesalahan penyajian
berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas
penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak
disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan
penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT
Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi
kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu
manajemen melakukan kecurangan tersebut.
Selanjutnya
diikuti dengan pemberitaan di harian Kontan yang menyatakan bahwa Kementerian
BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik Pemerintah di PT KAEF
setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan (overstated)
dalam laporan keuangan pada semester I tahun 2002. Dimana tindakan ini terbukti
melanggar Peraturan Bapepam No.VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian
Laporan Keuangan poin 2 – Khusus huruf m – Perubahan Akuntansi dan Kesalahan
Mendasar poin 3) Kesalahan Mendasar, sebagai berikut:
“Kesalahan
mendasar mungkin timbul dari kesalahan perhitungan matematis, kesalahan dalam
penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan interpretasi fakta dan kecurangan atau
kelalaian.
Dampak
perubahan kebijakan akuntansi atau koreksi atas kesalahan mendasar harus
diperlakukan secara retrospektif dengan melakukan penyajian kembali (restatement)
untuk periode yang telah disajikan sebelumnya dan melaporkan dampaknya terhadap
masa sebelum periode sajian sebagai suatu penyesuaian pada saldo laba awal
periode. Pengecualian dilakukan apabila dianggap tidak praktis atau secara
khusus diatur lain dalam ketentuan masa transisi penerapan standar akuntansi
keuangan baru”.
Sanksi dan Denda
Sehubungan
dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan Pasal 102 Undang-undang Nomor 8
tahun 1995 tentang Pasar Modal jo Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun
1995 jo Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal maka PT Kimia Farma (Persero) Tbk. dikenakan
sanksi administratif berupa denda yaitu sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah).
Sesuai Pasal 5 huruf n Undang-Undang
No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, maka:
- Direksi Lama PT Kimia Farma (Persero) Tbk. periode 1998 – Juni 2002 diwajibkan membayar sejumlah Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan per 31 Desember 2001.
- Sdr. Ludovicus Sensi W, Rekan KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa selaku auditor PT Kimia Farma (Persero) Tbk. diwajibkan membayar sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT Kimia Farma (Persero) Tbk. tersebut, meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan. Tetapi, KAP HTM tetap diwajibkan membayar denda karena dianggap telah gagal menerapkan Persyaratan Profesional yang disyaratkan di SPAP SA Seksi 110 – Tanggung Jawab & Fungsi Auditor Independen, paragraf 04 Persyaratan Profesional, dimana disebutkan bahwa persyaratan profesional yang dituntut dari auditor independen adalah orang yang memiliki pendidikan dan pengalaman berpraktik sebagai auditor independen.
Keterkaitan Akuntan Terhadap Skandal
PT Kimia Farma Tbk.
Badan Pengawas
Pasar Modal (Bapepam) melakukan pemeriksaan atau penyidikan baik atas manajemen
lama direksi PT Kimia Farma Tbk. ataupun terhadap akuntan publik Hans
Tuanakotta dan Mustofa (HTM). Dan akuntan publik (Hans Tuanakotta dan Mustofa)
harus bertanggung jawab, karena akuntan publik ini juga yang mengaudit Kimia
Farma tahun buku 31 Desember 2001 dan dengan yang interim 30 Juni tahun 2002.
Pada saat audit
31 Desember 2001 akuntan belum menemukan kesalahan pencatatan atas laporan
keuangan. Tapi setelah audit interim 2002 akuntan publik Hans Tuanakotta
Mustofa (HTM) menemukan kesalahan pencatatan alas laporan keuangan. Sehingga
Bapepam sebagai lembaga pengawas pasar modal bekerjasama dengan Direktorat
Akuntansi dan Jasa Penilai Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan yang mempunyai
kewenangan untuk mengawasi para akuntan publik untuk mencari bukti-bukti atas
keterlibatan akuntan publik dalam kesalahan pencatatan laporan keuangan pada
PT. Kimia Farma Tbk. untuk tahun buku 2001.
Namun dalam hal
ini seharusnya akuntan publik bertindak secara independen karena mereka adalah pihak
yang bertugas memeriksa dan melaporkan adanya ketidakwajaran dalam pencatatan
laporan keuangan. Dalam UU Pasar Modal 1995 disebutkan apabila di temukan
adanya kesalahan, selambat-lambamya dalam tiga hari kerja, akuntan publik harus
sudah melaporkannya ke Bapepam. Dan apabila temuannya tersebut tidak dilaporkan
maka auditor tersebut dapat dikenai pidana, karena ada ketentuan yang mengatur
bahwa setiap profesi akuntan itu wajib melaporkan temuan kalau ada emiten yang
melakukan pelanggaran peraturan pasar modal. Sehingga perlu dilakukan penyajian
kembali laporan keuangan PT. Kimia Farma Tbk. dikarenakan adanya kesalahan
pencatatan yang mendasar, akan tetapi kebanyakan auditor mengatakan bahwa
mereka telah mengaudit sesuai dengan standar profesional akuntan publik.
Akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa ikut bersalah dalam manipulasi
laporan keuangan, karena sebagai auditor independen akuntan publik Hans
Tuanakotta & Mustofa (HTM) seharusnya mengetahui laporan-laporan yang
diauditnya itu apakah berdasarkan laporan fiktif atau tidak.
Keterkaitan Manajemen Terhadap
Skandal PT Kimia Farma Tbk
Mantan direksi
PT Kimia Farma Tbk. Telah terbukti melakukan pelanggaran dalam kasus dugaan
penggelembungan (mark up) laba bersih di laporan keuangan perusahaan
milik negara untuk tahun buku 2001. Kantor Menteri BUMN meminta agar kantor
akuntan itu menyatakan kembali (restated) hasil sesungguhnya dari
laporan keuangan Kimia Farma tahun buku 2001. Sementara itu, direksi lama yang
terlibat akan diminta pertanggungjawabannya. Seperti diketahui, perusahaan
farmasi terbesar di Indonesia itu telah mencatatkan laba bersih 2001 sebesar Rp
132,3 miliar. Namun kemudian Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai,
pencatatan tersebut mengandung unsur rekayasa dan telah terjadi penggelembungan.
Terbukti setelah dilakukan audit ulang, laba bersih 2001 seharusnya hanya
sekitar Rp 100 miliar. Sehingga diperlukan lagi audit ulang laporan keuangan
per 31 Desember 2001 dan laporan keuangan per 30 Juni 2002 yang nantinya akan
dipublikasikan kepada publik.
Setelah hasil
audit selesai dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Hans Tuanakotta &
Mustafa, akan segera dilaporkan ke Bapepam. Dan Kimia Farma juga siap melakukan
revisi dan menyajikan kembali laporan keuangan 2001, jika nanti ternyata ditemukan
kesalahan dalam pencatatan. Untuk itu, perlu dilaksanakan rapat umum pemegang
saham luar biasa sebagai bentuk pertanggungjawaban manajemen kepada publik.
Meskipun nantinya laba bersih Kimia Farma hanya tercantum sebesar Rp 100
miliar, investor akan tetap menilai bagus laporan keuangan. Dalam persoalan
Kimia Farma, sudah jelas yang bertanggung jawab atas terjadinya kesalahan
pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan laba terlihat di-mark up ini,
merupakan kesalahan manajemen lama.
Kesalahan Pencatatan Laporan
Keuangan Kimia Farma Tahun 2001
Badan Pengawas
Pasar Modal (Bapepam) menilai kesalahan pencatatan dalam laporan keuangan PT
Kimia Farma Tbk. tahun buku 2001 dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di
pasar modal. Kesalahan pencatatan itu terkait dengan adanya rekayasa keuangan
dan menimbulkan pernyataan yang menyesatkan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Bukti-bukti tersebut antara lain adalah kesalahan pencatatan
apakah dilakukan secara tidak sengaja atau memang sengaja diniatkan. Tapi
bagaimana pun, pelanggarannya tetap ada karena laporan keuangan itu telah
dipakai investor untuk bertransaksi. Seperti diketahui, perusahaan farmasi itu
sempat melansir laba bersih sebesar Rp 132 miliar dalam laporan keuangan tahun
buku 2001. Namun, kementerian Badan Usaha Milik Negara selaku pemegang saham
mayoritas mengetahui adanya ketidakberesan laporan keuangan tersebut. Sehingga
meminta akuntan publik Kimia Farma, yaitu Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM)
menyajikan kembali (restated) laporan keuangan Kimia Farma 2001. HTM
sendiri telah mengoreksi laba bersih Kimia Farma tahun buku 2001 menjadi Rp 99
milliar. Koreksi ini dalam bentuk penyajian kembali laporan keuangan itu telah
disepakati para pemegang saham Kimia Farma dalam rapat umum pemegang saham luar
biasa. Dalam rapat tersebut, akhirnya pemegang saham Kimia Farma secara
aklamasi menyetujui tidak memakai lagi jasa HTM sebagai akuntan publik.
Dampak Terhadap Profesi Akuntan
Aktivitas
manipulasi pencatatan laporan keungan yang dilakukan manajemen tidak terlepas
dari bantuan akuntan. Akuntan yang melakukan hal tersebut memberikan informasi
yang menyebabkan pemakai laporan keuangan tidak menerima informasi yang fair.
Akuntan sudah melanggar etika profesinya. Kejadian manipulasi pencatatan
laporan keuangan yang menyebabkan dampak yang luas terhadap aktivitas bisnis
yang tidak fair membuat pemerintah campur tangan untuk membuat
aturan yang baru yang mengatur profesi akuntan dengan maksud mencegah adanya
praktik-praktik yang akan melanggar etika oleh para akuntan publik.
Sumber:
http://lindapraba.blogspot.co.id/2015/01/tugas-3-fraud-dan-contoh-kasus-fraud.html
ANALISIS
Keterkaitan
Manajemen Risiko Etika disini adalah pada pelaksanaan audit oleh KAP HTM selaku
badan independen, kesepakatan dan kerjasama dengan klien (PT Kimia Farma Tbk.)
dan pemberian opini atas laporan keuangan klien.
Dalam kasus
ini, jika dipandang dari sisi KAP HTM, maka urutan stakeholder mana
ditinjau dari segi kepentingan stakeholder adalah:
1. Klien atau PT Kimia Farma Tbk.
2. Pemegang saham
3. Masyarakat luas
Dalam kasus
ini, KAP HTM menghadapi sanksi yang cukup berat dengan dihentikannya jasa audit
mereka. Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP HTM semata yang tidak mampu
melakukanreview menyeluruh atas semua elemen laporan keuangan,
tetapi lebih karena kesalahan manajemen Kimia Farma yang melakukan aksi
manipulasi dengan penggelembungan nilai persediaan.
Kasus yang
menimpa KAP HTM ini adalah risiko inheren dari dijalankannya suatu tugas audit.
Sedari awal, KAP HTM seharusnya menyadari bahwa kemungkinan besar akan ada
risiko manipulasi seperti yang dilakukan PT. Kimia Farma, mengingat KAP HTM
adalah KAP yang telah berdiri cukup lama. Risiko ini berdampak pada reputasi
HTM dimata pemerintah ataupun publik, dan pada akhirnya HTM harus menghadapi
konsekuensi risiko seperti hilangnya kepercayaan publik dan pemerintah akan
kemampuan HTM, penurunan pendapatan jasa audit, hingga yang terburuk adalah
kemungkinan di tutupnya Kantor Akuntan Publik tersebut.
Diluar risiko
bisnis, risiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada kemungkinan
dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam manipulasi laporan
keuangan. Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak terlibat dalam kasus
manipulasi tersebut, namun hal ini bisa saja terjadi.
Sesuai dengan
teori yang telah di paparkan diatas, manajemen risiko yang dapat diterapkan
oleh KAP HTM antara lain adalah dengan mengidentifikasi dan menilai risiko
etika, serta menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan
stakeholder.
1. Mengidentifikasi dan menilai
risiko etika
Dalam kasus
antara KAP HTM dan Kimia Farma ini, pengidentifikasian dan penilaian risiko
etika dapat diaplikasikan pada tindakan sebagai berikut:
a) Melakukan penilaian dan identifikasi para stakeholder HTM
HTM selayaknya
membuat daftar mengenai siapa dan apa saja parastakeholder yang
berkepentingan beserta harapan mereka. Dengan mengetahui siapa saja para stakeholder dan
apa kepentingannya serta harapan mereka, maka KAP HTM dapat melakukan penilaian
dalam pemenuhan harapan stakeholder melalui pembekalan kepada
para auditor senior dan junior sebelum melakukan audit pada Kimia Farma.
b) Mempertimbangkan kemampuan SDM HTM dengan ekspektasi
para stakeholder, dan menilai risiko ketidak sanggupan SDM HTM dalam
menjalankan tugas audit.
c) Mengutamakan reputasi KAP HTM
Yaitu dengan
berpegang pada nilai-nilai hypernorm, seperti kejujuran,
kredibilitas, reliabilitas, dan tanggung jawab. Faktor-faktor tersebut bisa
menjadi kerangka kerja dalam melakukan perbandingan.
Tiga tahapan
ini akan menghasilkan data yang memungkinkan pimpinan KAP HTM dapat mengawasi
adanya peluang dan risiko etika, sehingga dapat ditemukan cara untuk
menghindari dan mengatasi risiko tersebut, serta agar dapat secara strategis
mengambil keuntungan dari kesempatan tersebut.
2. Menerapkan strategi dan taktik
dalam membina hubungan strategis dengan stakeholder
KAP HTM dapat
melakukan pengelompokan stakeholder dan meratingnya dari segi
kepentingan, dan kemudian menyusun rencana untuk berkolaborasi dengan stakeholder yang
dapat memberikan dukungan dalam penciptaan strategi, yang dapat memenuhi
harapan para stakeholder HTM.
KASUS RISIKO FRAUD
PT KERETA API INDONESIA (PT KAI) terdeteksi adanya
kecurangan dalam penyajian laporan keuangan. Ini merupakan suatu bentuk
penipuan yang dapat menyesatkan investor dan stakeholder lainnya. Kasus ini juga berkaitan dengan
masalah pelanggaran kode etik profesi akuntansi. Diduga terjadi manipulasi data
dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih
keutungan sebesar Rp6,9 Miliar. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih
rinci, perusahaan justru menderita kerugian sebesar Rp 63
Miliar.
Komisaris PT KAI Hekinus Manao yang juga sebagai
Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara
Departemen Keuangan mengatakan, laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor
Akuntan Publik S. Manan. Audit terhadap laporan keuangan PT KAI untuk tahun
2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK),
sedangkan untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan akuntan publik.
Hasil audit tersebut kemudian diserahkan Direksi PT
KAI untuk disetujui sebelum disampaikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham, dan
Komisaris PT KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT KAI
tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik. Setelah hasil audit diteliti
dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT KAI tahun
2005 sebagai berikut:
1. Pajak pihak ketiga
sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan keuangan itu
dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005. Kewajiban PT KAI untuk
membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp
95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun
2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada
beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal
berdasarkan Standar Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu
tidak bisa dimasukkan sebagai aset. Di PT KAI ada kekeliruan direksi dalam
mencatat penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
2. Penurunan nilai
persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp24 Miliar yang diketahui pada
saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui
manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun.
Pad akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang
belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp6 Miliar, yang seharusnya dibebankan
seluruhnya dalam tahun 2005.
3. Bantuan pemerintah yang
belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai kumulatif sebesar Rp674,5
Miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp70 Miliar oleh manajemen PT KAI
disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang.
4. Manajemen PT KAI tidak
melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban
pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa
angkutannya diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.
Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara
Komisaris dan auditor akuntan publik terjadi karena PT KAI tidak memiliki tata
kelola perusahaan yang baik. Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat
komite audit (komisaris) PT KAI baru bisa mengakses laporan keuangan setelah
diaudit akuntan publik. Akuntan publik yang telah mengaudit laporan keuangan PT
KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik.
Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu diberi sanksi teguran atau
pencabutan izin praktik.
Kasus PT KAI berawal dari pembukuan yang tidak sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan. Sebagai akuntan sudah selayaknya
menguasai prinsip akuntansi berterima umum sebagai salah satu penerapan etika
profesi. Kesalahan karena tidak menguasai prinsip akuntansi berterima umum bisa
menyebabkan masalah yang sangat menyesatkan.
Laporan Keuangan PT KAI tahun 2005 disinyalir telah
dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu. Banyak terdapat kejanggalan dalam
laporan keuangannya. Beberapa data disajikan tidak sesuai dengan standar
akuntansi keuangan. Hal ini mungkin sudah biasa terjadi dan masih bisa
diperbaiki. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pihak auditor menyatakan
Laporan Keuangan itu Wajar Tanpa Pengecualian. Tidak ada penyimpangan dari
standar akuntansi keuangan. Hal ini lah yang patut dipertanyakan.
Dari informasi yang didapat, sejak tahun 2004 laporan
PT KAI diaudit oleh Kantor Akuntan Publik. Berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya yang melibatkan BPK sebagai auditor perusahaan kereta api tersebut.
Hal itu menimbulkan dugaan kalau Kantor Akuntan Publik yang mengaudit Laporan
Keuangan PT KAI melakukan kesalahan.
Profesi Akuntan menuntut profesionalisme, netralitas,
dan kejujuran. Kepercayaan masyarakat terhadap kinerjanya tentu harus
diapresiasi dengan baik oleh para akuntan. Etika profesi yang disepakati harus
dijunjung tinggi. Hal itu penting karena ada keterkaitan kinerja akuntan dengan
kepentingan dari berbagai pihak. Banyak pihak membutuhkan jasa akuntan.
Pemerintah, kreditor, masyarakat perlu mengetahui kinerja suatu entitas guna
mengetahui prospek ke depan. Yang Jelas segala bentuk penyelewengan yang
dilakukan oleh akuntan harus mendapat perhatian khusus. Tindakan tegas perlu
dilakukan.
PEMBAHASAN KASUS
A. Kasus di atas merupakan
Kasus Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI yang dilakukan oleh Manajemen PT
KAI dan Ketidakmampuan KAP dalam mengindikasi terjadinya manipulasi.
B. Analisis 5 Question
Approach:
·
Profitable
1.
Pihak yang diuntungkan
adalah Manajemen PT KAI karena kinerja keuangan perusahaan seolah-olah baik
(laba Rp 6.9 M), meskipun pada kenyataannya menderita kerugian Rp 63 M. Tidak
tertutup kemungkinan, pihak manajemen memperoleh bonus dari “laba semu”
tersebut.
2.
Pihak lain yang
diuntungkan adalah KAP S. Manan & Rekan, dimana dimungkinkan memperoleh Fee
khusus karena memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian.
·
Legal
1.
PT KAI melanggar Pasal
90 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal “Dalam kegiatan perdagangan
efek, setiap pihak dilarang secara langsung maupun tidak langsung:
a)
Menipu atau mengelabui
Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun;
b)
Turut serta menipu atau
mengelabui Pihak lain; dan
c)
Membuat pernyataan
tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang
material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang
terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau
menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan
mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek.”
PT KAI dapat dikenakan
sanksi sesuai Pasal 107 UU No.8 Tahun 1995 yang menyatakan:
“Setiap Pihak yang dengan sengaja bertujuan menipu
atau merugikan Pihak lain atau menyesatkan Bapepam, menghilangkan, memusnahkan,
menghapuskan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan
dari Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran termasuk Emiten
dan Perusahaan Publik diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”
2. KAP S. Manan & Rekan melanggar Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP)
·
Fair
Perbuatan manajemen PT.KAI merugikan publik/masyarakat
dan pemerintah.
1) Publik (investor);
dirugikan karena memperoleh informasi yang menyesatkan, sehingga keputusan yang
diambil berdasarkan informasi keuagan PT. KAI menjadi tidak akurat/salah
2) Pemerintah; dirugikan
karena dengan rekayasa keuangan tersebut maka pajak yang diterima pemerintah
lebih kecil.
·
Right
1) Hak-hak Publik;
dirugikan karena investor memperoleh informasi yang menyesatkan, sehingga keputusan
yang diambil menjadi salah/tidak akurat.
2) Pemerintah; dirugikan
karena pajak yang diterima pemerintah menjadi lebih kecil.
·
Suistainable
Development
1)
Rekayasa yang dilakukan
manajemen PT KAI bersifat jangka pendek dan bukan jangka panjang, karena hanya
menginginkan keuntungan/laba untuk kepentingan pribadi/manajemen (motivasi
bonus).
C. Prinsip Etika Yang
Dilanggar:
Selain akuntan
eksternal dan komite audit yang melakukan kesalahan dalam hal pencatatan
laporan keuangan, akuntan internal di PT. KAI juga belum sepenuhnya menerapkan
8 prisip etika akuntan. Dari kedelapan prinsip akuntan yaitu tanggung jawab
profesi, kepentingan publik, integritas, objektifitas, kompetensi dan
kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar
teknis, prinsip-prinsip etika akuntan yang dilanggar antara lain :
1. Tanggung jawab profesi ;
Dimana
seorang akuntan harus bertanggung jawab secara professional terhadap semua
kegiatan yang dilakukannya. Akuntan Internal PT. KAI kurang bertanggung jawab
karena dia tidak menelusuri kekeliruan dalam pencatatan dan memperbaiki
kesalahan tersebut sehingga laporan keuangan yang dilaporkan merupakan keadaan
dari posisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.
2. Kepentingan Publik ;
Dimana akuntan harus
bekerja demi kepentingan publik atau mereka yang berhubungan dengan perusahaan
seperti kreditur, investor, dan lain-lain. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI
diduga tidak bekerja demi kepentingan publik karena diduga sengaja memanipulasi
laporan keuangan sehingga PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun
karena manipulasi tersebut PT. KAI terlihat mengalami keuntungan. Hal ini tentu
saja sangat berbahaya, termasuk bagi PT. KAI. Karena, apabila kerugian tersebut
semakin besar namun tidak dilaporkan, maka PT. KAI bisa tidak sanggup
menanggulangi kerugian tersebut.
3. Integritas ;
Dimana akuntan harus bekerja
dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI tidak
menjaga integritasnya, karena diduga telah melakukan manipulasi laporan
keuangan.
4. Objektifitas ;
Dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau tidak
memihak siapapun. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak obyektif karena
diduga telah memanipulasi laporan keuangan sehingga hanya menguntungkan
pihak-pihak tertentu yang berada di PT. KAI.
5. Kompetensi dan
kehati-hatian professional ;
Akuntan dituntut harus
melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan
ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan
keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini,
akuntan PT. KAI tidak melaksanakan kehati-hatian profesional sehingga terjadi
kesalahan pencatatan yang mengakibatkan PT. KAI yang seharusnya menderita
kerugian namun dalam laporan keuangan mengalami keuntungan.
6. Perilaku profesional ;
Akuntan sebagai seorang
profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan reputasi
profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya.
Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak berperilaku profesional yang
menyebabkan kekeliruan dalam melakukan pencatatanlaporan keuangan, dan hal ini
dapat mendiskreditkan (mencoreng nama baik) profesinya.
7. Standar teknis ;
Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi
standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya
dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan
penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip
integritas dan obyektifitas. Dalam kasus ini akuntan tidak melaksanakan prinsip
standar teknis karena tidak malaporkan laporan keuangan sesuai dengan standar
akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun
tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu,
pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar
akuntansi keuangan tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau
asset.
D. Sikap Yang Diambil :
1. Manajemen PT KAI
a)
Melakukan koreksi atas
salah saji atas: pajak pihak ketiga yang dimasukkan sebagai asset; penurunan
nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan yang belum dibebankan; bantuan
pemerintah yang seharusnya disajikan sebagai bagian modal perseroan.
b)
Meminta maaf kepada
stakeholders melalui konferensi pers dan berjanji tidak mengulangi kembali di
masa datang.
2. KAP S. Manan &
Rekan & Rekan
a)
Melakukan jasa
profesional sesuai SPAP, dimana tiap anggota harus berperilaku konsisten dengan
reputasi profesionalnya dengan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan
profesioreksi
b)
Melakukan koreksi atas opini
yang telah dibuat
c)
Melakukan konferensi
pers dengan mengungkapkan bahwa oknum yang melakukan kesalahan sehingga
menyebabkan opini atas Laporan Keuangan menjadi tidak seharusnya telah
diberikan sanksi dari pihak otorisasi, dan berjanji tidak mengulang kembali
kejadian yang sama di masa yang akan datang.
E. Rekomendasi Agar Kasus
Serupa Tidak Terulang
1)
Membangun kultur
perusahaan yang baik; dengan mengutamakan integritas, etika profesi dan kepatuhan
pada seluruh aturan, baik internal maupun eksternal, khususnya tentang
otorisasi.
2)
Mendahulukan
kepentingan publik daripada kepentingan publik.
3)
Merekrut manajemen baru
yang memiliki integritas dan moral yang baik, serta memberikan siraman
rohani kepada karyawan akan pentingnya integritas yang baik bagi kelangsungan
usaha perusahaan.
4)
Memperbaiki sistem
pengendalian internal perusahaan.
5)
Corporate Governance
dilakukan oleh manajemen yang dirancang dalam rangka mengeliminasi atau
setidaknya menekan kemungkinan terjadinya fraud. Corporate governance meliputi
budaya perusahaan, kebijakan-kebijakan, dan pendelegasian wewenang.
6)
Transaction Level
Control Process yang dilakukan oleh auditor internal, pada dasarnya adalah proses
yang lebih bersifat preventif dan pengendalian yang bertujuan untuk memastikan
bahwa hanya transaksi yang sah, mendapat otorisasi yang memadai yang dicatat
dan melindungi perusahaan dari kerugian.
7)
Retrospective
Examination yang dilakukan oleh Auditor Eksternal diarahkan untuk mendeteksi fraud
sebelum menjadi besar dan membahayakan perusahaan.
8)
Investigation and
Remediation yang dilakukan forensik auditor. Peran auditor forensik adalah menentukan
tindakan yang harus diambil terkait dengan ukuran dan tingkat kefatalan fraud, tanpa
memandang apakah fraud itu hanya berupa pelanggaran kecil terhdaap kebijakan perusahaan
ataukah pelanggaran besar yang berbentuk kecurangna dalam laporan keuangan atau
penyalahgunaan asset.
9)
Penyusunan Standar yang
jelas mengenai siapa saja yang pantas menjadi apa baik untuk jabatan fungsional
maupun struktural ataupun untuk posisi tertentu yang dianggap strategis dan
kritis. Hal ini harus diiringi dengan sosialisasi dan implementasi
(enforcement) tanpa ada pengecualian yang tidak masuk akal
10) Diadakan tes kompetensi
dan kemampuan untuk mencapai suatu jabatan tertentu dengan adil dan terbuka.
Siapapun yang telah memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama dan adil untuk
“terpilih”. Terpilih artinya walaupun pejabat lain diatasnya tidak “berkenan”
dengan orang tersebut, tetapi karena ia yang terbaik maka tidak ada alasan
logis untuk menolaknya ataupun memilih yang orang lain. Disinilah peran
profesionalisme dikedepankan
11) Akuntabilitas dan
Transparansi setiap “proses bisnis” dalam organisasi agar memungkinkan
monitoring dari setiap pihak sehingga penyimpangan yang dilakukan oknum-oknum
dapat diketahui dan diberikan sangsi tanpa kompromi.
ANALISIS:
Dari
kasus studi diatas tentang pelanggaran Etika dalam berbisnis itu merupakan
suatu pelanggaran etika profesi perbankan pada PT KAI pada tahun tersebut yang
terjadi karena kesalahan manipulasi dan terdapat penyimpangan pada laporan
keuangan PT KAI tersebut. pada kasus ini juga terjadi penipuan yang menyesatkan
banyak pihak seperti investor tersebut. seharusnya PT KAI harus bertindak
profesional dan jujur sesuai pada asas-asas etika profesi akuntansi.
Sumber:
http://praatiwii.blogspot.co.id/2014/11/kasus-manipulasi-laporan-keuangan-pt-kai.html
RISIKO KREDIT
PT KIANI KERTAS
Prabowo dan 'Kebocoran' di PT.Kiani Kertas
Kembali, lebih dari 1000 orang
karyawan PT. Kiani Kertas (Kertas Nusantara) dijadwalkan akan demo di depan
kantor pemkab Berau Kalimantan Timur karena tunggakan gaji yang tidak diterima
karyawan selama lebih dari 5 bulan. Pembayaran ini sudah ditunggak sejak bulan
Agustus tahun lalu, karena kondisi keuangan perusahaan kertas terbesar di Asia
tersebut dalam kondisi kritis. Ada apa dengan PT. Kiani Kertas? Bukankah dulu
perusahaan ini berkibar dan sangat menguntungkan?Mengapa kini dalam kondisi
terengah-engah? Salah kelola seperti apa? Apa ada yang bocor? Menurut Suyadi,
Ketua DPC SBSI Berau Kaltim, sebelum diambil alih oleh Prabowo, kondisi PT.
Kiani sangat sehat. Pabrik berjalan dengan baik, karyawan sejahtera, penduduk
sekitar yang memiliki pohon diuntungkan juga dengan menyuplai ke PT. Kiani
Kertas.Sebelum diambil alih oleh Prabowo, perusahaan itu sangat bermanfaat bagi
masyarakat sekitar dan berhasil meningkatkan taraf perekonomian di Berau.Tetapi
sekarang, walupun mesin-mesin masih baik, suplai kayu sudah ada (dari
masyarakat sekitar yang menanam pohon kayu di HTI), tetapi mengapa justru
produksi dihentikan?Pengambil Alihan PT. Kiani Kertas dari Bob Hassan ke
Prabowo Dulu perusahaan ini merupakan perusahaan milik Bob Hassan. Perusahaan
ini diambil alih oleh BPPN terkait penyelesaian hutang Bank Umum Nasional milik
Bob Hassan senilai Rp 8,9 Trilyun. Berarti dalam hitungannya ketika itu tentu
nilai PT. Kiani Kertas senilai Rp 8,9 Trilyun. Tahun 2002, BPPN menawarkan
kepada perusahaan milik Prabowo Subianto, PT. Voyala, yang kemudian membeli
semua saham PT. Kiani senilai Rp 7,1 Trilyun. Dari nilai tersebut, US$ 230 juta
(sekitar Rp 2,3 Trilyun) merupakan kredit dari Bank Mandiri. Tetapi kemudian
PT. Kiani terjerat dalam kredit macet tidak mampu membayar hutangnya ke Bank
Mandiri.
Pada tahun 2005, Prabowo dipanggil
oleh Kejagung sebagai saksi penyaluran kredit dari Bank Mandiri ke PT. Kiani
Kertas, karena ada temuan dari Kejagung dan BPK terdapat perbuatan melawan
hukum dalam penyaluran kredit Rp 1,89 Trilyun yang berpotensi menimbulkan
kerugian negara. Tetapi tahun 2011, kasus ini di SP3kan oleh Kejagung.
Penyelamat Prabowo dalam masalah kredit macet PT. Kiani Kertas adalah Hasyim
Joyohadikusumo, yang pada tahun 2007 menyetorkan uang ke Bank Mandiri senilai
US$ 50 juta, sehingga PT. Kiani bisa melakukan restrukturisasi hutang. Pada
tahun 2011, PT. Kiani digugat pailit ke PN Jakpus karena tidak mampu membayar
hutang dengan no register perkara 31/Pailit/2011/PN Niaga Jakpus.
PT.Kiani lolos dari gugatan pailit
setelah 89% atau 120 kreditur dari 143 setuju memberikan perpanjangan masa
pembayaran hutang. Keputusan ini diambil dari rapat pemungutan suara yang
diadakan untuk memutuskan atau menolak proposal perpanjangan hutang oleh
perusahaan milik Prabowo tersebut. Perpanjangan masa pembayaran terhitung mulai
2013, selama 15 tahun untuk kreditur separatis dan 20 tahun untuk kreditur
konkuren Data kurator kepailitan menunjukkan bahwa hutang perusahaan terdiri
dari :
1. Rp 7,94 Trilyun kepada kreditur separatis (kreditur utama atau
pemegang jaminan kebendaan atau asset, prioritas mendapatkan pembayaran
penjualatan kepailitan)
2. Rp 5,6 Trilyun kepada kreditur
konkuren yang diakui
3. Rp 734 milyar kepada kreditur
konkuren yang diakui sementara
Yang mengherankan, ternyata Prabowo
meminjam kepada asing. Jadi kreditur separatis senilai Rp 7,94 Trilyun itu
adalah JP Morgan Europe Ltd, Credit Suisse International, Boshendal Investment
Ltd, Langass Offshore Inc. Lah, ini sami mawon donk, dimana letak
nasionalismenya? Tidak semua kreditur menyetujui proposal perpanjangan hutang
tersebut. Salah satunya adalah Allied Ever Investmen Ltd, yang menyatakan bahwa
proposal dibuat sederhana. Padahal hutang yang dibuat oleh PT. Kiani Kertas ini
dulu Rp 14,3 Trilyun. Kuasa hukumnya menyatakan: 'Banyak hal yang seharusnya
diperiksa dan dipelajari. Apalagi laporan keuangan mereka juga tidak
diaudit.Yang diaudit baru disampaikan kemarin.'Dana yang dipinjam memang sangat
besar sekali.Nilainya trilyunan rupiah.Jika perusahaan tetap sekarat, cashflow
perusahaan untuk bergerak tidak ada, bukankah penzaliman namanya terhadap
karyawan yang ada beserta masyarakat sekitar yang menumpukan hidupnya dengan
keberadaan perusahaan ini?Kemana larinya hasil produksi dulu yang sempat sangat
baik?Dan kini, perusahaan itu masih berdarah-darah.Apakah Prabowo tidak
berminat menutup kebocoran disini dengan serius pembenahan manajemen di PT.
Kiani Kertas alias Kertas Nusantara ini?
ANALISIS
1. Mengapa perusahaan berhutang untuk
menjalankan bisnis dan operasionalnya?
Perusahaan terlibat utang untuk keperluan bisnis karena ada
pemindah alihan kepemilikan perusahaan dari Bob Hasan ke PT. Voyala, perusahaan
milik Prabowo Subianto yang membeli seluruh saham PT. Kiani yang senilai Rp 7,1
Trilyun namun dari nilai tersebut, US$ 230 juta (sekitar Rp 2,3 Trilyun)
merupakan kredit dari Bank Mandiri
2. Kepada siapa perusahaan berhutang
tersebut?
PT. Kiani menjadi terlibat utang kepada Bank Mandiri, dan kepada
beberapa pihak kreditur lainnya yang berupa kreditur separatis, kreditur
konkuren yang diakui, kreditur konkuren yang diakui sementara, serta kreditur
asing seperti JP Morgan Europe Ltd, Credit Suisse International, Boshendal
Investment Ltd, Langass Offshore Inc.
3. Bagaimana perusahaan melakukan
pembayaran utang tersebut?
Karena perusahaan tidak mampu untuk membayar kewajibannya kepada
para kreditur unuk saat ini, maka perusahaan sempat digugat pailit oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun perusahaan berhasil lolos dari gugatan
tersebut dan mendapat perpanjangan waktu untuk melunasi kewajibannya dari para
kreditur
4. Apa saja risiko yang dihadapi oleh
perusahaan?
Risiko Likuiditas
Perusahaan memiliki risiko tidak dapat melunasi seluruh utang dan
kewajibannya kepada bank dan sejumlah pihak yang menjadi krediturnya meskipun
sudah mendapat perpanjangan waktu karena perusahaan tidak beroperasi dengan
baik.
Risiko Operasional
Perusahaan memiliki risiko operasional karena ada perubahan
kepemilikan perusahaan yang secara langsung merubah dan mengganggu sistem
operasional serta manajemen internal perusahaan menjadi tidak berfungsi dengan
baik dan menimbulkan masalah
Risiko Tenaga Kerja
Perusahaan yang tidak produktif dengan baik seperti sebelumnya
menghasilkan risiko kepada perusahaan tidak bisa membayar gaji para tenaga
kerjanya dengan sesuai.
5. Bagaimana cara agar perusahaan
dapat mengembangkan usahanya tanpa melakukan kredit atau berhutang?
Karena sebelum pemindah alihan kepemilikan perusahaan, PT Kiani
Kertas sudah dapat beroperasi dengan baik tanpa terlilit oleh utang, maka dari
itu perusahaan seharusnya bisa tetap mempertahankan sistem manajemen dan
operasional mereka dengan baik agar perusahaan tetap berproduksi dengan lancar
dan perusahaan bisa mendapatkan keuntungan.
Sistem manajemen internal yang baik, mengurangi pengeluarkan
perusahaan yang tidak penting, memaksimalkan penggunaan asset yang dimiliki
perusahaan serta memanfaatkan sumber daya dari lingkungan sekitar perusahaan
untuk kebutuhan produksi dapat menghemat biaya perusahaan daripada perusahaan
harus meminjam dana kepada kreditur untuk kebutuhan produksi.